Kamis, 31 Januari 2013

SPTB : Riwayatmu Dulu

Seri Teknik Perbendaharaan (3)


(Sungguh berani sekali saya menuliskan sebagai Teknik Perbendaharaan…  Apa yang saya tulis adalah tata cara perbendaharaan jaman dulu atau bisa dikatakan sudah lewat jaman alias kedaluarsa. Namun, saya meyakini teknik atau pengetahuan ini akan berguna pada saatnya nanti, minimal sebagai wasilah untuk bernostalgia…)
***

Sebelum terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan APBN, salah satu lampiran Surat Perintah Membayar (SPM) dalam proses pencairan dana APBN adalah apa yang kita kenal dengan istilah SPTB (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja).

Terakhir, ketentuan tersebut diatur dalam PMK nomor 134/PMK.06/2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan APBN dengan juknisnya Peraturan Dirjen Perbendaharaan nomor PER-66/PB/2005 yang diubah dengan PER-11/PB/2011.

Dalam Perdirjen tersebut, SPTB adalah pernyataan tanggung jawab belanja yang dibuat oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran atas transaksi belanja sampai dengan jumlah tertentu. Dengan PER-11/PB/2011, SPTB dibedakan antara SPTB SPM GU dan SPTB SPM LS, yang sebelumnya sesuai PER-66/PB/2005 tidak ada pembedaan format.

Bila dirunut sejarahnya, munculnya SPTB berawal dari Surat Edaran Dirjen Anggaran (SE DJA) No.SE-148/A/55/1094 tanggal 13 Oktober 1994 yang merupakan tindak lanjut dari Surat Menteri Keuangan tanggal 10 Oktober 1994 No.S-743/MK.03/1994. Dalam Surat Menkeu tersebut menyebutkan bahwa dalam perkembangannya bukti yang sah pada lampiran permintaan pembayaran -dulu dengan istilah : SPP-GU (surat permintaan pembayaran penggantian UYHD)-  makin lama makin banyak sehingga mengganggu kelancaran penyelesaian dan pembayaran dari pada SPP-GU dimaksud. Untuk itulah kemudian dipandang perlu untuk melakukan penyederhanaan lampiran SPP-GU.

Pada perkembangannya batas nilai bukti-bukti pembayaran yang ditampung dalam SPTB telah mengalami perubahan. Awalnya adalah bukti-bukti pembayaran yang jumlahnya kurang dari Rp. 500.000,00 setiap kuitansi sebagaimana dalam SE DJA diatas. Kemudian pada SE DJA No.SE-72/A/2000 tanggal 15 Mei 2000 naik menjadi kurang dari Rp. 1 Juta setiap kuitansi dan dengan SE DJA No.SE-18/A/2001 tanggal 29 Januari 2001 ditetapkan menjadi kurang dari Rp. 1,5 juta. Selain itu, termasuk yang ditampung dalam SPTB adalah daftar pembayaran honor/lembur/gaji upah dengan jumlah tidak terbatas.


SE DJA No.SE-148/A/55/1094 tanggal 13 Oktober 1994 dapat kita istilahkan sebagai induk aturan SPTB. Meski dibedakan antara SPTB rutin (SPTB R) dan SPTB pembangunan (SPTB P) yang waktu itu mengikuti pembedaan antara belanja rutin dan belanja pembangunan, namun format/bentuk SPTB sama. Dalam SE tersebut memberikan petunjuk antara lain :

  • SPTB R/P dibuat untuk setiap MAK (mata anggaran pengeluaran/akun) oleh Kepala Kantor/Satker/ Pimpro/Pimbagpro.
  • Bukti-bukti pembayaran yang ditampung dalam SPTB R/P tidak lagi dilampirkan pada SPP-GU, tetapi disimpan pada Kantor/Satker/Proyek/Bagpro sebagai dokumen belanja negara, sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta untuk kelengkapan administrasi dan keperluan pemeriksaan aparat pengawasan fungsional. Yang terakhir ini dengan jelas tercantum dalam format SPTB itu sendiri.


Selanjutnya dalam lampirannya, mengenai petunjuk pengisian SPTB R/B, dijelaskan antara lain :
-          untuk kolom penerima : diisi nama penerima pembayaran, misalkan :
o   PT Subur di Jakarta
o   Dari daftar pembayaran honor/lembur/gaji upah cukup dicantumkan nama dari nomor urut satu cs, misal : Amin cs.
-          untuk kolom uraian pengeluaran : diisi keperluan pembayaran, misalkan : pembelian alat-alat rumah tangga kantor, pembayaran honor/lembur dsb.

