Saya selalu
terkenang dengan ucapan Ust. Anis Matta, bahwa untuk menjadi pemimpin ada tiga
modal yang harus dimiliki yaitu : sejarah, geografi dan sastra. Setelah saya
renungkan, meski itu bukan hadist, memang ada benarnya juga. Ini tidak ada
kaitannya dengan pilihan politik. Saya memilih untuk membaca apa saja dan
mendengar dari siapa saja. Ketika saya membaca Anis Matta, saya juga membaca
Emha Ainun Najib. Saat saya membaca Ibnu Taimiyah, saya juga membaca
Al-Ghazali. Kala saya membaca Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub saya juga membaca
Gus Dur, Quraish Shihab. Dan sewaktu saya membuka situs Salafy, Hidayatullah,
saya juga membuka situs NU dan Muhammadiyah.
Soal tiga hal
tersebut, saya mencoba membuat penjabaran sendiri. Beliau bicara dalam konteks negara.
Ilmu saya belum sampai kesana. Cukuplah saya merefleksikan dalam sebuah
organisasi.
Sejarah.
Untuk menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi, sejarah organisasi -bagaimana
terbentuknya organisasi, perjuangan para pendahulu, proses reorganisasi hingga
tiba pada struktur yang mantap- perlu
untuk diketahui oleh para pemimpinnya. “Jas Merah”, kata Bung Karno. Jangan
pernah melupakan sejarah. Karena memang dari sejarah itulah kita belajar. Ada
hikmah, ada contoh-contoh dan ada dinamika internal yang bermanfaat bagi
pribadi dan keberlangsungan organisasi. Di dalamnya juga ada semangat dari para
pendahulu yang patut dicontoh yaitu keberanian untuk berubah.
Ketika kita
berada pada zona aman, kita terlena dan kurang tanggap dengan perubahan jaman.
Pada saat mestinya kita segera berubah, kita masih lamban menerima rangsangan
dan meresponnya. Dari sejarah itulah, kita melihat bagaimana para pendahulu
yang tidak siap dengan perubahan, terlindas dan tersingkir. Sejarah juga memberi
pelajaran bahwa setiap perubahan akan memunculkan kubu-kubu, antara yang
setuju, menolak dan oportunis. Semuanya tentu mempunyai pertimbangan dan itu
menjadi pelajaran bagi kita di masa kini.
Sejarah
tidak hanya mencakup perubahan organisasi, tetapi juga sistem yang dianut, alur
kerja yang selama ini dilaksanakan. Perubahan sistem, alur kerja pasti
menyisakan hikmah bagi kita. Kita melihat bahwa semuanya berjalan atau mengarah
kepada kebaikan, kebermanfaatan, efektivitas dan efisiensi. Dan tentunya tak
lepas dari dasar hukum yang ada.
Kongkretnya,
di organisasi DJPBN, dulu kita mengenal istilah saldo besi. Saya menyebutnya
sebagai jaman saldo besi. Masing-masing KPPN memiliki saldo rekening kas yang
ditetapkan. Saldo rekening kas ini yang selalu dijaga. Apabila lebih akan
dilakukan pengiriman uang dan jika kurang akan dimintakan tambahan uang kas. Pada
jaman itu, penerimaan negara tidak setiap hari dilimpahkan, tetapi setiap hari
selasa, jumat dan tanggal 1. Dari situ, kita melihat ada ketidakefektifan dalam
pengelolaan kas. Ada kas yang cenderung kurang dimanfaatkan oleh pemerintah
karena terbagi-bagi dalam saldo kas di masing-masing KPPN. Tapi, itu masa lalu.
Saya sedang
mencoba menyusun tulisan yang agak lengkap tentang jaman saldo besi ini. Tidak
untuk tujuan politis seperti ungkapan, “isih penak jamanku, to?”, tapi sekedar
untuk bernostalgia dan sebagai catatan sejarah, bahwa kita pernah menjalani
masa-masa itu. Jaman saldo besi kemudian terganti dengan jaman TSA. Ada
efektivitas dan efisiensi. Kontrol atas kas negara lebih mudah karena hanya ada
satu rekening pengeluaran dan penerimaan. Itu secuil sejarah penatausahaan penerimaan
negara dan pengelolaan kas.
Bagaimana
dengan sejarah sistem pelaksanaan APBN? Saya
ingat bahwa sebelum jaman UP, kita menjalani masa UYHD dan mundur kebelakang
lagi kita pernah melalui episode UUDP. Bagaimana pula dengan
pembukuan/pelaporan pertanggungjawaban? Sebelum lahir LKPP, kita bergelut
dengan P6,P7, pelaporan KAR dan PAN (pertanggungjawaban anggaran negara).
Adakah yang
masih mengenal sistem-sistem itu? Mungkin hanya para senior yang masih
mengingatnya. Sungguh saya ingin menuliskannya dalam sebuah buku tentang
sejarah perbendaharaan Indonesia. Untuk apa? Apakah itu hanya akan membuang
tenaga dan pikiran? Sekali lagi jas merah. Dengan membaca sejarah, kita akan
tersenyum tentang masa lalu karena kita telah tiba pada momen “indah pada
waktunya”. Kadang untuk melihat kedepan
kita perlu menengok ke belakang. Ada cermin besar di belakang kita. Sejarah.
Geografi. Indonesia
bukan Jakarta, bukan Jawa, apalagi cuma Sragen. Ada Lhokseumawe, ada Merauke.
Ada Tahuna dan Wamena. Ada Baubau dan Raha. Ada Gunung Sitoli dan Pelaihari.
Semuanya itu masih Indonesia. Para pemimpin yang tidak mengenal daerah
kekuasaannya, rasanya sulit untuk menetapkan kebijakan yang tepat. Tepat di Jakarta, belum tentu tepat di luar Jawa.
Mengenal
geografi juga membuat kita lebih arif memandang permasalahan yang dihadapi elemen
organisasi. Ada problem insfrastruktur, transportasi dan sumber daya.
Menganggap semua daerah memiliki kemudahan dalam semua akses, akan berakibat
fatal bagi penerapan sistem yang menyeluruh. Maka, disinilah perlu adanya
tahapan. Dengan mengenal geografi, ada kebijaksanaan dalam setiap program yang
dijalankan. Maka, memperjalankan calon
pemimpin untuk mengenal dan hidup di daerah-daerah kekuasaannya menjadi sangat
relevan.
Sastra. Saya
cenderung memaknainya sebagai keahlian dalam bermetafora. Puisi bagian dari sastra. Tapi bukan puisi politik dengan pilihan
kata yang lugas seperti yang berkembang akhir-akhir ini. Kemampuan bermetafora,
menandakan kelembutan jiwa dan perasaan sang pemimpin. Ada keindahan dalam
bertutur dan tulisan. Ada kedalaman makna dalam ungkapan-ungkapan yang
disampaikan.
Sastra juga
bicara soal kehidupan. Ada kisah-kisah penuh makna. Darinya kita memperoleh
pelajaran. Seperti wayang. Ada banyak cerita dan karakter yang selalu relevan
dengan kehidupan kekinian. Maka, dengan penguasaan
sastra, terkadang kita bisa mengetahui arah jaman dan angin politik. Ada
antisipasi, kewaspadaan dan kehati-hatian, karena kita telah belajar dari
kisah-kisah yang tertulis dalam lembaran-lembaran sastra.
Pemimpin
adalah motivator dan inspirator. Ia mempengaruhi bukan dipengaruhi. Soal
mempengaruhi ini, disitulah maqom sastra.
Dan dari
ketiga modal itu, saya hanya punya satu… geografi...
***