Jumat, 30 Mei 2014

Leader’s DNA



Tulisan ini saya sarikan dari ceramah Ibu Betti Alisjahbana pada Leadership Series. Tentunya dengan beberapa penyesuaian dan editing.

Guru leadership, John C. Maxwell mengatakan “leadership is about influence. nothing more, nothing less”.  Kalau kita meskipun titelnya bukan presiden direktur atau manajer, tapi kita bisa meng-influence orang dan bisa membuat orang bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik maka kita bisa disebut leader. Jadi jangan dicampur-campur antara  leadership dengan suatu posisi. Ada orang yang posisinya keren tetapi tidak bisa influence orang, maka dia bukan leader. Leader harus mampu mempengaruhi orang lain.

Kalau langkah-langkah kita bisa membuat orang terinspirasi, membuat orang menjadi punya cita-cita tinggi, membuat orang ingin belajar lebih banyak, membuat orang-orang ingin melakukan hal-hal dengan lebih baik dan hasilnya baik maka kita adalah pemimpin, terlepas dari titel kita bukan pemimpin, CEO atau manajer.

Kita tidak perlu menunggu diangkat menjadi sesuatu untuk menjadi pemimpin. Kita bisa mulai dari posisi apapun.  Apabila kita bisa mengispirasi orang melalui langkah-langkah yang kita lakukan, membuat orang menjadi bercita-cita tinggi, maka kita itu bisa mengklaim diri kita seorang leader.

Ada 6 karakteristik leader’s DNA yang dibutuhkan, agar seorang pemimpin berhasil.


Pertama, drive and passion. Leader harus punya drive, punya passion. Kalau kita tidak bergairah, tidak minat pada bidang yang kita lakukan, jangan harap kita bisa influence orang lain, jangan harap kita menginspirasi orang lain. Jangan harap membuat orang passionate kalau kita sendiri tidak passionate terhadap bidang yang kita pimpin. Itu sebabnya dianjurkan untuk memilih bidang-bidang yang kita punya passion. Karena hanya dengan cara itu, kita bisa sukses sebagai pemimpin. Pemimpin passionate saja anak buahnya belum tentu, apalagi pemimpinnya tidak passionate. Kalau diatas miringnya sedikit, kebawah akan makin besar. Jadi kita harus mulai bahwa kita harus passionate.

Kedua, desire to lead. Karena memimpin itu seringkali dihadapkan pada posisi-posisi yang sulit. Seringkali sebagai pemimpin, dihadapkan pada pilihan yang sulit. A ada plusnya, ada minusnya. B ada plusnya, ada minusnya. Dan orang yang tidak punya desire to lead, seringkali : “ayo A atau B? dia pilih “atau”. Dia tidak mengambil posisi, itu tidak bisa disebut pemimpin, karena leader harus mengambil pilihan, apapun konsekuensinya. Dan seringkali konsekuensinya hal-hal yang sulit. Dia harus bertanggung jawab dan itu adalah leadership.

Selain itu pemimpin mesti “high effort , high desire to achieve, high energy level”. Biar pun kita sudah bekerja dari pagi sampai malam, energi kita harus tetap tinggi karena kalau energinya loyo, akan menular. Demikian juga energi tinggi , juga menular . Kalau kita melihat pemimpin klemar-klemer, lambat, kita ikut ketularan. Tapi kalau kita lihat pemimpin kita gesit, cepat, itu juga menular.

Desire to lead juga terkait kemauan untuk mengambil tanggung jawab. Yang sering terjadi adalah kalau sukses itu “bapaknya” banyak, tapi kalau gagal itu “yatim piatu”, tidak ada yang mau jadi “bapaknya”.  Begitu gagal, mencari kambing hitam. Padahal ketika gagal dan berani mengambil tanggung jawab, maka kegagalan itu adalah kesempatan untuk kita belajar dan menemukan suatu solusi bagi kegagalan itu. Tapi kalau kita gagal, kita mencari kambing hitam maka kita tidak belajar, tidak berusaha mengatasi, karena yang salah orang lain, bukan kita. Kita sibuk mencari kanbing hitam dan akibatnya kita menghilangkan kesempatan untuk belajar dari kegagalan. Orang sukses menggunakan kegagalan untuk memperbaiki dan akhirnya bisa sukses. Sedangkan,  orang gagal menggunakan kegagalan untuk mencari kambing hitam.

Ketiga, Integrity. Adalah prasarat untuk menjadi pemimpin yang baik, karena suka atau tidak suka semakin tinggi posisi kita, semakin kita menjadi leader maka kita adalah rule model. Pilihannya adalah rule model untuk sesuatu yang bagus atau rule model untuk sesuatu yang tidak bagus. Karena kita akan ditiru. Sehingga, masalah integrity ini menjadi sangat penting. Ada buku yang sangat bagus yang ditulis Stephen R Covey : “The speed of trust”. Intinya : ketika ada trust, maka segala sesuatu akan lebih cepat dan lebih murah. Tapi kalau trust itu tidak ada, maka menjadi lambat dan lebih mahal.

