Saya sudah hampir dua tahun melintasi jalur
Surabaya-Madiun. Saya juga tahu persis kondisi Terminal Bungurasih di akhir pekan
atau saat liburan. Maka, saya merasa sudah pantas untuk menyampaikan uneg-uneg,
bisa berupa kritik ataupun saran mungkin juga cemoohan. Biar saja…
Begini.
Saya mulai dengan satu kesimpulan: Terminal
Bungurasih tidak pernah siap menghadapi lonjakan penumpang disaat liburan
bahkan hanya sekedar long weekend,
seperti Jumat libur atau Kamis Jumat libur. Para penumpang harus menunggu
berjam-jam untuk bisa naik bus.
Saya sering tiba di terminal sekitar pukul 8
malam. Penumpang sudah bejibun
menunggu bus yang tak jelas kapan tiba dari pool
atau berangkat dari parkiran. Yang semestinya orang-orang menunggu di “tempat
menaikkan penumpang”, mereka sudah tak sabar dan berduyun-duyun menuju parkiran
bus. Mereka dengan (mungkin) rasa dongkol menunggu di depan pintu bus yang
masih parkir. Ketika pintu dibuka, orang-orang berjubel masuk ke dalam bus yang
hanya ada dua pintu, depan dan belakang. Kalau sudah begitu, tak ada lagi
urusan dengan usia, jenis kelamin, jabatan, pangkat atau status sosial. Semua
berebut masuk. Siapa cepat, ia yang dapat kursi. Jadi, ketika bus menuju “tempat
menaikkan penumpang”, sudah tak ada lagi kursi kosong, malah sudah ada yang
rela berdiri. Mengapa penumpang rela berdiri? Karena tak ada informasi masih
adakah bus berikutnya.
Saya tak habis pikir bagaimana sebenarnya pihak
otoritas terminal mengantisipasi lonjakan penumpang ini. Saya yakin mereka
sudah tahu akan terjadi lonjakan penumpang. Trend
itu sudah bisa dibaca. Mestinya mereka bisa mengatur supply bus yang akan mengangkut penumpang. Saya menduga koordinasi
sejak dini dengan pihak PO tidak pernah dilakukan.
Pihak terminal juga tidak pernah memberikan
informasi ketersediaan bus. Mereka hanya sekedar memberikan peringatan agar
berhati-hati dengan dompet dan barang bawaan. Nihilnya informasi juga mendorong
penyalahgunaan atau penggunaan kesempatan pihak kru bus untuk mengambil
keuntungan. Bus patas (yang ecek-ecek) yang seharusnya tidak boleh ada
penumpang yang berdiri, juga dipenuhi penumpang yang rela tersiksa berdiri
selama perjalanan. Kadang, pihak kru bus membujuk atau mungkin berbohong bahwa
tak ada lagi bus. “Ini bus terakhir…,” kata mereka. Dan penumpang tak punya
sarana untuk mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut.
Maka, kemudian sebagian orang
berbondong-bondong memilih untuk naik dari lokasi atau pool bus. Akibatnya, dari pool,
bus sudah penuh penumpang. Sehingga, bus tak perlu lagi berangkat menuju
terminal dan langsung berangkat ke kota tujuan. Kalau pun tetap ke terminal,
mungkin hanya sekedar laporan atau untuk membayar retribusi. Dan karena bus
sudah penuh penumpang, orang yang naik dari terminal tak dapat tempat duduk
alias berdiri. Iya kalau perjalanan lancar, kalau macet? Bisa rasa remuk di
badan. Orang yang pengennya liburan, malah dapatnya masuk angin dan kecapekan.
Jika hal tersebut dibiarkan, artinya
orang-orang memilih naik dari pool,
lalu apa gunanya terminal?
Bersambung……
(mungkin)
***