Jumat, 12 Desember 2014

SI KANAN & SI KIRI

Rumahnya berada di tengah. Hidup di kompleks memang serba kompleks. Begitu juga dengan kedua tetangga yang berdampingan itu. Yang kanan, baik hatinya dan selalu berprasangka baik. Yang kiri, lebih banyak berburuk sangka dan pendengki. Dia menyebut tetangganya si kanan dan si kiri. Di dalam cerita ini, dia dikaruniai kemampuan untuk mendengar suara tetangganya meski dihalang tembok. Bisa juga karena saking tipisnya tembok antar rumah.

Ketika ia membeli seperangkat meja kursi tamu, ia mendengar si kanan berkata: “Alhamdulillah, tetangga kita punya kursi baru. Kalau bertamu, kita bisa duduk di kursi, tak lagi lesehan.”

Sedang si kiri berseloroh: “Bergaya, pake beli kursi baru…, emang dia punya tamu,” katanya bersungut-sungut.

Kala ia mengadakan pesta ulang tahun anaknya, ia mendengar si kiri berkata: “anak baru kemarin sore, udah diulang tahunin, emang ngerti dia… paling-paling hanya buat nyari kado.”

Sebaliknya justru si kanan berdoa untuk kebaikan anaknya: “semoga si Ay menjadi anak yang pintar dan sholehah.”

Waktu terus berputar membawanya pada rejeki yang cukup untuk membeli mobil. Saat mobil barunya tiba, si kanan buru-buru mendatanginya untuk mengucapkan selamat dan turut gembira. Sejurus kemudian mereka kaget mendengar suara keras dari dalam rumah si kiri.

“Bruuaakkk!”
“Tolong…, tolong….!” 
Teriak seorang anggota keluarga si kiri sambil berlari keluar rumah. Katanya, si kiri jatuh pingsan dan menimpa rak piring.  Sebelum pingsan, darah tinggi si kiri kumat setelah melihat mobil baru tetangganya itu.

Rabu, 10 Desember 2014

WANG SINAWANG



Setiap orang menganggap kehidupan orang lain lebih enak.
Orang kota: “Orang desa itu hidupnya enak. Semua punya sendiri. Gabah, beras, sayuran, buah-buahan, semuanya tak usah beli. Kami, orang kota, semuanya serba beli dan mahal.”
Orang desa: “Siapa bilang enak? Memang benar semuanya milik sendiri, panenan sendiri. Tapi, semua harus bayarin orang. Kadang, modal dengan hasil panen ndak imbang. Pas panen harga anjlok.” “Lebih enak itu jadi pedagang. Barangnya banyak dan selalu pegang uang.”
Pedagang: “Enak apanya, barang banyak tapi modal utangan. Ini barang milik juragan di kota. Kalau sedang sial, habis kulakan, harga turun.., ya bonyok…”
“Paling enak itu ya pegawai negeri.. Tiap bulan terima gaji, pakaiannya bagus dan rapi. Kerja di kantor, tidak panas dan kehujanan.”
Pegawai negeri: “Sembarangan…. pakaiannya sih rapi, tapi kantong dan dompet lebih sering kempes. Habis terima gaji langsung ludes buat bayar cicilan. Berhari-hari sampai ubanan nungguin tanggal satu.”
“Lebih enak itu jadi tukang cukur. Dapat uang, bisa pegang-pegang kepala orang, bahkan kepalanya Bupati.”
Tukang cukur: “Cuman pegang kepala, apanya yang enak. Kalau salah cukur, malah didamprat orang…… Enak itu ya, tukang pijat. Bisa raba-raba badan dari kepala hingga kaki.”
Tukang pijat: “Megang-megang badan tapi ndak bisa lihat, apa enaknya…. paling enak itu ya bidan atau dokter kandungan…bisa lihat semuanya.”
Dokter kandungan -yang duduk disamping tukang pijat- menimpali dengan kalimat yang isinya hampir sama. Lalu, berlanjut pada pengacara disebelahnya, dan terus bersambung pada orang-orang dengan profesi yang berbeda. Semuanya menyebut orang lain lebih enak.

