Senin, 13 April 2020

Bubur Biji Salak

Serius. Pertama kali puasa di Jakarta, saya baru ketemu dengan bubur biji salak.
Pulang kantor, setelah turun dari metromini, saya berjalan masuk gang. Di sepanjang gang itu terdapat beberapa meja lapak dagangan warga yang menjual panganan untuk berbuka. Saya hampiri satu meja. Saya amati semua makanan. Mata saya tertuju pada satu takjil.
'Apa ini, Bu?'
"Biji salak."
'Oh...'
Batin saya: kayak apa rasanya ya, baru kali ini ada biji salak bisa dijadikan panganan. Saya penasaran.
'Berapa, Bu?'
"5000."
Dengan sehaus penasaran akan rasa biji salak, saya menunggu Maghrib dengan tidak sabar. Pengen rasanya saya pukul bedug Maghrib sendiri. Atau saya berteriak kumandangkan azan sendiri. Tapi, tak mungkin saya korbankan puasa demi nafsu makani. 'Belon waktunye,' kata orang suci dari dalam diri saya dengan logat Betawi.
Begitulah, hingga Maghrib pun tiba. Bismillahirrohmanirrohim. Allohumma lakasumtu... Dzahabazh zhomau... Sekalian saya baca keduanya. Terserah kalau ada yang menganggap salah satunya bid'ah. Lagian, masak doa kebaikan dibilang bid'ah.
Saat mulut merapal doa, ternyata tangan saya cekatan membuka bungkusan bubur biji salak. Sendok berhasil menangkap satu biji salak dan hlep...masuk ke mulut.
Saya kunyah. Empuk. Aneh. Lah. Begini ini kah rasa biji salak? Serasa bubur candil. Huasyeemmmm... 

Kamis, 22 Juni 2017

The Last Man Standing



Kabarnya ada pihak tertentu yang meminta pemerintah untuk menjadikan tanggal 23 Juni 2017 sebagai cuti bersama. Karuan saja, mereka yang sudah berdarah-darah untuk mendapatkan tiket mudik tanggal 23 malam atau 24 pagi, misuh-misuh: aseeeeeeeemmmmm!!! Oh, sory, bulan puasa gak boleh misuh. Ungkapan yang barusan tadi juga tidak tepat, tidak bulan puasa pun ya jangan misuh.
“Ubah jadwal dong!”
Jangan sekali-kali Anda bilang begitu kepada mereka yang yang terlanjur beli tiket 23 atau 24. Anda akan sakit hati karena mungkin mereka akan balas menghardik Anda dengan ujaran: “Gundulmu!”
Tidak semudah itu, Bro... tiket 22 sudah ludes. Itu yang naik kereta. Yang naik pesawat, kalau pun ada tiket tanggal 22, biaya ubah jadwalnya lumayan gede.
Lalu, apa yang akan mereka lakukan mulai malam tanggal 22 dan di sepanjang hari di tanggal 23. Ya, ngaplo! Ketika Anda datang ke stasiun untuk beli tiket dan setelah tiba di stasiun ternyata tiketnya sudah habis, maka anda terbengong-bengong dan tidak mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Itulah ngaplo.
Mari kita menghibur diri.
Sejatinya, kalau kita mau berusaha jauh-jauh hari, tentu saja Anda bisa mendapatkan tiket tanggal 22. Tapi barangkali ada banyak pertimbangan kenapa Anda tidak mau.
Pertama, Anda adalah pimpinan dan banyak anak buah Anda yang mengambil cuti tambahan diawal. Meski sebenarnya Anda juga pengen cuti, tapi sudah sepatutnya Anda mengalah. “Ya sudah, biarlah saya yang jaga kantor”. Kira-kira begitu kata hati. Maka, Anda akan memastikan diri berada di kantor sampai dengan berakhirnya hari kerja sebelum libur. Karena itulah kemudian Anda beli tiket tanggal 23 atau 24.
Kedua, Anda mempunyai dedikasi yang tinggi hingga tetap bekerja dan ingin menyelesaikan tugas-tugas sampai menit terakhir. Untuk itu, Anda pun beli tiket di tanggal 23
Ketiga, Anda hanya menyiapkan satu rencana. Tidak pernah dalam diri Anda berpikir tentang plan B. Padahal ini penting. Fokus Anda tanggal 23.
Keempat, tambahkan sendiri....
Namun, apapun itu alasannya, sungguh Anda telah bersikap mulia. Karena Anda tidak berusaha mendapatkan tiket tanggal 22, itu berarti Anda memberi kesempatan pada orang lain untuk memperoleh tiket itu. Sebuah sikap yang disebut itsar, yaitu mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri.
Kurang mulia apa sikap seperti itu? Disaat saudara-saudaranya sudah berangkat mudik, dia masih di tempat dan belum bergerak. Barangkali inilah yang disebut the last man standing.
Lalu, apa baiknya mudik duluan?