Pada satu forum, salah satu pemimpin BUMN bercerita, bagaimana kasihannya para pemimpin BUMN karena ada 8 UU termasuk UU Tipikor yang mengatur mereka. Begitu banyak aturan  yang mengakibatkan mereka sulit untuk bergerak cepat. Orang menjadi gamang untuk mengambil decision.  Itu adalah akibat trust yang kurang, barangkali karena sebelumnya  terjadi sesuatu misalnya ada direktur BUMN yang nakal. Maka dibikinlah aturan yang makin lama aturannya makin banyak. Sehingga untuk melakukan sesuatu itu, ternyata yang mengikat banyak sekali. Padahal sekarang ini adalah eranya speed, yang makin lama makin cepat. Good governance itu perlu, tapi tidak boleh berlebihan. Karena kalau berlebihan segala sesuatu menjadi mahal. Ada banyak yang melakukan cek dan ricek dan itu dilakukan oleh orang yang tentu ada biayanya.

Jadi untuk menjadi pemimpin kita harus bisa dipercaya agar kita bisa melakukan sesuatu dengan cepat. Ada bos yang kalau dia yang bicara atau yang  minta, kita tidak banyak berpikir panjang, pasti tujuannya baik, karena kita percaya. Tapi ada bos yang punya track record yang kurang bagus, kalau dia minta sesuatu kita kemudian bertanya “ada maunya apa ya?” karena kita tidak trust, maka menjadi lama. Itulah pentingnya bahwa leader itu harus punya integrity.

Pemimpin yang dipercaya digambarkan sebagai obat. Obat mengandung zat untuk mengobati sakit tertentu tetapi juga mengandung racun bagi organ lainnya. Ketika kita makan obat, kita punya trust, meskipun ini pahit, meskipun  ada resikonya , tetapi ini baik untuk kita. Kalau pemimpin itu dipercaya meskipun ada sesuatu tantangan yang harus dihadapi atau ada suatu resiko, maka Timnya akan mau mengikuti dan melakukan . Tetapi kalau pemimpin itu tidak dipercaya maka “kalau enak saya ikuti kalau gak enak saya gak ikutin”. Jadi, trust itu menjadi sangat penting . 

Pemimpin juga harus memiliki konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Paling repot adalah kalau pemimpin bilang A tapi melakukan B.  Karena ujung-ujungnya kalau ada inkonsistensi antara perkataan dan perbuatan, maka yang dilihat orang lain adalah perbuatannya.

Keempat, self confidence. Karena kita harus bisa influence orang. Kalau kita tidak percaya sama diri sendiri, bagaimana kita mengharapkan orang yang kita pimpin bisa percaya dengan kita. Biasanya kalau kita melihat orang  yang yakin sekali, bisa menerangkan dengan sangat bagus dan meyakinkan, kita akan ikut yakin.

Kelima, intelligence. Ini diperlukan untuk bisa menganalisa situasi mana ujung mana pangkal. Begitu banyak informasi, mana yang sebetulnya relevan, mana yang tidak relevan. Dan atas dasar itu, dia bisa membuat keputusan. Kadang-kadang orang tidak berani mengambil decision karena bingung begitu banyak faktanya dan saling bertolak belakang. Dan untuk itu dibutuhkan intelligence.

Keenam, job relevant knowledge. Punya pengetahuan yang relevan dengan pekerjaannya. Tergantung pekerjaannya itu apa. Kalau leadership di bidang perbankan, dia harus tahu perbankan.  Kalau pada awalnya belum tahu, maka dia harus belajar dulu supaya lebih tahu. Ada pemimpin dengan background arsitek dan terjun di dunia IT.  Maka pada saat mulai memimpin, belajarnya harus lebih banyak dari orang lain karena harus menguasai bidang itu. Kalau orang lain belajar sejam, maka dia belajar 3 jam karena ada hal-hal yang belum dikuasai. Tidak berarti bahwa harus tahu segalanya, tetapi pada saat kita memulai memimpin kita harus mempelajari semuanya agar menguasai bidang yang kita pimpin. Memang, semakin tinggi posisi, yang perlu kita ketahui adalah the big picture, atau konsepnya.

Semoga bermanfaat.

***

Kamis, 08 Mei 2014

Tanggung Jawab dan Hak Penyetor Dalam Sistem MPN G-2

Saya kira masyarakat atau penyetor harus mengetahui hak dan tanggung jawabnya terkait implementasi sistem MPN G-2. Masyarakat yang melakukan penyetoran penerimaan negara dalam konteks ini dikenal dengan istilah wajib pajak/wajib bayar/wajib setor. Saya akan menyebutnya dengan istilah penyetor.

Sejatinya, hal ini dapat dibaca di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik. Hanya memang PMK tersebut tidak melulu mengatur tentang hak dan tanggung jawab penyetor tetapi segala hal terkait sistem penerimaan negara.