Tidak ada jalan di kampungku yang tanpa lubang, dalam praktek saat itu, tidak semulus apa yang diharapkan, muncul beberapa interpretasi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari daftar kesalahan dalam penerbitan SPM yang diterbitkan oleh satu pihak (sebut saja pihak I), antara lain :

  1. Uraian pada SPTB  tidak dijelaskan tujuan dan lamanya melakukan perjalanan dinas
  2. Uraian pada SPTB tidak dijelaskan pangkat/golongan dan lamanya setiap pegawai melakukan perjalanan dinas
  3. Bukti setor (SSP) PPh pasal 23 atas pemeliharaan kendaraan dinas pada SPTB tidak terlampir
  4. Bukti setor PPh pasal 23 atas biaya pemeliharaan gedung kantor, rumah jabatan dan pemeliharaan kendaraan roda 4  (Red : semuanya ditampung dalam SPTB) tidak terlampir

 Atas kesalahan-kesalahan (menurut pihak I) diatas ditanggapi oleh pihak II dengan tanggapan antara lain :

  • untuk nomor 1 dan 2, tanggapannya : Tidak ditemukan ketentuan/SE DJA yang mengharuskan hal tersebut. Pada petunjuk pengisian SPTB dalam SE DJA No.SE-148/A/55/1094 tangal 13-10-1994 perihal SPTB R/P tidak mengharuskan penulisan keperluan pembayaran perjalanan dinas secara detail pada kolom uraian.
  • sedangkan untuk nomor 3 dan 4, tanggapannya : sesuai SE DJA No.SE-148/A/55/1094 tanggal 13-10-1994 perihal SPTB R/P, bukti-bukti pembayaran atas transaksi yang ditampung dalam SPTB R/P tidak lagi dilampirkan tetapi disimpan pada kantor/satker/proyek untuk kelengkapan administrasi dan keperluan pemeriksaan aparat pengawasan fungsional.

Jadi, isi dari tanggapan pihak II merupakan bantahan atau pembelaan, artinya pihak II tidak sepakat dengan apa yang ditulis atau yang menjadi pemikiran pihak I.

Dari daftar kesalahan dan tanggapan pihak II dapat kita petakan dua pemikiran yang berbeda berkenaan dengan SPTB yang dapat kita lihat pada tabel dibawah ini :

Masalah
Pemikiran pihak I
Pemikiran pihak II
 Nama Penerima & Uraian pengeluaran
Mencantumkan secara detail, seperti tujuan dan lamanya perjalanan, pangkat/golongan pegawai yang melakukan perjalanan.
Tidak harus detail
Bukti Setor SSP
Untuk PPh pasal 23, berapa pun nilai pengeluaran dalam SPTB tetap harus melampirkan bukti setor SSP
Tidak perlu dilampirkan, tetapi disimpan oleh bendahara

Untuk menelusuri bagaimana kedua pemikiran tersebut, kita mencoba melihat persoalan diatas dari argumentasi  yang berbeda dengan memposisikan diri kita pada dua pihak tersebut, sebagai berikut :

Masalah
Sudut Pandang pihak I
Sudut Pandang pihak II
Nama Penerima & Uraian Pengeluaran







Bukti setor SSP
  1. untuk memudahkan pemeriksaan/penelitian terhadap jumlah uang yang tercantum dalam SPTB. Dengan mencantumkan tujuan dan lamanya perjalanan serta pangkat/golongan dapat diketahui tarip biaya perjalanan dan berapa nilai total yang seharusnya
  2. untuk biaya pemeliharaan berapa pun nilainya dikenakan PPh pasal 23. Untuk itu bukti setor SSP juga harus dilampirkan. Interpretasi Kasipa mengenai bukti-bukti pembayaran yang tidak perlu dilampirkan adalah hanya kwitansinya saja, tidak termasuk SSP
  1. Tidak ada ketentuan yang mengatur hal demikian. Pihak II hanya bisa menghimbau agar bendahara melakukan hal tersebut. Namun jika ada SPTB yang tidak mencantumkan hal dimaksud, pihak II tidak dapat mengembalikan SPTB ke bendahara
  2. Semua bukti pengeluaran yang ditampung dalam SPTB tidak perlu dilampirkan dan disimpan oleh bendahara. Interpretasi pihak II mengenai bukti-bukti pembayaran adalah semuanya yaitu kwitansi dan termasuk juga SSP. Jadi tetap dikenakan pajak tetapi tidak perlu dilampirkan.