Jumat, 07 April 2017

Sendiriku di Monas

Pagi ini saya datang ke monas. Ini adalah kali kedua setelah bertahun tahun yang lalu saat masih kuliah. Masih terekam di ingatan, kala itu rombongan kami didatangi beberapa tentara. Seorang tentara menegur dan menanyai kami. Rupanya sedang berlangsung konferensi yang dihadiri beberapa negara, sehingga dilakukan peningkatan keamanan dan penjagaan, sampai sampai kami yang datang ke Monas patut dicurigai.
Karena satu sebab, minggu ini saya tidak pulang dan saya gunakan kesempatan untuk mendatangi Monas. Saya parkir motor di Stasiun Gambir, lalu berjalan kaki menuju pintu masuk di sebelah selatan. Awalnya saya menduga, pintu Monas yang dekat Stasiun Gambir dibuka. Ternyata tidak. Ya sudah, saya ikuti beberapa orang yang menurut dugaan saya juga akan masuk ke Monas. Saya perhatikan dari pakaian dan bawaannya.
Sampailah saya di pintu selatan.
"Kalau tahu disini ada parkir motor, ngapaian saya parkir di Stasiun Gambir," batin saya.
Saya mencoba amati areal parkiran. Lalu terbersit di hati: “untunglah saya parkir di Stasiun Gambir.” Disini parkiran motor sudah berjubel.
Saya melewati parkiran mobil. Untuk masuk ke kawasan Monas, saya harus melewati Lenggang Jakarta, kumpulan para pedagang makanan, minuman, pakaian dan pernik-pernik lainnya.
Akhirnya saya berhasil masuk. Adat istiadat masa kini tidak saya lewati, saya selfi dengan latar Monas yang kokoh menjulang.
Tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, semua ada. Dari yang cadaran hingga celana ketat tiga perempat paha, ada.
Saya mendekat ke monas, biasalah foto-foto, rekam video. Lalu berjalan memutari Tugu Monas sambil mengamati aktivitas para pengunjung. Senam, main badminton, lari-lari, jogging, bersepeda, duduk-duduk, pacaran, makan minum dari bekal yang  mereka bawa atau beli di Lenggang Jakarta, bahkan ada yang merokok. Satu terakhir ini yang kadang bikin hati sebel. Yang lain pengen olah raga, cari kegembiraan, biar sehat.... e.. yang ini malah merokok, bawa racun. Sungguh satu warisan nenek moyang yang sangat sya sesali. Dulu kenapa juga nenek moyang kita menemukan rokok? Yo wis lah...
Dari apa yang saya perhatikan, saya kemudian menarik kesimpulan berdasarkan subyektifitas saya dan hipotesa saya. Begini.
Dimana pun ternyata sama saja. Berakhir pekan dengan keluarga itu ya paling-paling  jalan-jalan ke kawasan taman, berbaur dengan keramaian. Tidak di Jakarta atau Pelaihari, sama saja. Menikmati hari minggu ya sebenarnya begitu-begitu saja. Yang membuat mereka tampak bahagia adalah kebersamaan mereka bersama dengan orang yang mereka kasihi. Poinnya itu.
Walau di Monas, kalau Anda sendirian, jauh dari kekasih dan terpisah dengan mereka yang Anda cintai, ya rasanya sama saja saat Anda mbulok di Pelaihari.