Jadi, bagi masyarakat mungkin akan malas untuk memelototinya. Pada tulisan ini, saya mencoba memaparkan apa sebenarnya hak dan tanggung jawab tsb. Memang dalam PMK tidak disebutkan secara tekstual atau secara tersurat tentang hak dan tanggung jawab tsb. Tetapi, dapat kita tafsirkan dari beberapa pasal yang mengatur penatausahaan penerimaan negara dan beberapa pasal lainnya.

Secara singkat, maksud tulisan ini adalah agar penyetor mengetahui apa yang perlu disiapkan dan apa yang akan mereka dapatkan dari MPN G-2.

Jika sistem MPN G-2 sudah diimplementasikan secara penuh (dan tidak terjadi gangguan), maka kewajiban penyetor adalah menyetorkan penerimaan negara ke bank persepsi dengan menggunakan kode billing. Artinya, jika akan melakukan setoran pajak atau PNBP, penyetor harus terlebih dahulu membuat kode billing. Dengan kode billing, barulah dapat dilakukan penyetoran baik melalui ATM atau teller atau sarana lainnya.

Dengan keharusan membuat kode billing dari sistem pajak atau sistem PNBP, maka penyetor wajib memiliki akun (user/password) untuk bisa login pada sistem pajak atau sistem PNBP. Dan mundur kebelakang, karena untuk membuat akun itu membutuhkan beberapa syarat yaitu alamat email, NPWP dan akses internet, maka ketiganya juga harus dimiliki oleh penyetor. Tetapi, apakah mesti demikian?

Untuk NPWP memang wajib dimiliki. Tetapi bahwa penyetor mesti memiliki akun sistem, alamat email dan akses internet, saya kira bisa jadi hal tersebut dapat diberikan atau difasilitasi oleh pihak lain atau pihak pemerintah. Ada layanan yang disediakan untuk masyarakat dalam pembuatan kode billing tanpa mereka harus memiliki akun sistem, alamat email dan akses internet. Cukup dengan membayar jasa atau malah gratis, mereka mendapatkan kode billing dan dapat melakukan setoran penerimaan negara.

Kewajiban yang lain adalah penyetor mengetahui atau mengenali bank persepsi yang memberikan layanan MPN G-2. Karena tidak semua bank bisa memberikan layanan menerima setoran penerimaan negara. Saya kira, menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan sosialisasi, bank apa saja yang ditetapkan sebagai bank persepsi dan dapat memberikan layanan MPN G-2. Atau bisa juga dengan memberikan/menempel tanda khusus (stiker logo MPN G-2) pada kantor-kantor bank persepsi termasuk juga stiker MPN G-2 pada mesin ATM yang bisa digunakan untuk melakukan setoran penerimaan negara.

Berikutnya adalah menyangkut tanggung jawab penyetor. Dalam PMK disebutkan bahwa dalam hal kode billing diperoleh dari perekaman oleh wajib pajak/wajib bayar/wajib setor, maka wajib pajak/wajib bayar/wajib setor bertanggungjawab atas kelengkapan dan kebenaran data pembayaran berkenaan. Salah satu yang penting adalah kebenaran kode mata anggaran penerimaan atau yang dikenal dengan istilah akun. Bahwa apakah setoran yang dilakukan tersebut untuk pajak pph ps 21 atau PPN atau pph pasal 23, haruslah tepat. Itu menjadi tanggung jawab penyetor ketika melakukan perekaman pada pembuatan kode billing.

Hal ini berbeda dengan penyetoran manual yang menggunakan surat setoran, dimana petugas bank juga menginput pada sistem bank, beberapa data yang sebelumnya juga diisikan oleh penyetor pada surat setoran. Ada dua pekerjaan yang sama.  Artinya petugas bank turut bertanggung jawab atas kebenaran data. Dengan sistem MPN G-2 dan melalui layanan over the counter (teller), petugas bank cukup menginput kode billing tersebut dan tidak lagi bertanggung jawab atas kebenaran data setoran. Lebih-lebih, jika melalui ATM, sama sekali petugas bank tidak terlibat, karena semuanya dilakukan sendiri oleh penyetor.

Bagaimana jika nanti tersedia jasa layanan pembuatan kode billing dari pihak lain? Bagaimana dengan tanggung jawaban kebenaran datanya? Saya kira kebenaran data tetap menjadi tanggung jawab penyetor dengan cara menyediakan form pernyataan tanggung jawab yang harus diisi dan ditandatangani oleh penyetor.

Hak Penyetor

Dalam sistem MPN G-2, bank persepsi wajib menerima setiap setoran penerimaan negara dari wajib pajak/wajib bayar/wajib setor tanpa melihat jumlah setoran. Bank persepsi juga wajib memberikan pelayanan kepada setiap wajib pajak/wajib bayar/wajib setor baik nasabah maupun bukan nasabah. Dan bank persepsi dilarang mengenakan biaya atas transaksi setoran penerimaan negara kepada wajib pajak/wajib bayar/wajib setor. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyetor mempunyai hak untuk dilayani meski jumlah yang disetor, relatif kecil nilainya. Begitu juga, meski penyetor bukan nasabah pada bank persepsi tersebut, ia tetap punya hak untuk mendapat pelayanan. Dan layanan penyetoran tersebut tidak dikenakan biaya, dengan syarat penyetor telah membawa kode billing sendiri.