Untuk memperkuat argumentasi pihak II, pertama-tama akan kita kemukakan bantahan-bantahan terhadap argumentasi pihak I mengenai kedua persoalan diatas :
  1. mengenai persoalan uraian pengeluaran dan penerima pembayaran, telah jelas bahwa tidak ada ketentuan/DJA yang mengatur hal demikian sebagaimana tanggapan pihak II. Sedangkan yang ditulis oleh pihak I bersifat normatif tanpa ada landasan hukum, yang seharusnya tidak sepatutnya dimasukkan dalam daftar kesalahan. Jadi hal tersebut bukan merupakan kesalahan karena memang tidak ada yang dilanggar. Jika pihak I menghendaki demikian, maka hal itu hanya merupakan sebuah anjuran.
  2. berkenaan dengan bukti setor SSP yang harus dilampirkan, hal ini akan bertentangan dengan maksud dan tujuan dari adanya SPTB sebagaimana Surat Menkeu diawal tulisan yaitu memperlancar penyelesaian dan pembayaran, selain melakukan penyederhanaan lampiran. Adapun SE DJA No.SE-18/A/2001 tanggal 29 Januari 2001 yang mempersyaratkan fotokopi SSP yang telah dilegalisir sebagai lampiran, tidak dijelaskan untuk lampiran apa, kuitansi atau SPTB, sehingga bila tetap mempedomani SE DJA tentang SPTB maka sebenarnya fotokopi SSP tersebut adalah sebagai lampiran kuitansi yang nilainya Rp. 1,5 juta keatas.

Setelah melakukan bantahan terhadap argumentasi pihak I, maka perlu dijelaskan pula argumentasi-argumentasi yang mendukung sudut pandang pihak II, khususnya berkenaan dengan bukti setor SSP. Beberapa argumentasi dimaksud dapat kita baca sebagai berikut :
  1. apabila tetap harus melampirkan SSP, maka seharusnya juga dilampirkan faktur pajak untuk pengadaan barang/jasa sebagai dasar perhitungan pajak. Tanpa faktur pajak kita tidak dapat mengetahui pengenaan pajak secara tepat. Dengan faktur kita dapat mengetahui barang/jasa apa saja yang dikenakan pajak atau yang dibebaskan dari pajak. Dan jika melampirkan faktur pajak maka hal itu akan menghilangkan efektifitas SPTB sebagaimana maksud dan tujuannya. Begitu juga kemudian misalnya dengan jalan mencantumkan perincian barang/jasa pada SPTB, hal demikian tidak diatur dalam ketentuan SPTB. Contoh lain adalah SSP untuk PPh pasal 21 atas honor/gaji upah yang selama ini harus dilampirkan. Karena PPh pasal 21 dimaksud dikenakan untuk pegawai golongan III keatas sementara pada SPTB tidak ada aturan yang mengharuskan mencantumkan pangkat/golongan pegawai yang menerimanya, sehingga sulit untuk mengetahui siapa saja yang dikenakan pajak, maka seharusnya bukti setor pajak tidak perlu dilampirkan. Selain alasan utama adalah karena pengeluaran tersebut ditampung dalam SPTB.
  2. Untuk mengetahui jumlah penerimaan pajak dan penyetoran pajak yang dilakukan bendahara, pada pengajuan permintaan-GU telah dipersyaratkan adanya lampiran Daftar Penerimaan dan Penyetoran Pajak sebagaimana SE DJA No.SE-39/A/1990 tanggal 14 Maret 1990.
  3. Pihak II bukan aparat pajak yang bertugas “memelototi” pajak sampai sekecil-kecilnya. Kita seyogyanya mempercayakan hal tersebut kepada aparat pengawas fungsional yang akan melaksanakan pemeriksaan terhadap semua transaksi yang dilakukan bendahara.

