Selasa, 30 September 2014

BENAR, TAPI APA BAIK?



#Seri_Etika

Pukul enam petang, Kereta Senja berangkat. Sepuluh menit sebelumnya adzan maghrib berkumandang. Mushola stasiun sudah dipenuhi penumpang. Masih cukup waktu untuk sholat maghrib dan isya’ dijamak qashar.
Melihat seseorang maju sebagai imam, firasatku mulai tidak enak. Dari tampilannya, aku menduga ia sedang bersemangat berdakwah, sehingga pada setiap kesempatan mesti memberi teladan. Begitu kira-kira pemikiran pada pendakwah.
Dan benar. Ia membaca Fatihah perlahan dan berusaha mengkhusyu-khusyukan.
“Astaghfirullah!” Kekagetanku belum berhenti. Ia lalu membaca surat As-Shaf.
 “Waduh, gawat, bisa ditinggal kereta nih,” batinku.
Aku melepaskan diri dari jamaah, kupercepat bacaan dan gerakan sholatku. Selesai sholat maghrib, kulanjutkan dua rakaat sholat isya. Selesai salam, kusambar ransel dan bergegas naik ke kereta. 
Kulihat, sang imam baru rakaat ketiga. Tak ada lagi yang makmum dibelakangnya.

***

Senin, 29 September 2014

Perhitungan Fihak Ketiga atau Perhitungan Pihak Ketiga?



Beberapa hari yang lalu, saya meluangkan waktu mencoba menelusuri dari mana sebenarnya istilah PFK. Saya mencari, membaca dan mempelajari buku-buku kumpulan peraturan sejak jaman Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) lama. Ada yang aneh dengan singkatan ini, khususnya pada huruf “F” yang merupakan singkatan dari kata “Fihak”.

Ini yang menjadi pertanyaan, mengapa menggunakan kata “Fihak”, bukan Pihak?

Awalnya saya tidak begitu ngeh dengan istilah ini. Sampai kemudian karena suatu peristiwa yang membuat saya mulai berpikir, ada apa sebenarnya dengan sebutan tersebut.

Kalau kita cek dan memeriksa kata “fihak” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kita tidak akan menemukan kata “fihak”. Sehingga, kata “fihak” merupakan kata yang tidak baku. Anehnya, pemerintah masih menggunakan istilah “fihak”. Silakan Anda cermati beberapa peraturan dibawah ini.

Soal PFK ini diatur dalam PER-72/PB/2011 sebagaimana diubah terakhir dengan PER-02/PB/2014. PER-72/PB/2011 sendiri merupakan peraturan yang mencabut peraturan sebelumnya yaitu PER-37/PB/2006. Mari kita lihat isi peraturan tersebut.

Kita mulai dari PER-37/PB/2006 pada bagian definisi.
Perhitungan Fihak Ketiga untuk selanjutnya disebut PFK adalah sejumlah dana yang dipotong langsung dari gaji pokok pegawai negeri dan tunjangan keluarga, serta iuran asuransi kesehatan yang disetor oleh provinsi/kabupaten/kota untuk disalurkan kepada Pihak Ketiga.
Pihak Ketiga adalah Pihak-Pihak yang menerima pembayaran pengembalian penerimaan PFK.

Kemudian pada PER-72/PB/2011 kita temukan definisi berikut ini :
Dana Perhitungan Fihak Ketiga untuk selanjutnya disebut dana PFK adalah sejumlah dana yang dipotong langsung dari gaji pokok dan tunjangan keluarga pegawai negeri/pejabat Negara, dan iuran asuransi kesehatan yang disetor oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota serta tabungan perumahan PNS Pusat/Daerah untuk disalurkan kepada Pihak Ketiga.
Pihak Ketiga adalah Pihak-Pihak yang menerima pembayaran pengembalian penerimaan dana PFK

Kita lihat juga di buku Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) 09. Disana terdapat definisi tentang PFK.
Perhitungan Fihak Ketiga, selanjutnya disebut PFK, merupakan utang pemerintah kepada pihak lain yang disebabkan kedudukan pemerintah sebagai pemotong pajak atau pungutan lainnya, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), iuran Askes, Taspen, dan Taperum.

Berdasarkan definisi yang berasal dari dua peraturan dan PSAP tersebut, sangatlah jelas bahwa yang dimaksudkan dengan kata “fihak” tidak lain adalah kata pihak itu sendiri dan tidak memiliki makna lain.  Jadi, Anda akan mendapati penggunaan istilah fihak, sebenarnya adalah dimaksudkan untuk kata pihak.

Penggunaan kata fihak ini menyebar dan menjadi salah kaprah karena dipakai di seluruh peraturan yang didalamnya terkait dana perhitungan pihak ketiga. Di peraturan tentang bagan akun standar menggunakan kata fihak, bahkan di dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) pun menggunakan kata fihak.