Jika penyetor melakukan setoran melalui teller, maka penyetor berhak untuk mendapat konfirmasi (pertanyaan tentang kebenaran data) oleh petugas teller tentang kebenaran isian data setoran. Kemudian penyetor berhak mendapatkan BPN (bukti penerimaan negara) yang sudah ditera NTB (nomor transaksi bank) dan NTPN (nomor transaksi penerimaan negara). Dan jika penyetor melakukan setoran melalui ATM, maka sistem akan memberikan pertanyaan tentang kebenaran data dan akan mencetak/memberikan BPN yang ditera NTB dan NTPN dalam bentuk struk dan/atau dokumen elektronik. Selanjutnya, penyetor berhak mendapatkan layanan pencetakan ulang BPN dari bank persepsi.

Pada bagian lain PMK menyebutkan bahwa dalam hal terdapat kesalahan yang menyebabkan terjadinya pembayaran ganda, kelebihan pembayaran yang terjadi dapat dikembalikan kepada wajib pajak/wajib bayar/wajib setor. Artinya penyetor berhak untuk memperoleh kelebihan setoran tersebut. Tentu harus melalui mekanisme pengembalian penerimaan negara.

Bagaimana jika terjadi gangguan sistem pada saat penyetor melakukan setoran melalui ATM atau sistem elektronik lainnya? Hak apa yang diperoleh oleh penyetor? Dalam hal ini bank persepsi memberikan informasi status setoran melalui sarana call center atau layanan informasi nasabah lainnya serta menyediakan fasilitas pencetakan ulang BPN.

Itulah diantaranya yang saya sampaikan pada saat sosialisasi. Dan ini slidenya : https://www.dropbox.com/s/1lf0j810ij1prb0/Slide%20Sosialisasi%20MPN%20G-2.pptx?m=

***

Rabu, 07 Mei 2014

Antisipasi Permasalahan Implementasi Sistem MPN G-2

Saya mencoba menginventarisir beberapa permasalahan dari pelaksanaan MPN G-2, sekaligus berusaha memberikan usul solusinya. Tulisan ini melengkapi tulisan saya sebelumnya yang berjudul  "Saya Bermimpi : Tugas KPPN Pasca MPN G-2".

Pertama, beberapa pengguna layanan khususnya bendahara dengan NPWP yang mereka miliki hanya menampilkan satu pilihan jenis pajak yang dapat mereka setor, yaitu PPh pasal 21. Ada konfirmasi dari pihak kantor pajak bahwa kemungkinan hal itu terjadi karena NPWP yang sudah lama terdaftar dan belum diupdate pada sistem biller di DJP.

Langkah antisipasi yang perlu disiapkan adalah layanan atas pengaduan tersebut termasuk permasalahan lainnya, kemana harus dilayangkan? Mengingat hal tersebut terkait penerimaan pajak, sebaiknya menjadi tanggung jawab pihak kantor pajak. Kantor pajak dapat melakukan inventarisasi NPWP khususnya NPWP bendahara yang mengalami permasalahan tersebut. Atau bisa jadi melakukan sinergi dengan KPPN yang dalam hal ini lebih memiliki kedekatan hubungan dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas bendahara. Artinya : KPPN melakukan inventarisasi NPWP bendahara yang bermasalah kemudian melakukan koordinasi dengan kantor pajak setempat untuk ditindaklanjuti.

Jauh lebih bagus, jika pada sistem biller DJP dapat secara otomatis dan serentak mengupdate seluruh NPWP bendahara tanpa harus melakukan inventarisasi lebih dahulu. Jika SDM dan sistem memungkinkan , hal itu akan lebih baik dan lebih cepat mengatasi permasalahan tersebut.

Kedua, permasalahan terkait konfirmasi surat setoran. Disebutkan dalam PMK 190/PMK.05/2012 Pasal 52 ayat (2), disebutkan bahwa Penerbitan SPP-GUP dilengkapi dengan dokumen pendukung, salah satunya adalah SSP yang telah dikonfirmasi KPPN

Dalam Pasal 68 juga disebutkan untuk penyampaian SPM-UP/TUP/PTUP/GUP/GUP Nihil/LS dari dana yang bersumber dari PNBP kepada KPPN dengan dilampiri, salah satunya adalah bukti setor PNBP yang telah dikonfirmasi oleh KPPN.
Permasalahannya adalah aplikasi konfirmasi di KPPN selama ini mengacu pada database lokal dari data penerimaan negara yang disampaikan oleh bank persepsi kepada KPPN. Dengan MPN G-2, KPPN setempat tidak lagi menerima ADK penerimaan negara dan database penerimaan langsung tersentral di pusat. Sehingga, jika terdapat setoran penerimaan negara dengan MPN G2, KPPN tidak dapat memberikan konfirmasi.