 Dari bahasan diatas, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan mencantumkan secara detail penerima dan uraian pengeluaran pada SPTB, sehingga bukan merupakan kesalahan dan tidak sepatutnya dimasukkan dalam daftar kesalahan.
  2. Semua bukti pengeluaran yang ditampung dalam SPTB sampai dengan kurang dari Rp. 1,5 juta tidak perlu dilampirkan bukti setor SSP. Kita tetap berpedoman pada ketentuan yaitu dikenakan pajak tetapi bukti setor pajak disimpan oleh bendahara. Oleh karena itu, lampiran SSP untuk SPTB yang bernilai diatas Rp. 1 juta sampai dengan kurang dari Rp. 1,5 juta untuk setiap pengadaan barang/jasa, biaya pemeliharaan dan sebagainya yang menurut ketentuan dikenakan pajak, tidak diperlukan lagi.
Begitulah perdebatan seputar SPTB yang terjadi pada jaman UYHD. Sebenarnya, sejak dulu sudah ada pihak-pihak yang menginginkan penyerahan tanggung jawab kepada satker K/L dalam batas-batas tertentu.

Nah, bagaimana dengan ketentuan saat ini. Dengan PMK 190/PMK.05/2012, tak ada lagi kewajiban untuk membuat SPTB. Semuanya telah berubah. Tak ada lagi kontrol belanja yang dilakukan oleh kementerian keuangan terhadap item belanjaan kementerian/lembaga (K/L). Paradigma lets the manager manage, hampir-hampir secara full diberlakukan, dan tanggung jawab sepenuhnya ada di K/L. Apakah kemudian kementerian keuangan, hanya sekedar kasir? Tutup mata dengan apapun pengeluaran yang dilakukan K/L? Padahal, menurut saya, esensi UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, yang menyebut Menteri Keuangan bukanlah sekedar kasir termasuk mekanisme check and balance ada di SPTB….

(mungkin saja tulisan ini bersambung)…

Rabu, 30 Januari 2013

Supervisor



Aneh….
Saya juga tidak tahu persis cerita awal mula dipakainya istilah supervisor di kantor saya. Tetapi saya teringat ketika pertama kali saya bertugas di daerah Sulawesi. Tugas pertama saya sesuai nota dinas adalah operator program aplikasi dokumen perintah pembayaran. Waktu itu selain operator ada salah seorang pegawai yang diangkat menjadi supervisor. Operator bertugas merekam dan mencetak dokumen perintah pembayaran, sedangkan supervisor bertugas mencetak daftar penguji dokumen perintah pembayaran, melakukan load data, yang dilanjutkan dengan pengiriman data melalui disket ke Seksi yang menangani pelaporan penerimaan dan pengeluaran. Jadi tugas supervisor hanya sebatas itu dan penetapan jabatan supervisor ditentukan dengan pangkat yang biasanya lebih tinggi daripada operator tanpa memperhatikan tingkat kemampuan di bidang komputer.

Dengan adanya reorganisasi dan berubahnya nomenklatur kantor dengan segala perangkat aplikasi yang terintegrasi, tersebutlah kemudian jabatan supervisor. Sebuah jabatan yang tidak ada di struktur organisasi, bukan pula jabatan fungsional bahkan tidak tercantum dalam uraian jabatan. Celakanya, istilah ini muncul di SOP. Awalnya juga sama dengan paragraf pertama diatas, yaitu sebagai supervisor dokumen pembayaran (dengan istilah yang sedikit berbeda yaitu dokumen pencairan dana), dengan tugas utama menjaga dan melakukan pemeliharaan atas database dokumen perintah pencairan dana, yang mana database ini dipakai oleh seluruh aplikasi di kantor. Tidak hanya mencetak daftar penguji, supervisor juga bertugas melakukan pencetakan atas net dokumen pencairan dana.

