Kamis, 27 November 2014

GARA-GARA TIDAK BISA NGAJI



Setelah wafat, baru kali ini ia berziarah ke makam orang tuanya. Itu pun sekedar mampir. Kebetulan ada tugas ke kota kampung halamannya. 

Setelah singgah ke rumah kerabat, ia mendatangi kuburan bapak ibunya. Ia membawa bungkusan kembang, sapu, sabit dan kendi berisi air. Rumput yang menyelimuti dua makam yang berdampingan itu, ia bersihkan tak tersisa. 

Ia duduk bersimpuh. Wajahnya seperti orang bingung. Terlintas di benaknya tayangan TV tentang orang yang berziarah kubur dg tahlil, membaca Yasin atau surat Quran lainnya. Ia ingin seperti itu, tapi ia tidak bisa tahlil dan membaca Quran. Fatihah pun terbata-bata. Orang tuanya tak pernah mengajarinya. 

Lalu, ia menabur bunga. Air dalam kendi ia tuang merata ke atas makam. Dia pikir, agar bapak ibunya merasa adem di alam kubur. Tiba-tiba terdengar suara.


Kowe ki piye to Le.., gara-gara kamu siram air, tanah diatasku jatuh masuk ke mataku. Aku kelilipen, Le…
 
Ia kaget dan lari terbirit-birit. Bajunya robek tersangkut pagar kuburan.

***

Selasa, 25 November 2014

BAHAGIA DI PUCUK SADEL



Ada pasangan suami istri, orang desa yang sederhana, pengen pergi ke kota. Tidak punya sepeda motor. Mereka boncengan naik sepeda onthel. Sepedanya kelihatan tua, sudah karatan. Pedalnya tidak lagi komplit, hanya tersisa besi bagian tengahnya. Kulit sadelnya pun sebagian sudah mengelupas. Sang suami mengayuh sepeda yang terasa berat dengan beban dua orang.

“Krieeet... krieeet... krieeet...”

Tiba-tiba dari belakang menyalip mobil Pasjeroan, tanpa sebelumnya membunyikan klakson.
“Ngeeeengg......wuussss....!”

Hembusan anginnya membuat sepeda yang mereka naiki sedikit oleng. Dengan sigap sang suami bisa menguasai kembali sepedanya. Si istri terlihat makin erat merangkul suaminya. Benar-benar terlihat mesra dan romantis.

“Biarin saja, Mas..., disalip ndakpapa... mobil yang nyalip tadi, paling kreditannya belum lunas.” Kata si istri membesarkan semangat suaminya mengayuh sepeda.

“Iya, Dik.. benar itu. Tadi di belakang mobil, ada stiker “kreditan multifinance”. Seperti di mobil Apansa Kang Paijo.” Ujar sang suami.

“Syukurlah, meski sepeda onthel, tapi kita ndak punya utang ya, Mas...”

Masih puluhan kilometer jalan yang harus mereka tempuh. Tak ada rasa lelah.
“Krieeet... krieeet... krieeet...”

“Lihat, Mas... itu kan, mobil yang nyalip tadi,” kata si Istri sambil menunjuk ke arah halaman Pengadilan Agama.

“Ada apa Dik, ya...jangan-jangan mereka seperti Kang Paijo,” ujar si Suami.
Dua minggu yang lalu, istri Paijo menggugat cerai.

“Awas, Dik.. ada tanjakan, biar ndak jatuh, sini tanganmu pegangan erat di pucuk sadel,” kata si suami cengengesan.

“Ah, Masku ini, bisa aja,” kata si istri sambil cekikikan. 
Ia paham dengan ada apa di pucuk sadel.

***

Senin, 24 November 2014

DIPERMALU AKIBAT RIYA'

Selesai kuliah, anak muda itu tidak menyangka di dusunnya tumbuh seorang gadis cantik anak Pak Kyai. Ia naksir berat pada gadis itu. Sejak itu, ia rajin sholat berjamaah di masjid, dimana Pak Kyai -sang bapak gadis- sebagai imam. Selain karena pahala, ada niat untuk menarik simpati Pak Kyai.