***

Kamis, 27 November 2014

GARA-GARA TIDAK BISA NGAJI



Setelah wafat, baru kali ini ia berziarah ke makam orang tuanya. Itu pun sekedar mampir. Kebetulan ada tugas ke kota kampung halamannya. 

Setelah singgah ke rumah kerabat, ia mendatangi kuburan bapak ibunya. Ia membawa bungkusan kembang, sapu, sabit dan kendi berisi air. Rumput yang menyelimuti dua makam yang berdampingan itu, ia bersihkan tak tersisa. 

Ia duduk bersimpuh. Wajahnya seperti orang bingung. Terlintas di benaknya tayangan TV tentang orang yang berziarah kubur dg tahlil, membaca Yasin atau surat Quran lainnya. Ia ingin seperti itu, tapi ia tidak bisa tahlil dan membaca Quran. Fatihah pun terbata-bata. Orang tuanya tak pernah mengajarinya. 

Lalu, ia menabur bunga. Air dalam kendi ia tuang merata ke atas makam. Dia pikir, agar bapak ibunya merasa adem di alam kubur. Tiba-tiba terdengar suara.


Kowe ki piye to Le.., gara-gara kamu siram air, tanah diatasku jatuh masuk ke mataku. Aku kelilipen, Le…
 
Ia kaget dan lari terbirit-birit. Bajunya robek tersangkut pagar kuburan.

***

Selasa, 25 November 2014

BAHAGIA DI PUCUK SADEL



Ada pasangan suami istri, orang desa yang sederhana, pengen pergi ke kota. Tidak punya sepeda motor. Mereka boncengan naik sepeda onthel. Sepedanya kelihatan tua, sudah karatan. Pedalnya tidak lagi komplit, hanya tersisa besi bagian tengahnya. Kulit sadelnya pun sebagian sudah mengelupas. Sang suami mengayuh sepeda yang terasa berat dengan beban dua orang.

“Krieeet... krieeet... krieeet...”

Tiba-tiba dari belakang menyalip mobil Pasjeroan, tanpa sebelumnya membunyikan klakson.
“Ngeeeengg......wuussss....!”

Hembusan anginnya membuat sepeda yang mereka naiki sedikit oleng. Dengan sigap sang suami bisa menguasai kembali sepedanya. Si istri terlihat makin erat merangkul suaminya. Benar-benar terlihat mesra dan romantis.

“Biarin saja, Mas..., disalip ndakpapa... mobil yang nyalip tadi, paling kreditannya belum lunas.” Kata si istri membesarkan semangat suaminya mengayuh sepeda.

“Iya, Dik.. benar itu. Tadi di belakang mobil, ada stiker “kreditan multifinance”. Seperti di mobil Apansa Kang Paijo.” Ujar sang suami.

“Syukurlah, meski sepeda onthel, tapi kita ndak punya utang ya, Mas...”

Masih puluhan kilometer jalan yang harus mereka tempuh. Tak ada rasa lelah.
“Krieeet... krieeet... krieeet...”

“Lihat, Mas... itu kan, mobil yang nyalip tadi,” kata si Istri sambil menunjuk ke arah halaman Pengadilan Agama.

“Ada apa Dik, ya...jangan-jangan mereka seperti Kang Paijo,” ujar si Suami.
Dua minggu yang lalu, istri Paijo menggugat cerai.

“Awas, Dik.. ada tanjakan, biar ndak jatuh, sini tanganmu pegangan erat di pucuk sadel,” kata si suami cengengesan.

“Ah, Masku ini, bisa aja,” kata si istri sambil cekikikan. 
Ia paham dengan ada apa di pucuk sadel.

***