Sudah menjadi jadwal keluarga kami untuk pulang ke rumah
orang tua setiap bulan. Jarak kotaku dengan
kampung orang tua tidak terlalu lama
kami tempuh dengan naik sepeda motor. Dibandingkan dengan naik bis -yang kalau
ketiban apes, bisa kehabisan tempat
duduk dan harus berdiri, belum lagi pengamen yang kadang macak sangar atau pedagang asongan yang suka mengiming-imingi anakku makanan atau mainan, belum lagi pencopet yang senang memanfaatkan
kesempatan saat berdesakan, atau tak jarang penumpang yang egois dengan
seenaknya merokok di dalam bis- kami
lebih suka memilih naik motor. Memang resikonya kalau lagi sial, ditabrak bis yang ugal-ugalan yang senang menyerobot jalan kendaraan lain, atau sampai di
tempat tujuan anakku masuk angin. Tapi karena kami sudah tahu resikonya,
maka kami sudah sedia payung sebelum hujan. Kami berdoa sebelum berangkat,
aku juga tidak berani melaju diatas 70 Km/jam dan sebelum dan setibanya
di tempat tujuan, anakku, aku bloyohi minyak kayu putih.
Kami
tak pernah berencana kalau pada hari itu, tetangga mertuaku, Mbah Tun, akan pamitan
haji. Jadi sungguh merupakan rencana Tuhan, kalau pada malam hari itu kami bisa
menghadiri acara pamitan Mbah Tun. Bahkan secara mendadak kami diminta untuk
jadi anggota panitia, among tamu sekaligus sinoman.
Dalam pidato pamitannya, Mbah Tun bercerita bahwa ia naik haji
dengan menjual sawah. Sebelumnya ia telah berunding dengan
semua anak-anaknya termasuk para kerabat dekatnya. Dan hasil musyawarah
tersebut merekomendasikan Mbah Tun untuk menjual sawahnya. Bagi sebagian orang,
menjual sawah untuk naik haji masih dipandang sebelah mata. Bagi mereka, haji
adalah simbol seseorang yang kaya. Maka bila orang tersebut naik haji dengan
menjual harta bendanya, apalagi sawah, masih dianggap belum termasuk orang kaya.
Padahal dalam agama tidak pernah menyebutkan adanya larangan menjual harta
benda dalam rangka naik haji. Yang dilarang adalah bila seseorang naik haji
dengan menelantarkan keluarganya. Ini jelas tidak dilakukan oleh Mbah Tun.
Anak-anaknya telah berkeluarga dan hidup mapan, sementara ia telah beranjak tua
dan telah lama ditinggal mati suaminya. Jadi, memang sudah waktunya bagi Mbah
Tun untuk menjalani hari-harinya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kalimatnya
terbata-bata, suaranya tercekat dan tiba-tiba ia menangis. Sebuah tangisan
tulus. Dalam pikirannya, mungkin
inilah saat-saat terakhir ia berkumpul dengan keluarga dan para tetangga yang
telah puluhan tahun menemani hidupnya. Siapa yang tahu nasib seseorang setelah
tiba di Mekkah? Setiap musim haji, sebuah keniscayaan ada jamaah haji yang
meninggal dunia pada saat melaksanakan ibadah. Ia berpikir, iya kalau nanti
saya masih diberi umur dan bisa kembali ke tanah air, kalau misalnya disana
ajal menjemput, kapan lagi kesempatan bagi saya untuk berpamitan dan meminta
maaf atas segala kesalahan yang telah saya perbuat selama hidup saya? Begitulah mungkin yang sedang berkecamuk di benaknya.
***