Solusinya adalah aplikasi konfirmasi KPPN agar dibuat terhubung dengan database penerimaan pusat. Jika ini dilakukan, yang perlu dipikirkan adalah kecepatan akses data agar tidak mengganggu layanan konfirmasi dan layanan KPPN lainnya. Atau pada saatnya nanti disediakan suatu aplikasi monitoring peneriman negara pada KPPN, dimana dengan menginput NTPN, KPPN dapat melihat bahwa setoran dengan NTPN tersebut sudah masuk ke kas negara.

Solusi yang lain adalah bank persepsi setempat masih diwajibkan untuk menyampaikan laporan setoran penerimaan negara kepada KPPN setempat. Dengan laporan tersebut KPPN memiliki data untuk bisa memberikan konfirmasi. Apakah konfirmasi dilakukan secara aplikasi atau manual, dapat diatur kemudian. Yang terpenting KPPN setempat sudah memiliki data penerimaan. Tetapi ini juga masih akan mengalami kendala jika ternyata penyetor melakukan setoran pada bank persepsi di luar kota atau melalui ATM, dimana MPN G2 memungkinkan hal tersebut.

Solusi yang lainnya lagi adalah semua setoran MPN G2 sudah otomatis diyakini kebenarannya, sehingga tak perlu lagi adanya konfirmasi dari KPPN. Dalam hal ini, perlu payung hukum untuk menegaskan hal tersebut.

Ketiga, permasalahan terkait rekonsiliasi data setoran PFK antara KPPN dengan BPJS dan Taspen. Setiap bulan KPPN menyampaikan data PFK kepada BPJS dan Taspen dan melakukan rekon data secara periodik. Data PFK meliputi data dari potongan SPM dan setoran PFK yang dilakukan oleh Pemda untuk PNS daerah. Jika Pemda sudah melakukan penyetoran PFK melalui MPN G2, maka KPPN setempat tidak akan memiliki data setoran PFK, karena data langsung tersentral di pusat. KPPN hanya dapat memberikan data PFK dari potongan SPM.

Solusinya adalah sebagaimana pada poin kedua diatas, yaitu bank persepsi tetap menyampaikan data penerimaan kepada KPPN setempat. Boleh juga khusus untuk PFK, diatur tersendiri, artinya untuk setoran PFK, bank persepsi wajib menyampaikan laporan ke KPPN dilampiri copy BPN.

Atau untuk selanjutnya penyampaian data dan rekon data KPPN dengan BPJS dan Taspen disetiap daerah ditiadakan dan dibuat secara terpusat atau tersentral di Jakarta. Apalagi dengan diterapkannya SPAN, dimana seluruh data pengeluaran negara secara terpusat.

Keempat, masalah pelaporan pajak yang harus melampirkan SSP lembar ketiga. Jika sudah melakukan penyetoran dengan MPN G2, tak ada lagi SSP berlembar-lembar. Maka solusinya adalah dengan melampirkan copy SSP elektronik (hasil cetakan MPN G2) dan BPN. Agar tidak membingungkan pihak bendahara, agar segera diantisipasi ketentuan terkait pelaporan pajak yang telah menggunakan setoran MPN G2.

Kelima, ini lebih kepada masalah teknis aplikasi.  Yaitu, alamat email yang sudah terlanjur didaftarkan pada saat registrasi khususnya pada  registrasi di sistem pajak, tidak bisa diganti. Ini akan sangat menyulitkan jika terjadi kesalahan pada saat perekaman alamat email. Atau tidak selamanya seseorang tersebut menjadi bendahara. Ada penggantian petugas dan biasanya mereka memiliki email sendiri. Proses penggantian perlu dipermudah tanpa harus meghubungi pihak admin aplikasi.

Masalah teknis lainnya adalah untuk sistem pajak, tidak tersedia kolom atau baris untuk perekaman peruntukan setoran pajak. Ini tentu juga akan menambah pekerjaan pihak bendahara. Artinya bendahara harus memilah atau memberikan uraian tambahan secara manual pada SSP elektronik atau BPN terkait peruntukan setoran pajak tersebut. Peruntukan setoran pajak tersebut diperlukan karena terkait pelaporan pemotongan pajak atas suatu transaksi.

Keenam, permasalahan dalam pembuatan kode billing, dimana diperlukan akses jaringan internet dan alamat email. Tidak semua kalangan masyarakat memilikinya, atau beberapa kalangan masyarakat juga enggan untuk menghafal user password. Atau lebih jelasnya, ada masyarakat yang tidak mau repot. “Mau bayar pajak kok malah dibuat repot”.