Seorang pejabat kantor pusat  pernah bertanya pada seorang supervisor ketika pejabat ini melakukan kunjungan kerja di suatu kantor daerah. Pejabat bertanya apa tugas supervisor. Sang supervisor pun menjawab dengan lugu dengan jawaban seperti isi paragraf kedua diatas. Tetapi sang pejabat tidak puas atas jawaban tersebut. Bagaimana kelanjutan cerita ini saya lupa. Yang jelas saya bingung dengan ketidakpuasan pejabat tersebut. Dengan tidak adanya petunjuk atau uraian jabatan supervisor, sejurus waktu kemudian saya mencoba merumuskan tugas supervisor kira-kira seperti berikut ini :
  • menjaga dan memelihara database;
  • menjalankan aplikasi startup database agar seluruh aplikasi dapat dijalankan;
  • melakukan pencetakan net dokumen pencairan dana;
  • melakukan pencetakan daftar penguji;
  • melakukan load data;
  • di awal tahun melakukan install database dan aplikasi di semua client;
  • memantau perkembangan aplikasi di intranet, mendonwload dan melakukan  update aplikasi;
  • memberikan bantuan kepada client atas hal-hal yang berkaitan dengan aplikasi;
  • menjaga dan memelihara jaringan komputer agar tetap terkoneksi satu sama lain dan selalu terkoneksi dengan intranet/internet;
  • menjaga dan memelihara hardware komputer, printer;
  • melakukan pelaporan atas penggunaan blangko dokumen pencairan dana termasuk melakukan permintaan blangko dan nomor dokumen;
  • melakukan pembetulan database apabila ditemukan kesalahaan dalam penerbitan dokumen pengeluaran maupun dalam perekaman data penerimaan;
  • selalu memantau perkembangan aplikasi di website;
  • memantau perkembangan informasi dan melakukan pemeliharan terhadap email kantor (melakukan penghapusan terhadap email yang sudah tidak dibutuhkan);
  • melakukan backup data setiap hari;
  • menjaga database dan seluruh komputer dari serangan virus;
  • memberikan bantuan kepada seksi lain dalam hal penggunaan database;
  • menjadi petugas helpdesk untuk aplikasi yang digunakan mitra kerja, bahkan aplikasi lainnya;
  • menguasai seluruh aplikasi termasuk aplikasi satker;
Memang lumayan banyak tugas yang harus diemban oleh supervisor. Makanya kemudian untuk jabatan ini dibutuhkan SDM yang handal dibidang komputer, software maupun hardware. Itulah kemudian hampir setiap tahun supervisor dipanggil ke Jakarta untuk mendapatkan bimbingan teknis. Selebihnya harus belajar sendiri agar tidak memalukan dan disebut sebagai supervisor ecek-ecek. Sehingga kemudian yang ditunjuk sebagai supervisor biasanya mereka yang muda-muda dengan kemampuan komputer yang handal. Namun sayangnya mereka ini masih dengan pangkat golongan pemula karena biasanya mereka adalah teman-teman lulusan D1 maupun D3, meski ada juga yang berasal dari pegawai penerimaan umum.

Sampai pada bagian sebelum ini sepertinya belum muncul persoalan. Setelah penerapan job grading dan renumerasi, barulah timbul masalah. Ternyata jabatan supervisor tidak ada dalam daftar peringkat jabatan. Mereka-mereka yang menjabat supervisor tetap diberikan peringkat jabatan sesuai pangkat golongannya. Bagi supervisor dengan pangkat golongan yang sudah tinggi, tidak menjadi soal. Masalah ada pada supervisor dengan pangkat dan golongan pemula. Sungguh kasihan mereka ini. Sudah dengan tugas yang seperti diatas tetapi dengan peringkat jabatan yang rendah..., apa kata dunia....? Namun apa mau dikata, daftar peringkat jabatan sudah ditetapkan Menteri. Untuk merubahnya harus dengan Keputusan Menteri pula. Mungkin pengusul/pengonsep peringkat jabatan belum mengenal jabatan supervisor, karena mungkin belum pernah bertugas di kantor daerah.

Apa kemudian yang harus dilakukan? Berdoa sajalah, semoga hal ini terpikirkan kembali oleh pimpinan pusat. Terus coba kita tanyakan kepada para kepala kantor. Kira-kira kalau kantor tanpa supervisor, kantor bisa jalan tidak ? terus sebaliknya kalau kantor cukup dengan 1 orang supervisor untuk menangani semua aplikasi, bisa jalan tidak? Untuk pertanyaan yang terakhir ini, saya bisa menjawabnya, yaitu bisa, karena saya telah mengalaminya yaitu merangkap jabatan sebagai supervisor, petugas loket, operator laporan penerimaan, operator verifikasi akuntansi sekaligus bahkan sebagai kurir dokumen pembayaran ke bank. Mampukah? Jawabannya : mampu, karena supervisor memang harus seperti itu. Ketika itu, saya sempat berkelakar kepada teman-teman di kantor dengan kalimat begini : sudahlah, kalian pulang saja, cukup saya sendiri yang ngerjakan... Dan saya yakin ada yang tersinggung. Biar saja...

