Senin, 30 Maret 2015

Serial Perjalanan (3) ~ Medan – Sumut

Serial sebelumnya: Serial Perjalanan (2) ~ Aceh

***


Tiga kali saya datang ke Medan. Dua kali masih dengan Bandara Polonia, dan terakhir sudah di Kualanamu. Sayang, tak sempat menikmati kereta bandara, karena saya ikut jemputan khusus dari hotel.

Di kota inilah, saya pertama kali menikmati hidangan Mie Aceh. Bila sebelumnya hanya bisa makan dari oleh-oleh teman, saya bisa berkunjung dan membeli langsung bolu yang terkenal itu. Saya menjadi tahu deretan toko oleh-oleh khas Medan dengan bermacam bolu, bika ambon, dodol durian dan lainnya.

Saya juga ke rumah durian. Toko ini menjadi surganya penikmat makanan olahan dari durian. Dan tujuan utama saya adalah pancake durian sebagai oleh-oleh untuk keluarga. Kami sekeluarga kompak penggemar durian. Saat mencoba satu potong pancake durian, hmmmmm......memang luar biasa, benar-benar asli buah durian, tanpa campuran. Saya membayangkan bagaimana si Ode akan girang dengan oleh-oleh saya ini.

Medan menjadi penggenap moda transportasi yang pernah saya naiki. Bentor alias Becak Motor. Kalau naik bentor, tanya dulu tarifnya dan ditawar. Begitu pesan seorang teman.

Dengan jadwal mengajar yang padat, pada dua kunjungan terakhir, tak banyak waktu yang bisa saya gunakan untuk berkeliling kota. Bosan dengan menu makan malam hotel, kami sempat diajak menikmati kuliner yang katanya cukup ternama, yaitu sop kambing. Kaki lima, tapi memang ramai pengunjung.  

***

Selasa, 17 Maret 2015

Serial Perjalanan (2) ~ Aceh

Serial sebelumnya :  Serial Perjalanan (1) ~ Pulau Alor - NTT

***


Sore itu seorang teman mengajakku jalan mencari makan sambil melihat-lihat situasi sekeliling hotel tempat kami menginap. Kulihat antrian sepeda motor di sebuah SPBU. Kami menemukan sebuah warung kecil. Temanku memesan mie instan rebus. Aku makan beberapa cemilan. Hari sudah memasuki waktu maghrib. Adzan berkumandang. Di tengah kami menikmati makanan, tiba-tiba lampu dimatikan dan pemilik warung menutup pintu. Kami terkejut, berdiri dan siap-siap untuk lari. Pemilik warung menenangkan kami dan mengatakan bahwa beginilah di Aceh. Jika terdengar adzan, semua warung atau toko harus tutup, atau bagaimana caranya agar tidak terlihat aktivitas duniawi.

Meski secara umum kondisi sudah aman, kami datang ke Aceh setelah kejadian penembakan di suatu daerah di wilayah Aceh. Berita di media ternyata mempengaruhi alam bawah sadarku. Ketika kejadian di warung itu, jantungku hampir copot, takut kalau-kalau kami akan diculik oleh kelompok itu. Dengan hati berdebar, kami menghabiskan makanan di kegelapan dengan terus waspada kiri kanan.

Setelah menunaikan kewajiban sesuai penugasan kami ke Aceh, kami berkeliling kota Aceh. Khususnya, melihat sisa-sisa bencana tsunami. Kami mengunjungi lokasi kapal dengan berat berton-ton yang hanyut dan terdampar hingga puluhan kilometer dari pantai. Melihat bangkai kapal itu, kita bisa memperkirakan bagaimana dahsyatnya arus dan kekuatan tsunami saat itu hingga bisa membawa kapal besar masuk ke tengah kota.

Kami juga ditunjukkan sebuah lapangan, dimana pagi saat kejadian tsunami, banyak sekali masyarakat yang melakukan aktivitas olah raga atau sekedar bersenda gurau dengan kerabat keluarga di akhir pekan.

Kami melintasi pinggiran pantai. Seorang teman bercerita, bahwa dulunya di daerah yang kami lewati adalah sebuah asrama tentara, yang kini hilang dilanda tsunami. Menatap lautan luas, bulu kudukku berdiri membayangkan bagaimana ketika kami disitu, tiba-tiba gelombang dan arus besar menerjang kami.

Tidak kami lewatkan adalah menikmati kuliner Aceh, diantaranya mie aceh dan beberapa sajian khas lainnya. Di sebuah kedai nasi, aku mendapati tulisan di pintu, yang membuatku tersenyum. Jika biasanya tertulis “dorong”, di pintu kedai itu tertulis “tolak”.

Dalam perjalanan menuju bandara untuk kembali ke Jakarta, kami melintasi kuburan massal, dimana para korban tsunami dikebumikan. Doaku terpanjat, lahumul fatihah....

***