Kamis, 26 November 2015

Sandal Akik


Hari sudah makin sore. Perjalanan masih tersisa 10 km. Ia belum sholat ashar. Tepat di depan masjid pinggir jalan, ia berhenti.


Sepeda motor ia parkir di halaman samping. Kunci stang dan kunci ganda lainnya, ia aktifkan. 
“Aduh, ndak ada penitipan sandal,” gumamnya. 
“Padahal ini sandal akik..., mahal lagi...” 
Ia gelisah. Tapi waktu ashar tinggal setengah jam. Ia taruh sandalnya pada tempat yang agak tersembunyi. Buru-buru ia ambil air wudhu dan menunaikan sholat ashar.


Khawatir sandalnya diambil orang, ia percepat gerakan dan bacaan sholat. Sama sekali tidak khusyu’, karena pikirannya tertuju pada sandal  akik seharga hampir sejuta yang ia beli minggu lalu itu. Selesai salam, ia langsung bangkit dan bergegas menuju tempat sandal.
“@@$$**##…!” Batinnya mengumpat.
Ia kalah cepat. Sandalnya sudah tidak ada.   

Ia masih berharap barangkali ada orang yang meminjamnya sebentar dan menaruhnya di tempat lain. Mondar-mandir ia mencari sandal di sekitar halaman masjid. Tak ada.


Lalu, ia duduk merenungi sandalnya yang hilang. Dalam hati, ia terus mencacimaki si pencuri sandal.

Tiba-tiba, datang seorang pria yang juga hendak sholat. Pria itu duduk kira-kira 2 meter dari tempatnya. Ia melirik pria itu melepas sesuatu dari kakinya. Jantungnya berdesir.
Alhamdulillah,” bisiknya.
Dalam hati ia berkata: “aku hanya kehilangan sandal, pria itu kehilangan satu kakinya… “Astaghfirullah…” 
Ia melihat pria itu masuk ke serambi masjid dengan terpincang-pincang.

***

Senin, 16 November 2015

Keliru Karena Gak Tahu, Tapi Yakin, Ampuh Juga…



Seorang pedagang mendatangi Pak Kyai mengadukan masalah yang ia hadapi.
“Pak Kyai…, uang dagangan saya tiba-tiba hilang, padahal sudah saya kunci di dalam lemari.”
“Siapa tahu diambil istri atau pembantumu?”
“Tidak, Pak Kyai… Saya tahu bagaimana mereka. Saya curiga uang saya diambil tuyul.”
“Mohon Pak Kyai memberi saya amalan, mudah-mudahan uang saya terjaga dan usaha saya tambah lancar.”
“Ya sudah, ini saya kasih amalan ayat kursi, setiap malam habis sholat isya, kamu baca sebanyak-banyaknya,” kata Pak Kyai.

Sebulan kemudian, pedagang itu kembali sowan Pak Kyai dengan membawa banyak hadiah.
“Terima kasih, Pak Kyai… setelah saya amalkan, uang saya aman dan usaha saya bertambah maju.”
Weh.. kok ampuh beneran,” batin Pak Kyai penasaran.
“Saya pengen nanya, setiap malam kamu baca ayat kursi berapa kali?”
“5000 kali, Pak Kyai...,” jawab si Pedagang.
Weelah… banyak bener… apa mulut kamu ndak capek baca sebanyak itu? terus kamu ndak tidur, dong?”
“Ndak capek, Pak Kyai….,saya juga bisa tidur setiap malam, wong bacanya ndak lama juga,” ujar si Pedagang.
“Ndak lama gimana, itu 5000 kali. Memangnya kamu bacanya gimana?” Tanya Pak Kyai makin penasaran.
“Ya saya baca: ayat kursi, ayat kursi, ayat kursi, ayat kursi…..”
Woalah… yang saya maksud bukan begitu, masak kamu ndak tahu ayat kursi?”
“Saya ndak tahu Pak Kyai, saya orang bodoh, saya ndak bisa ngaji…”

***

Jumat, 13 November 2015

Antara Pikiran-Pikiran Baik Dan Buruk Pada Hari Pangan.




Pagi tadi saya ikut merayakan Hari Pangan. Sekitar pukul 7, saya bersama para PNS Pemda berkumpul di halaman Kantor Bupati untuk mendengarkan sambutan Bupati dan dilanjut senam pemanasan. Lalu, kami bergerak jalan santai. Ada kupon undian yang membuat saya bersemangat. Saya punya ambisi untuk mendapatkan sepeda gunung. Motivasi kedua adalah saya juga ingin menikmati pangan lokal selepas jalan santai. Saya tahu, makanan khas daerah ini enak-enak. Dorongan ketiga, saya ingin melihat wajah-wajah cantik para PNS daerah. Hehehe…

Selama perjalanan, sembari ngobrol dengan kawan-kawan, terbersit pikiran kotor. Seperti: foto kegiatan jalan santai ini bisa dipakai dan dimanipulasi menjadi kegiatan perayaan kantor. Tinggal sedikit teknik photoshop, jadilah. Tapi ini hanya bahan lelucon saja. Tak mungkinlah kami melakukannya, karena kami punya integritas.

Sepanjang jalan yang kami lewati, lalu lintas cukup terganggu. Kami memenuhi separuh lebih jalan. Saya berjalan sambil merenung. Saya mencoba berpikir seandainya saya adalah seorang yang bukan PNS dan pengguna jalan yang melintas. Kira-kira kalimat apa dalam pikiran saya yang bukan PNS itu?

Pikiran buruk sangkanya pasti begini.
“Ini para PNS enak bener ya… ini kan hari kerja, bukannya bekerja malah jalan santai… menuhi jalan lagi. Belum nanti, selepas acara, gak mungkin mereka akan ngantor. Karena alasan bau keringat, mereka akan cepet pulang untuk mandi, ganti baju. Tapi karena waktu sudah dekat jam istirahat, mereka juga tidak akan segera kembali ke kantor. Beristirahatlah mereka di rumah lebih dulu. Artinya dari pagi sampai siang mereka hari itu gak bekerja. Atau memang kerjanya ya jalan santai itu, ya….?”

Tapi, ada juga pikiran dengan prasangka baik.
“Ah gak papa, wong cuman sekali-kali, gak setiap hari begini. Ini kan juga dalam rangka Hari Pangan, siapa tahu dengan begini mereka bisa mendorong, memicu masyarakat untuk selalu cinta produk lokal. Anggap saja, jalan santai ini semacam kampanye, mereka sedang mengajak masyarakat, menggaungkan program dan ini memang menjadi salah satu tugas pemerintah. Kalau begitu, artinya mereka juga bekerja, bukan?”

Ah, sudahlah… itu hanya lintasan-lintasan pikiran. Tak semua orang sempat berpikir seperti itu.

Pada akhirnya, saya agak kecewa, karena gagal mendapatkan sepeda gunung. Tak satu pun doorprize lain yang saya peroleh. Nasib memang. Hampir-hampir di setiap undian berhadiah, saya selalu meleset. Tapi, saya masih beruntung bisa menikmati panganan lokal yang berbahan baku ubi dan ketela. Dan, tahukah Anda bagaimana rasanya? Sama dengan yang ada di kampung saya. Hehehe…

***