Problem selanjutnya yang perlu juga diperhatikan adalah masalah regenerasi dan kaderisasi. Kalau tidak hati-hati dalam hal ini, artinya kepala kantor lupa melakukan kaderisasi jabatan supervisor, bisa-bisa kejadian yang menimpa salah satu kantor bisa terulang kembali. Kejadiannya begini : ketika sang supervisor dimutasi, pegawai yang ditunjuk sebagai pengganti belum siap atau belum ideal untuk menjadi supervisor, karena belum terjadi transfer ilmu dari supervisor lama. Selang beberapa waktu kemudian database kena virus dan hancurlah semuanya karena ternyata tidak ada backup data. Kita tidak bisa menyalahkan sang supervisor baru karena memang dia belum tahu ilmunya. Waktu itu, saya sempat dikontrak untuk membantu memperbaiki data dan aplikasi kantor tersebut.

Jadi suatu langkah yang tepat jika kemudian saya yang telah lama bertugas sebagai supervisor diganti oleh teman lain dengan sebuah pesan dari kepala kantor agar saya memberikan bimbangan teknis kepada teman saya ini. Semoga saya tidak pelit atas ilmu yang saya miliki.
(ditulis pertama kali di tahun 2008, dan telah mengalami penyuntingan)

Jumat, 25 Januari 2013

Arsip Lama (Puisi) : Kerinduan

Dibawah temaram bulan purnama
Aku lamunkan jiwa bersamanya
Seorang gadis manis belahan jiwa
Lekat pekat dalam nafas dan darah

Angin malam menyesakkan dada
Kubalut rinduku dengan bayanganmu
Luka cinta melukiskan goresan wajah
Bidadariku jauh terpisah rentang samudra
Pesona cinta mengalahkan segala rasa
Duka murka tersina karenanya

Getar nadi terasa menghitung hari
Penantian panjang memutihkan uban
Galau hati tak lagi dapat dibendung
Menyegera memadu rindu asmara

Selasa, 22 Januari 2013

Cuti Bersama Yang Tidak Digunakan Karena Kepentingan Dinas



Pada suatu kementerian terdapat Surat Edaran Menteri tentang pelaksanaan cuti. Salah satunya mengatur tentang Cuti bersama yang tidak digunakan. Bunyi lengkapnya seperti ini :  Cuti bersama yang tidak digunakan karena kepentingan dinas dan berdasarkan surat tugas, tetap menjadi hak cuti tahunan PNS. 

Bagaimana tatacara pelaksanaannya? Sepertinya di tingkat eselon I kementerian tersebut, belum mengatur secara detil. Bagi unit eselon I yang tidak memiliki kantor daerah, memang tidak terlalu merisaukan. Ini berbeda dengan eselon I yang memiliki banyak kantor daerah. Tidak jarang, cuti bersama justru merugikan pegawai karena hak cutinya terenggut. Padahal cuti tersebut akan digunakan untuk menengok anak istri di kampung.

Ada banyak alasan mengapa beberapa atau banyak pegawai yang terpisah jauh dari keluarganya. Hal ini yang membuat cuti tahunan menjadi sangat berarti dan sedapat mungkin dihemat. Maka, ketika terdapat kebijakan cuti bersama dan pegawai tersebut tidak dapat menggunakan cuti bersama tersebut untuk kepentingan diri dan keluarganya, dia akan merasa dirugikan.

Saya pikir, ketentuan dalam SE Menteri diatas bisa menjadi solusi. Akan tetapi terkadang di pimpinan unit kerja daerah terbiasa dengan ketentuan yang mendikte, yang akhirnya mohon petunjuk pada kantor pusatnya.

Mungkin saja kantor pusat akan bereaksi : sudah jelas begitu kok malah banyak tanya. Dan yang kemudian terjadi adalah seperti nasib kaum yahudi yang terlalu banyak bertanya ketika diperintah untuk menyembelih sapi betina. Mempersulit diri dan hampir-hampir saja mereka tidak dapat menunaikan perintah tersebut.