Agar MPN G2 dapat berjalan efektif bagi kalangan tersebut, perlu disediakan layanan khusus untuk pembuatan billing, baik layanan yang berbayar atau layanan gratis. Layanan gratis mungkin dapat diberikan oleh KPPN khususnya untuk setoran PNBP sedangkan untuk setoran pajak oleh kantor pajak. Atau dapat juga bersinergi kedua-duanya, artinya KPPN dan kantor pajak menyediakan layanan gratis pembuatan kode billing.

Untuk yang berbayar, mungkin dapat diberikan ijin kepada pihak swasta atau pihak bank persepsi untuk menyediakan layanan pembuatan kode billing dengan tarif yang telah ditetapkan pemerintah.

Ketujuh, penggunaan ATM oleh bendahara dalam penyetoran penerimaan negara. Apakah ini memungkinkan mengingat rekening bendahara adalah rekening giro, dimana untuk proses pengambilan uang harus menggunakan cek dengan dua orang yang bertandatangan.

Dari pihak bank sebenarnya rekening giro tetap memungkinkan untuk diberikan ATM, tetapi perlu diantisipasi penyalahgunaannnya. Atau memang dalam hal ini, dibuat penegasan bahwa bendahara hanya dapat melakukan penyetoran dengan MPN G2 melalui teller. Apakah jika menggunakan ATM pribadi memungkin hal tersebut, artinya bendahara membayar ke pribadi lalu pribadi itu melakukan penyetoran melalui ATM. Saya kira dalam hal ini bendahara harus melakukan pencatatan/pembukuan atas aliran dana ke pribadi dalam rangka penyetoran pajak tersebut. Namun, akan lebih bagus jika hal ini diatur lebih lanjut.

Kedelapan, permasalahan terkait sosialisasi. Saya kira perlu adanya penegasan kembali terkait kewenangan pelaksanaan sosialisasi khususnya kepada pihak masyarakat umum. Saya belum melihat sosialisasi yang masif terkait Sistem MPN G-2 ini. Baik spanduk dan brosur belum tersedia secara luas. Petunjuk praktis juga perlu disediakan.

Khususnya kepada Pemda, perlu adanya penegasan apakah KPPN harus melaksanakan sosialisasi kepada mereka, mengingat perintah sosialisasi baru kepada kantor mitra kerja. Artinya tidak termasuk ke Pemda. Bukan hanya soal perintah, tetapi menyangkut juga soal biaya sosialisasi.


***

Pancuri : Souvenir Abadi

Dengan usia saya seperti sekarang, sudah banyak peristiwa yang saya alami. Peristiwa-peristiwa yang membawa hikmah bagi kehidupan saya. Ada peristiwa yang sampai saat ini begitu membekas dalam memori, ada juga yang saya sudah lupa sama sekali. Peristiwa yang membekas itu terbagi menjadi : peristiwa yang saya masih ingat betul urutan kejadiannya dan peristiwa yang saya hanya ingat satu cuplik bagiannya saja. Dan satu cuplik itu, sulit untuk saya lupakan. Seperti sudah terpahat dalam memori saya. Yang kadang tiba-tiba melintas dalam benak saya. Itulah kemudian saya menyebutnya sebagai lintasan memori, yang tiba-tiba naik ke permukaan pikiran ketika saya melihat sesuatu atau mendengar sebuah lagu.

Ada banyak lintasan memori, mulai dari peristiwa yang menyenangkan, membahagiakan sampai dengan yang menyedihkan. Ada juga kejadian lucu yang sejurus kemudian membuat saya tersenyum dan ada peristiwa yang membuat saya begitu trauma. Pengalaman traumatis ini yang lantas terus menerus menghantui saya. Tentu ini hal buruk dan tidak boleh mempengaruhi diri saya. Saya ingin melepaskannya atau kalau pun tidak bisa dilepaskan, pengalaman itu tak lagi menakutkan. Saya ingin menjinakkan pengalaman traumatis itu.

Salah satu cara untuk menjinakkan pengalaman traumatis adalah dengan menceritakannya kepada orang lain. Atau bisa juga dengan menuliskannya dan saya memilih ini.  Salah satunya seperti untaian paragraf dibawah ini.

Dan ini adalah pengalaman yang paling traumatis bagi saya. Kemalingan. Ini terjadi ketika saya bertugas di satu daerah di Sulawesi, tepatnya di kaki depan bagian bawah huruf K Pulau Sulawesi. Sejak awal datang,  saya sudah mendengar bahwa ada satu kampung yang para penghuninya adalah para pencuri. Saya tidak begitu percaya, karena saya mengontrak rumah kurang dari satu kilometer dari kampung itu. Saya mengontrak satu bagian rumah milik seorang Polisi Jagawana tepat di bagian samping rumahnya dan berhadapan langsung dengan pintu gerbang rumah Bupati kabupaten itu.

Sore hari sebelum kejadian, saya terpikir tentang kondisi keamanan lingkungan rumah saya. Saya ingat betul pikiran itu sampai sekarang. Begini : setiba di rumah setelah pulang kantor, saya melihat gerbang pintu rumah bupati yang ada di depan rumah saya ditutup dan dipindahkan ke seberang jalan yang agak jauh dengan rumah saya.