Kalau ada bantahan apalah arti sebuah nama atau kata, maka itu menafikan bahwa sesungguhnya sebuah perubahan besar dimulai dari perubahan hal-hal yang kecil. Dan sejatinya kekeliruan besar berasal dari kekeliruan kecil.

Dari hasil penelusuran, menurut saya, sebenarnya yang ingin dipertahankan oleh pemerintah adalah penggunaaan singkatan PFK (bukan kata fihak), karena mungkin sudah terlanjur familiar di telinga dan sudah banyak dipakai di banyak dokumen. Tetapi kemudian agar singkatan PFK sesuai dengan kepanjangannya lalu dipaksakan menggunakan kata “fihak” yang tidak baku ini.

Sebenarnya bisa saja tetap menggunakan kata baku, misalnya Perhitungan Pihak Ketiga yang kemudian disingkat menjadi PFK. Kalau ada pertanyaan dari mana huruf F disitu? Ya pokoknya untuk istilah perhitungan pihak ketiga disingkat menjadi PFK atau bukan disingkat tetapi dengan uraian misalnya: “perhitungan pihak ketiga, yang selanjutnya disebut PFK”. Saya kira lebih tepat daripada mengorbankan peraturan dengan menggunakan kata tidak baku.

Pada Buku Himpunan SE DJA 2002 B Triwulan II halaman 336 disitu tercantum tabel yang didalamnya terdapat tulisan Penerimaan Perhitungan Pihak Ketiga (PFK). Disitu kata Pihak disingkat dengan huruf F. Memang terkesan dipaksakan, seperti lawakan di ILK, tetapi saya kira itu jauh lebih baik.

Namun, alangkah lebih bagus lagi jika semuanya dikembalikan pada kata baku dan singkatan yang tepat yaitu Perhitungan Pihak Ketiga yang disingkat PPK.

***

Selasa, 23 September 2014

SISANYA UNTUK CELENGAN



#Seri_Etika


 “Adik.., ini mama kasih uang saku 5 ribu. Jangan dihabiskan ya.. pokoknya harus sisa. Nanti sisanya dimasukkan celengan. Pulang sekolah, mama cek lho..”
Ode mengangguk, tersenyum.
“Makasih, Mama..”
Perempuan itu berharap dari 5 ribu itu akan dipakai ya paling banyak 3 ribu, sisanya 2 ribu untuk ditabung. Begitu yang dulu ia lakukan semasa SD dengan uang saku 500 rupiah: 200 buat jajan, 300 masuk celengan, kadang 400 yang ditabung. Dan hari itu, ia mulai mengajari anaknya.
7,5 jam kemudian.
 “Adik.... ini celengannya, ayo sisa uang sakunya dimasukkan sini.”
Ode merogoh kantong dan memasukkan koin 500 ke dalam celengan.
“Terus yang lainnya..?” Selidik perempuan itu.
“Gak ada,” kata Ode.
“Kok cuman sisa 500?” Kata perempuan itu penasaran, lalu tersenyum karena mulai menyadari kesalahan intruksinya.
“Tadi kan Mama bilang jangan dihabiskan, harus sisa... nah, ini masih sisa 500.” 

*** 

Jumat, 19 September 2014

SOP TULANGAN


#Seri_Fiksi
  
          Untuk kesekian kalinya, malam itu Paijo mengundang warga untuk makan-makan di rumahnya. Sajian utamanya adalah sop tulangan. 
          “Hmmm lezat…  sungguh pintar istri Paijo memasak sop tulangan,” komentar seorang warga. 
          “Dagingnya empuk dan bersih dari lemak.” 
          Seminggu kemudian, warga kaget. Paijo ditangkap Polisi. Di belakang rumahnya yang dipagari seng tinggi itu dipasangi police line. Ditemukan tulang belulang manusia berserakan di bekas galian sampah.

Kamis, 18 September 2014

Keren Tapi Tiada Yang Paham



 #‎Seri_Etika

“Bapak Ibu sekalian, upaya preventif untuk epidemi ini adalah mencuci tangan dengan sabun antiseptik. Saat ini kami sedang melakukan piloting di kampung ini. Tahap berikutnya adalah roll out di seluruh kampung. Time frame kami sudah jelas,” terang Arjunas, seorang pejabat muda Dinkes setempat. 

Di barisan kursi belakang, Paijo dan Tukino baku pandang. Dahinya berkerut, seolah berpikir keras, geleng-geleng lalu berdecak kagum. 

“Untuk itu, kami men-support Bapak Ibu agar punya attitude yang bagus dan selalu aware dengan lingkungan. Perlu saya declare disini, project ini akan kita implementasi-kan dalam dua hari kedepan,” jelas Arjunas. 

Paijo berbisik ke Tukino. 
“Kamu ngerti gak, apa yang dia omongkan?” 
“Iya, aku paham..., pilot, kan? Seperti anaknya Kang Karjo,” kata Tukino.
“Ooo…syukurlah, kampung kita mau ada sekolah pilot,” ujar Paijo dengan wajah sumringah. 

***