Minggu, 16 Oktober 2016

Paijo Balas Dendam



Tiba-tiba saja pria itu duduk sekira satu meter dari Paijo. Dengan muka datar, pria itu merogoh kantong mengeluarkan rokok dan korek.
“Jessss..!!”
Tanpa permisi rokok disulut dan asap nikotin berhembus ke arah Paijo.
“Uhuk…uhuk…uhuk!!”
Paijo terbatuk-batuk. Ia tidak terbiasa dengan asap rokok. Emosinya mendidih, pribadi jahat pada dirinya mengumpat.
“Aseeeeeeeeeeeeeeemm...!”
“Apa dia pikir semua orang mau terima sedekah asap.”
Pribadi baik dalam diri Paijo segera menjawab.
“Ah, sudahlah, biarin aja.. namanya juga orang egois, mending segera pergi.”
“Enak saja, balas dong,” kata pribadi jahat.
Paijo berdiri membelakangi pria itu dan sekonyong-konyong terdengar suara agak keras.
“Tuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuutttttttttttttttttt…!!!!!!!!!!”
Paijo pura-pura memegangi perutnya dan bergegas menuju toilet sambil berkata.
“Maaf.., perut saya sakit.”
Pria itu terhenyak dan secara reflek menutup hidungnya. Tangannya kalah cepat, bau amoniak menyengat terlanjur tercium olehnya.
“Hoo-ek..hoo-ek..hoo-ek…!”
Dari toilet Paijo mengintip pria itu sedang muntah-muntah. Tiga puluh puntung rokok keluar dari mulut pria itu.

Sabtu, 15 Oktober 2016

Paijo & Ocehan Istri



Meski hidup mereka sederhana, istri Paijo selalu berkata-kata dengan pilihan kalimat yang menyenangkan.
“Mas…, dulu, hidup aku menderita. Tapi, sejak menjadi istrimu, hidup aku telah berubah. Sekarang hidupku enak, semua kebutuhanku tercukupi dan aku bahagia.”
Mendengar omongan seperti itu, Paijo senang dan makin cinta. Besoknya, dia ajak istrinya ke Toko Perhiasan.
Sementara itu,…..
Penghasilan Paiman sebenarnya lumayan. Karena pengaruh pergaulan arisan, istri Paiman sok bergaya sosialita dengan gonta-ganti gadget setiap bulan.
Dengan bersungut-sungut, istri Paiman mulai mengoceh:
“Mas…, aku mau ngomong, dengerin… Sejak dulu, hidupku itu enak, tak pernah kekurangan. Semua kebutuhanku tercukupi oleh orang tuaku. Tapi, sejak menjadi istrimu, hidupku jadi sengsara. Ngenes, Mas… Aku selalu kalah sama teman-temanku. Mereka bisa beli perhiasan apa aja. HP mereka selalu baru. Aku mau beli gelang aja, harus pinjem. Aku pengen smartphone baru, harus kredit....”
Paiman jengkel, marah mendengar perkataan istrinya. Ia tertunduk lesu dengan muka memerah. Istrinya terus bicara seperti itu hampir setiap hari. Sejak itu, Paiman diam-diam mulai melirik perempuan lain. Istri Paijo.

Jumat, 14 Oktober 2016

Paijo & Sayur Asem



Siang itu, Paijo pulang istirahat. Ia menyantap makan siang ditemani istrinya.
“Hmmm… luar biasa…, sayur asem kok segarnya kayak gini,” puji Paijo kepada istrinya.
Istri Paijo tersipu malu. Hatinya girang.
“Aku bikin kan minuman STMJ, Mas, ya…,” kata istrinya sambil beranjak dari meja makan.
Paijo mengangguk tersenyum dengan menahan asin dan rasa lengkuas yang terdampar di mulut dan sempat tergigit.
Gara-gara pujian itu dan tanpa harus Paijo minta, istrinya begitu semangat menyajikan minuman penambah tenaga kegemarannya. Tentu, Paijo sadar apa akibatnya.
“Sebentar, Dik…aku telepon Bosku dulu, mau kasih tahu kalau aku agak telat balik kantor.”
“Iya, Mas…” kata istrinya yang sudah menunggu di kamar.

***

Sementara itu, di kompleks perumahan sebelah, Paiman pulang istirahat dengan hati dongkol. Ia jengkel kenapa bukan dia yang berangkat dinas luar. Dan kegondokannya belum selesai.
“Sayur asem kok kecutnya kayak gini… mosok isinya cuman asem. Kamu bisa masak gak sih!” Kata Paiman.
Istri Paiman mendelik, lalu melawan.
“Kamu bilang apa, Mas… Dasar suami tak tahu terima kasih. Tadi, kamu sendiri kan yang minta dibuatkan sayur asem. Terus, emangnya cukup dengan uang belanja segitu. Dasar suami tak tahu diri……….bla….bla….bla…..”
Tiga kalimat Paiman, dibalas istrinya dengan semprotan paragraf panjang.
Paiman hanya diam menunduk. Rambutnya terlihat memutih. Beberapa helai kumisnya rontok karena getaran suara istrinya.

***