Kala kuliah dulu, ia bangun tidur disaat pagi sudah terang. Subuh itu ia berjuang keras pergi ke masjid. 

Selesai adzan subuh, semua orang menunaikan sholat sunnah. Ia mengambil posisi di shof terdepan diujung kanan. Ia melirik kekiri, dilihatnya Pak Kyai tengah menyelesaikan rakaat pertama sholat sunnah. Segera ia berdiri untuk mengerjakan sholat sunnah. Ia memang mengambil kesempatan, agar Pak Kyai melihat dirinya. Ia berusaha khusyu’. Ruku’ dan sujudnya sedikit panjang dari biasanya. Dan sampai pada sujud terakhir, ia berniat akan lebih panjang lagi. Agar semua orang bersimpati dan kagum atas kehebatan sholatnya.

Sudah hampir setengah jam selepas adzan, Pak Kyai belum memberi kode untuk iqomat. Jamaah mulai gelisah. Mereka masih menunggu anak muda itu menyelesaikan sholat sunnahnya. Sujud terakhir anak muda itu betul-betul khusyu’ dan lama. Pak Kyai rupanya juga mulai gelisah karena pagi makin terang. 

Sejurus kemudian, tiba-tiba terdengar suara orang mendengkur: “kroooook.... kroooookk... kroookkkk...” Astaghfirullah, ternyata anak muda yang sedang sujud itu tertidur.

***

Senin, 10 November 2014

Adzan Subuh Diganti Saja Jadi: “Tolong…, Tolong…. , Tolong…!”