Dengan mengambil referensi dari surat edaran tentang pelaksanaan kegiatan dan beberapa ketentuan lainnya, maka tatacara pelaksanaan kegiatan kepentingan dinas pada saat cuti bersama, saya kira bisa diatur sebagai berikut : 

Untuk lingkungan Kantor Pusat dan Kantor Wilayah, ijin pelaksanaan kegiatan dan surat tugas ditetapkan oleh pejabat eselon II. Untuk lingkungan unit kerja daerah setingkat eselon III : 

  • Pimpinan unit eselon III pemrakarsa kegiatan mengajukan ijin kepada Kepala Kanwil.
  • Kepala Kanwil menetapkan surat persetujuan apabila ijin diberikan, dan menetapkan surat penolakan apabila ijin tidak diberikan.
  • Atas dasar surat ijin Kepala Kanwil, pimpinan unit eselon III menetapkan surat tugas kepada pejabat/pegawai unit eselon III tersebut. 
Kegiatan kepentingan dinas pada saat cuti bersama yang dilaksanakan di kantor, berlaku ketentuan sebagaimana hari kerja biasa dan para pegawai yang mendapat surat tugas wajib mengisi daftar kehadiran. Pelaksanaan pekerjaan di lingkungan kantor pada saat cuti bersama tidak dianggap sebagai kerja lembur dan tidak mendapatkan biaya yang dibebankan pada APBN termasuk tidak mendapatkan uang makan.

 Kriteria kegiatan pada saat cuti bersama yang dilaksanakan di kantor, adalah :
  • Kegiatan yang mendesak (penyelesaian pekerjaan/tupoksi pada akhir tahun, dsb)
  • Kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan pada hari kerja biasa
  • Kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan organisasi
  • Kegiatan bukan dimaksudkan hanya untuk mengisi kekosongan waktu selama cuti bersama
Setelah pelaksanaan kegiatan, untuk unit eselon III di daerah diwajibkan menyusun laporan hasil pelaksanaan kegiatan dan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah masing-masing.

Kegiatan kepentingan dinas pada saat cuti bersama yang dilaksanakan dalam rangka perjalanan dinas, berlaku ketentuan sebagaimana pelaksanaan perjalanan dinas.

Arsip Lama : Menggugat Tunjangan Korpri




(Tabloid DeTAK No.97 Tahun Ke-2 . 6 - 12 Juni 2000; tulisan yang sama juga dimuat di Majalah FORUM Keadilan pada rentang waktu yang sama)

***

Selama ini keberadaan Korpri tidak memberikan arti bagi PNS. Kontribusi yang diberikan hanyalah sebuah paksaan untuk memakai seragam Korpri, upacara setiap tanggal 17 serta kewajiban membayar iuran Korpri. Banyaknya kritik dan cercaan bahkan tuntutan pembubaran Korpri merupakan tanda bahwa keberadaan Korpri tidak lagi diinginkan. Hanya segelintir orang yang menikmati yaitu para pengurusnya. Orang-orang yang mencoba mempertahankan mungkin merasa bisa mengambil untung dari keberadaan Korpri. Dan saya yakin mereka adalah para pengurusnya. Mengapa?

Berdasarkan Surat Edaran Kepala BAKN tanggal 12 November 1984 No. 12/SE/1984, pegawai negeri sipil yang diberi tugas pada kesekretariatan Korpri berhak menerima tunjangan jabatan struktural sesuai jenjang jabatan pada Sekretariat Korpri seperti yang tercantum dalam lampiran Keputusan Menpan No. 61/MENPAN/1982, 25 November 1982 sebagaimana ditetapkan dalam Keppres No. 15 tahun 1977 yang diperbarui dengan Keppres No. 9 tahun 1985 Jo Keppres No. 29 tahun 1985. Sungguh ironis sekali, pengurus sebuah organisasi mendapat tunjangan jabatan, sama dengan tunjangan jabatan eselon pada sebuah departemen.

Maka dengan kenaikan tunjangan struktural tahun anggaran 2000 yang sangat kontroversial, otomatis tunjangan jabatan Korpri ikut naik. Layakkah? Sebuah organisasi yang tidak memberikan kontribusi masih mendapat tempat yang istimewa.

Peninjauan kembali bahkan pencabutan atas pemberian tunjangan jabatan Korpri, saya kira merupakan hal yang harus dilakukan agar kecemburuan antar PNS tidak menjadi berlarut-larut yang justru akan membuat ketidakkompakan PNS selain dengan pertimbangan tidak adanya kontribusi bagi masyarakat. Jika kemudian pemerintah masih ngotot mempertahankan tunjangan jabatan Korpri, maka patut pula pengurus PGRl menuntut hal yang sama, begitu pula dengan organisasi-organisasi pegawai lainnya.


(Entah, apa ada hubungannya, tak lama kemudian, tunjangan Korpri dicabut)