Selama itu, sebelum gerbang itu dipindahkan, saya berpikir, rumah saya akan aman-aman saja karena ada satpam penjaga rumah Bupati yang otomatis juga akan ikut mengawasi rumah saya (karena pas di depannya). Ketika saya melihat gerbang itu ditutup, kekhawatiran ketidakamanan itu muncul.

Dan benar, pagi dini hari, rumah saya dimasuki pencuri. Ini memang kesalahan saya. Saya terbiasa tidur di bagian depan rumah dengan jendela yang saya buka sedikit karena panas. Mungkin pencuri sudah mengintainya sejak lama. Saat dini hari, istri hendak ke belakang dan membangunkan saya agar pindah ke kamar untuk menemani anak saya. Saya pun pindah ke kamar yang hanya disekat triplek dengan tanpa pintu. Masih dalam kondisi tidur-tidur ayam, tiba-tiba saya melihat tangan seseorang yang mengambil tas diatas lemari baju disamping tempat tidur dekat pintu kamar (yang tanpa pintu itu). Saya kaget dan berteriak : “maling…. maling… maling….”

Dengan membawa tas, pencuri itu kabur dengan menabrak jendela. Saya kejar dan saya pun ikut menabrak jendela. Saya terus kejar dan hampir saja meraih badannya. Hingga kini, momen itu masih begitu melekat di benak saya. Tapi kemudian dia berbelok di kegelapan menuju jalan raya. Disitu rekannya sudah menunggu dengan sepeda motor. Mereka pun kabur.

Darah bercucuran dari kepala saya. Beberapa luka di kepala karena pecahan kaca jendela yang saya tabrak. Saya pergi ke rumah sakit untuk mendapat beberapa jahitan. Luka itu kemudian membekas di kepala saya dan menjadi sebuah pengingat peristiwa nahas sekaligus souvenir abadi dari tempat tugas saya itu.

Tahukah Anda, apa isi tas yang mereka bawa? Dompet istri, dengan kartu ATM dan kartu-kartu lainnya serta amplop berisi gaji bulanan (masih utuh) yang saya terima siang hari sebelum peristiwa itu. Waktu itu, gaji bulanan belum masuk ke rekening.

Pada saat setelah pencuri itu kabur, para tetangga berhamburan datang karena mendengar keributan dan suara jendela yang pecah. Saya lihat Pak Polisi Jagawana membawa parang panjang mengkilat. Tapi, kenapa saat saya teriak maling, mereka tidak segera keluar. Ternyata jawabannya adalah : mereka tidak mengerti, tidak paham dengan istilah maling, mereka tahunya ‘pancuri’. Apalagi saya berteriak maling dengan logat jawa, sehingga terdengar : malieng…malieng. Oh, ternyata… saya juga yang salah karena kurang memahami bahasa penduduk setempat. Bahwa di daerah itu tidak ada yang namanya maling. Mereka bukan maling, tapi PANCURIIIIIIII…..!!!!!!  (teriakan ini, membuat saya lega)

***

Selasa, 06 Mei 2014

Proaktif

Ini kata yang saya senangi. Pertama kali, saya menemukan kata proaktif dalam buku Seven Habits-nya Steven Covey. Buku itu pula yang saya pilih dalam profil facebook saya, selain buku Slilit Sang Kyai-nya Cak Nun. Tidak hanya senang, tapi saya memahaminya dan berusaha mengamalkannya. Saya juga berusaha menjadikan proaktif sebagai kebiasaan saya.

Dengan proaktif, saya menjadi merdeka memilih respon saya sendiri terhadap stimulus yang saya terima. Ada jarak antara stimulus dan respon. Dan dengan jarak itu, kita bisa memilih reaksi kita. Saat dimarahi atasan, tidak otomatis sakit hati. Selalu ada pilihan. Begitu pula dengan kritikan. Orang yang proaktif, membuat pilihan yang tepat bahwa kritikan untuk penyempurnaan, bukan sakit hati dan dendam.

Lawan proaktif adalah reaktif. Orang yang reaktif cenderung tidak bisa memilih respon positif. Selalu hanyut dalam arus umum. Bahwa jika dicaci maki, otomatis akan sakit hati. Bahwa jika dimarahi, juga dengan cepat akan sakit hati. Itulah arus umum.

Orang yang reaktif juga cenderung kurang antisipatif. Ketika ada sesuatu yang terjadi, barulah dia bereaksi, bahkan tanpa persiapan. Maka, tindakannya sekedar memenuhi kewajiban. Miskin visi dan sekedar obat penenang.

Begitu juga dengan membuat kebijakan. Kebijakan yang proaktif selalu merupakan antisipasi dari permasalahan yang akan muncul. Bukan sekedar kebijakan sesaat yang merupakan respon terhadap satu masalah yang terjadi. Karena itulah disebut kebijakan yang reaktif.