Ini benar-benar subuh yang memprihatinkan. Demikian yang terjadi di sebuah masjid besar di Dusun Beluk. Hanya seorang kakek yang datang, tak ada jamaah subuh lainnya. Mbah Sastro, begitu warga menyebut nama kakek itu. Satu orang marbot yang paling rajin.
Tenaga Mbah Sastro tak lagi muda. Tangannya sudah mulai gemetar memegang kayu penabuh bedug. Bunyi bedug tak begitu keras suaranya.
“Allahu Akbar…. Allahu Akbar……!”
Suara azan Mbah Sastro terdengar mengalun, mengiris hati. Bukan karena suaranya yang merdu, tapi suara tua yang tak lagi terdengar jelas dan lemah.
“Assholatu khoirum minan naum…..,” suaranya bergetar, menyayat.
Selesai azan, ia tunaikan sholat sunnah.
Mbah Sasatro menengok kearah serambi masjid. Belum juga ada warga yang datang, belum ada jamaah subuh.
“Sambil menunggu yang lain, aku pujian saja,” gumamnya.
Masjid itu lumayan besar. Ada 10 kipas angin yang dipasang di ruang sholat. Semuanya berputar. Sehingga terdengar seperti angin topan.
“Wussuwussuwusssss…….”
Begitu juga dengan lampu-lampu di ruangan sholat dan serambi. Semua menyala terang.
“Robbana, robbana, atiinaa… fidun ya hasanah……… “
Suara pujiannya pun makin menyayat, lemah dengan selingan suara batuk tua. Memang, sudah waktunya ada pengganti dari kalangan anak muda. Tapi, tak juga ada anak muda yang tergerak hatinya untuk menggantikan tugas Mbah Sastro.
Sudah lima menit Mbah Satro pujian, tapi belum juga ada yang datang.
Tiba-tiba terdengar bunyi gemericik air dari kamar mandi disamping mesjid.
Mbah Sastro girang.
“Akhirnya, senandung pujianku ada hasilnya, ada yang datang untuk berjamaah,” bisiknya dalam hati.
Karena penasaran, dibukanya jendela samping masjid sambil terus melafalkan pujian. Dari jendela yang terbuka, ia melihat seseorang yang sedang kencing dan setelah itu pergi lagi.
“Kurang ajar, kukira mau ikut berjamaah, ternyata cuma numpang kencing,” gumam Mbah Sastro.
Rupanya yang datang ke kamar mandi itu adalah seorang pencari kodok yang singgah untuk buang air. Mbah Sastro melanjutkan kembali pujiannya hingga setengah jam. Namun, tak juga ada orang yang datang. Akhirnya, ia tutup dengan membaca iqomat.
Mbah Kyai Imam yang biasanya menjadi imam sholat, subuh itu juga tidak muncul. Kemarin, ia ijin menengok cucunya di dusun sebelah dan menginap disana. Ia titipkan tugas sebagai imam pada Mbah Sastro.
Meski tak ada jamaah dan karena di masjid, Mbah Sastro tetap berniat sholat subuh sebagai imam. Siapa tahu tiba-tiba ada yang datang. Atau bukankah yang diperintahkan untuk sholat tidak hanya manusia? Makhluk Jin juga diperintahkan untuk sholat. Mungkin saja ada Jin yang menjadi makmum dibelakang Mbah Sastro.
“Usholli fardos subuhi……”
Setelah membaca doa iftitah, Mbah Sastro membaca fatihah dengan mengeraskan suara, seperti sholat jamaah subuh jamaknya.
“Ghoiril maghdubi ‘alaihim, waladdhooliiin……”
Aaamiiiiinnnnnn…….,” terdengar suara keras dari belakang Mbah Sastro.
Mbah Sastro kaget, tubuhnya gemetar karena ketakutan.
“Bukankah tadi tak ada siapapun dibelakangku,” begitu pikirnya.
“Lalu siapa yang berteriak “amiinn” tadi?”
Sebenarnya Mbah Sastro ingin membaca surat yang agak panjang. Tapi, karena rasa takut dan penasaran ingin melihat siapa yang ada di belakangnya, ia lalu membaca surat Al-Ikhlas (Qulhu).
Sambil membaca surat qulhu, dengan badan gemetar dan rasa penasaran yang sangat, ia sedikit menengok kebelakang. Dan……
Dilihatnya beberapa orang bertubuh besar, berpakaian hitam-hitam, dengan jenggot panjang sampai ke lantai dengan bola mata yang besar-besar. Seketika itu pula, Mbah Sastro berteriak.
“Tolong…., Tolong…., Tolong….”
Lalu pingsan.
Pagi itu, warga Dusun Beluk geger dan gempar mendengar suara orang minta tolong dari arah masjid. Sepertinya, microphone masjid lupa tidak dimatikan oleh Mbah Sastro. Warga yang tadinya asyik terlelap, berselimut hangat, bangkit dan bergegas menuju masjid. Mereka mendapati Mbah Sastro yang pingsan di ruang sholat.
Warga dusun mengerubungi Mbah Sastro yang mulai siuman.
“Ada apa, Mbah? Kok teriak tolong tolong,” tanya seorang warga.
Setelah menyeruput kopi panas dari gelas yang dipegang seorang warga dan dengan nafas yang masih tersengal-sengal, Mbah Sastro menceritakan peristiwa yang baru saja ia alami.
Selesai bercerita, Mbah Sastro merasakan ada keganjilan atas kedatangan para warga desa yang berbondong-bondong ke masjid.
“Sebentar…, kalian kok pada berduyun-duyun ke mesjid ini, siapa yang manggil, siapa yang ngasih tahu, kalau aku pingsan?” Tanya Mbah Sastro.
Lalu, seorang warga berkata.
“Tadi kami mendengar suara orang berteriak tolong tolong dari arah mesjid. Makanya kami ramai-ramai datang ke mesjid ini.”
“Lho.., kalian semua ini memang aneh. Tadi aku pukul bedug, lalu azan, bahkan lanjut pujian sampai setengah jam, kalian gak ada yang datang,” ujar Mbah Sastro.
“Apa besok, adzan subuhnya aku ganti saja jadi tolong tolong.. apa gitu aja, ya.?”
Warga terdiam, menunduk malu. Lalu ngeloyor pergi satu persatu.
Mbah Sastro terlihat sumringah, ia sudah menemukan cara untuk memanggil warga pergi ke masjid.
***
(Diadaptasi dari cerita yang disampaikan KH. Anwar Zahid pada suatu pengajian)

Keterangan :
Pujian : senandung doa, dzikir, sholawat atau nasehat setelah adzan untuk mengisi waktu menunggu para jamaah datang ke masjid.