Dalam
UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 17 ayat (2)
menyatakan : Pengangkatan PNS dalam sesuatu jabatan dilaksanakan dengan
memperhatikan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu. Penjelasan
Pasal 17 ayat (2) menyebutkan : Dalam rangka pelaksanaan sistem karier dan
sistem prestasi kerja maka harus ada pengkaitan yang erat antara kepangkatan
dan jabatan atau dengan perkataan lain perlu adanya pengaturan tentang jenjang
kepangkatan pada setiap jabatan. PNS yang diangkat dalam suatu jabatan
pangkatnya harus sesuai dengan pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu. Dalam jabatan strukturil, PNS yang
berpangkat lebih rendah tidak dapat membawahi langsung PNS yang berpangkat
lebih tinggi.
Pasal
17 dan penjelasannya tersebut kemudian diubah dengan UU No.43 Tahun 1999 Tentang
Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yaitu Pasal
1, Nomor 9: Ketentuan Pasal 17 Ayat (2) menjadi
berbunyi sebagai berikut : Pengangkatan PNS dalam suatu jabatan dilaksanakan
berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja,
dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat objektif
lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras atau golongan.
Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (2) hanya menyebutkan : Yang dimaksud
dengan syarat obyektif lainnya antara lain adalah disiplin kerja, kesetiaan,
pengabdian, pengalaman, kerjasama dan dapat dipercaya.
Jadi,
dalam UU No.43 Tahun 1999 tersebut tidak lagi mencantumkan ketentuan bahwa, “Dalam jabatan strukturil, PNS yang
berpangkat lebih rendah tidak dapat membawahi langsung PNS yang berpangkat
lebih tinggi”. Apakah kemudian dalam
suatu unit organisasi, dibolehkan ada pejabat eselon dengan pangkat yang lebih
rendah membawahi langsung pegawai atau pejabat eselon dibawahnya dengan pangkat
yang lebih tinggi.
Dalam
Penjelasan atas UU No.43 Tahun 1999, disebutkan bahwa sebagai bagian dari
pembinaan pegawai negeri, pembinaan PNS perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya
dengan berdasarkan pada perpaduan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi
kerja. Hal ini dimaksudkan untuk memberi peluang bagi PNS yang berprestasi
tinggi untuk meningkatkan kemampuannya secara profesional dan berkompetisi
secara sehat. Dengan demikian pengangkatan dalam jabatan harus didasarkan pada
sistem prestasi kerja yang didasarkan atas penilaian obyektif terhadap
prestasi, kompetensi dan Pelatihan PNS. Dalam pembinaan kenaikan pangkat,
disamping berdasarkan sistem prestasi kerja juga diperhatikan sistem karier.
Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa pengangkatan PNS dalam jabatan struktural
atau jabatan fungsional harus dilakukan secara obyektif dan selektif, sehingga
menumbuhkan kegairahan untuk berkompetisi bagi semua PNS dalam meningkatkan
kemampuan profesionalismenya dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik
kepada masyarakat.
Hal
diatas akan berakibat, senioritas tak lagi menjadi ukuran dalam pengangkatan
jabatan struktural. Tetapi apakah dapat dibenarkan PNS yang berpangkat lebih rendah membawahi langsung PNS yang berpangkat
lebih tinggi? Ternyata ketentuan tersebut telah diatur dalam PP Nomor 99
Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS Pasal 33, yang menyatakan bahwa, “Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat lebih
rendah tidak boleh membawahi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat lebih tinggi,
kecuali membawahi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan fungsional
tertentu”.
Meski
PP Nomor 99 Tahun 2000 tersebut telah diubah dengan PP Nomor 12 Tahun 2002
tentang Perubahan atas PP Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS, tetapi
tidak mengubah Pasal 33, sehingga ketentuan “Pegawai Negeri Sipil yang
berpangkat lebih rendah tidak boleh membawahi Pegawai Negeri Sipil yang
berpangkat lebih tinggi, kecuali membawahi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki
jabatan fungsional tertentu”, tetap berlaku dan mengikat semua orang yang
terlibat dalam ruang birokrasi.
Jika hal ini dilanggar, dampaknya adalah penilaian DP3 pegawai bawahan
mengalami kendala, karena untuk pejabat penilai, pangkat dan golongannya
harus lebih tinggi (minimal sama) daripada yang dinilai. Selain itu, pegawai tersebut
akan mengalami persoalan ketika akan mendapatkan kenaikan pangkat
reguler, karena dalam PP 99 tahun 2000 jo PP 12 tahun 2002, pasal 6 ayat
(2) menyatakan bahwa, "kenaikan pangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) (baca: kenaikan pangkat reguler) diberikan sepanjang tidak
melampaui pangkat atasan langsungnya"
Dari ketentuan diatas, jika kemudian kita mendapatkan
atasan dengan pangkat yang lebih rendah dari pangkat kita, apakah kita berhak
menolaknya? Atau kita yang harus meminta diri kita untuk dipindahkan ke kantor
atau bagian/seksi lain dengan atasan
yang berpangkat lebih tinggi atau sama dengan pangkat kita? Atau kalau protes
kita tidak ditanggapi oleh pihak pejabat kepegawaian dalam unit organisasi kita,
mungkinkah kita bisa mem-PTUN-kannya?