***

Senin, 05 Mei 2014

Jangan Pernah Melawan

Saya penikmat tulisan Pak Dahlan Iskan. Dalam banyak hal, gaya tulisannya  mempengaruhi saya. Setiap Senin, saya rutin membaca Manufacturing Hope-nya Pak Dahlan. Tulisannya mudah dicerna, ada jenaka dan sangat sedikit menggunakan kata asing sebagaimana kebiasaan para pejabat akhir-akhir ini. Ide dan tindakannya juga mengagetkan.

Dan yang selalu saya ingat adalah pesan beliau tentang jangan pernah melawan. Maksudnya adalah bahwa jangan pernah melawan 4 jenis orang ini. Saya punya penjabarannya sendiri.

Pertama, jangan pernah melawan atasan. Sebagai bawahan, ada baiknya tetap mematuhi apa yang diperintahkan atasan. Sepahit apapun itu, jangan pernah melawan secara frontal. Artinya jangan merendahkannya karena dia sudah diatas. Karena dia atasan. Orang yang diatas, jika dijatuhkan akan sakit, sakit sekali. Hindari itu. Masih ada cara lain untuk sekedar mengingatkan atasan. Ada jalan memutar dan ada cara halus tanpa dia sadari. Dan inilah yang sering saya pilih.

Perlu disadari, karir dalam pekerjaan acapkali tergantung kepada atasan kita. Rekomendasi atasan menjadi prasyarat agar kita naik pangkat atau naik jabatan. Bagaimana mungkin jika kita melawannya, dia akan memberikan rekomendasi itu. Justru malah sebaliknya, dia akan menghabisi karir kita. Bahkan membuang kita ke laut.

Sebaik apapun ide kita, jika atasan menolak, jangan kemudian kita balik menyerangnya dengan membodoh-bodohkannya. Masih ada jalan lain agar dia menerima ide-ide kita. Dan tentunya jangan pernah menyerah menyampaikan ide tersebut. Ubah kemasan atau sisipkan pada ide yang lain.

Kedua, jangan pernah melawan orang kaya. Jika Anda masih miskin, atau belum banyak harta, jangan pernah melawan orang kaya. Orang kaya memiliki sumber daya yang melimpah. Sedangkan Anda, sangat terbatas. Anda punya clurit, dia punya senapan. Anda punya senapan, dia punya bazoka, dst. Orang kaya juga bisa membayar siapa saja untuk bekerja padanya. Bahkan bisa membeli seluruh harta Anda.

Melawan orang kaya secara langsung akan sia-sia belaka. Anda mencoba untuk melawannya melalui koran atau majalah atau media. Majalah atau koran itu, akan dia borong habis. Perjuangan Anda kAndas. Paling banter hanya akan berupa desas-desus.

Untuk melawan orang kaya, Anda harus pintar dan butuh strategi. Karena yang mampu menandingi kekuatan harta adalah kecerdikan, sebagaimana Abu Nawas menghadapi raja Harun Al Rasyid yang kaya raya.

Maka, jika Anda tidak memiliki sumber daya apapun, minus kepintaran, sudahlah, terima saja nasib sebagai orang kalah. Tapi, ngapain juga Anda melawan orang kaya, kalau kekayaannya memang hasil jerih payahnya dan bukan karena menindas Anda?

Ketiga, jangan pernah melawan orang kuat. Orang kuat bisa diartikan fisiknya yang tinggi besar dengan tenaga yang hebat. Atau dengan kemampuan beladiri yang tangguh. Sebaliknya Anda orang yang berperawakan biasa saja. Bagaimana Anda akan mengalahkannya? Meraih wajahnya pun Anda takkan sanggup. Butuh kecerdikan tersendiri atau butuh senjata lain.

Orang kuat juga bisa dimaknai sebagai kekuasaan. Orang yang punya kuasa, otomatis dia memiliki kekuatan apapun untuk mempertahankan diri. Anda mencoba melawan sementara Anda tak punya kuasa apapun, apa yang akan Anda Andalkan. Paling banter berdoa, sambil menunggu rezim berganti.

Keempat, jangan pernah melawan orang gila. Bisa diartikan memang benar-benar gila. Maka jika Anda melawannya, berarti Anda juga sudah gila. Tidak ada gunanya Anda melawan orang gila. Semua orang akan menertawakan Anda. Sing waras, ngalah.

Orang gila bisa pula dimaknai dengan mereka yang memiliki ide-ide gila, yang terus berusaha keras mewujudkan ide-idenya. Mereka bekerja keras dan tak pernah putus asa. Anda mencoba untuk menghalanginya. Pasti Anda kewalahan, apalagi niat Anda hanya sekedar menjatuhkannya. Orang dengan ide gila, berpikir melampaui pikiran Anda. Dia punya visi dan mimpi besar. Dan saat ide itu terwujud, tanpa sadar Anda masuk dalam perangkapnya.

***