Tulisan
ini saya sarikan dari ceramah Ibu Betti Alisjahbana pada Leadership Series.
Tentunya dengan beberapa penyesuaian dan editing.
Guru
leadership, John C. Maxwell mengatakan “leadership
is about influence. nothing more, nothing less”. Kalau kita meskipun titelnya bukan presiden
direktur atau manajer, tapi kita bisa meng-influence orang dan bisa membuat
orang bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik maka kita bisa disebut leader.
Jadi jangan dicampur-campur antara leadership dengan suatu posisi. Ada orang yang
posisinya keren tetapi tidak bisa influence orang, maka dia bukan leader. Leader
harus mampu mempengaruhi orang lain.
Kalau
langkah-langkah kita bisa membuat orang terinspirasi, membuat orang menjadi
punya cita-cita tinggi, membuat orang ingin belajar lebih banyak, membuat
orang-orang ingin melakukan hal-hal dengan lebih baik dan hasilnya baik maka
kita adalah pemimpin, terlepas dari titel kita bukan pemimpin, CEO atau
manajer.
Kita
tidak perlu menunggu diangkat menjadi sesuatu untuk menjadi pemimpin. Kita bisa
mulai dari posisi apapun. Apabila kita
bisa mengispirasi orang melalui langkah-langkah yang kita lakukan, membuat
orang menjadi bercita-cita tinggi, maka kita itu bisa mengklaim diri kita
seorang leader.
Ada
6 karakteristik leader’s DNA yang dibutuhkan,
agar seorang pemimpin berhasil.
Pertama,
drive and passion. Leader harus punya
drive, punya passion. Kalau kita tidak bergairah, tidak minat pada bidang yang
kita lakukan, jangan harap kita bisa influence orang lain, jangan harap kita
menginspirasi orang lain. Jangan harap membuat orang passionate kalau kita
sendiri tidak passionate terhadap bidang yang kita pimpin. Itu sebabnya
dianjurkan untuk memilih bidang-bidang yang kita punya passion. Karena hanya
dengan cara itu, kita bisa sukses sebagai pemimpin. Pemimpin passionate saja anak
buahnya belum tentu, apalagi pemimpinnya tidak passionate. Kalau diatas miringnya sedikit, kebawah akan makin
besar. Jadi kita harus mulai bahwa kita harus passionate.
Kedua,
desire to lead. Karena memimpin itu
seringkali dihadapkan pada posisi-posisi yang sulit. Seringkali sebagai pemimpin,
dihadapkan pada pilihan yang sulit. A ada plusnya, ada minusnya. B ada plusnya,
ada minusnya. Dan orang yang tidak punya desire to lead, seringkali : “ayo A
atau B? dia pilih “atau”. Dia tidak mengambil posisi, itu tidak bisa disebut
pemimpin, karena leader harus mengambil pilihan, apapun konsekuensinya. Dan
seringkali konsekuensinya hal-hal yang sulit. Dia harus bertanggung jawab dan
itu adalah leadership.
Selain
itu pemimpin mesti “high effort , high desire to achieve, high energy level”.
Biar pun kita sudah bekerja dari pagi sampai malam, energi kita harus tetap
tinggi karena kalau energinya loyo, akan menular. Demikian juga energi tinggi ,
juga menular . Kalau kita melihat pemimpin klemar-klemer, lambat, kita ikut
ketularan. Tapi kalau kita lihat pemimpin kita gesit, cepat, itu juga menular.
Desire
to lead juga terkait kemauan untuk mengambil tanggung jawab. Yang sering
terjadi adalah kalau sukses itu “bapaknya” banyak, tapi kalau gagal itu “yatim
piatu”, tidak ada yang mau jadi “bapaknya”. Begitu gagal, mencari kambing hitam. Padahal
ketika gagal dan berani mengambil tanggung jawab, maka kegagalan itu adalah
kesempatan untuk kita belajar dan menemukan suatu solusi bagi kegagalan itu. Tapi
kalau kita gagal, kita mencari kambing hitam maka kita tidak belajar, tidak
berusaha mengatasi, karena yang salah orang lain, bukan kita. Kita sibuk
mencari kanbing hitam dan akibatnya kita menghilangkan kesempatan untuk belajar
dari kegagalan. Orang sukses menggunakan kegagalan untuk memperbaiki dan
akhirnya bisa sukses. Sedangkan, orang
gagal menggunakan kegagalan untuk mencari kambing hitam.
Ketiga,
Integrity. Adalah prasarat untuk
menjadi pemimpin yang baik, karena suka atau tidak suka semakin tinggi posisi
kita, semakin kita menjadi leader maka kita adalah rule model. Pilihannya
adalah rule model untuk sesuatu yang bagus atau rule model untuk sesuatu yang
tidak bagus. Karena kita akan ditiru. Sehingga, masalah integrity ini menjadi
sangat penting. Ada buku yang sangat bagus yang ditulis Stephen R Covey : “The
speed of trust”. Intinya : ketika ada trust, maka segala sesuatu akan lebih
cepat dan lebih murah. Tapi kalau trust itu tidak ada, maka menjadi lambat dan
lebih mahal.
Pada
satu forum, salah satu pemimpin BUMN bercerita, bagaimana kasihannya para
pemimpin BUMN karena ada 8 UU termasuk UU Tipikor yang mengatur mereka. Begitu
banyak aturan yang mengakibatkan mereka sulit
untuk bergerak cepat. Orang menjadi gamang untuk mengambil decision. Itu adalah akibat trust yang kurang,
barangkali karena sebelumnya terjadi
sesuatu misalnya ada direktur BUMN yang nakal. Maka dibikinlah aturan yang
makin lama aturannya makin banyak. Sehingga untuk melakukan sesuatu itu, ternyata
yang mengikat banyak sekali. Padahal sekarang ini adalah eranya speed, yang
makin lama makin cepat. Good governance itu perlu, tapi tidak boleh berlebihan.
Karena kalau berlebihan segala sesuatu menjadi mahal. Ada banyak yang melakukan
cek dan ricek dan itu dilakukan oleh orang yang tentu ada biayanya.
Jadi
untuk menjadi pemimpin kita harus bisa dipercaya agar kita bisa melakukan
sesuatu dengan cepat. Ada bos yang kalau dia yang bicara atau yang minta, kita tidak banyak berpikir panjang, pasti
tujuannya baik, karena kita percaya. Tapi ada bos yang punya track record yang
kurang bagus, kalau dia minta sesuatu kita kemudian bertanya “ada maunya apa
ya?” karena kita tidak trust, maka menjadi lama. Itulah pentingnya bahwa leader
itu harus punya integrity.
Pemimpin
yang dipercaya digambarkan sebagai obat. Obat mengandung zat untuk mengobati
sakit tertentu tetapi juga mengandung racun bagi organ lainnya. Ketika kita
makan obat, kita punya trust, meskipun ini pahit, meskipun ada resikonya , tetapi ini baik untuk kita.
Kalau pemimpin itu dipercaya meskipun ada sesuatu tantangan yang harus dihadapi
atau ada suatu resiko, maka Timnya akan mau mengikuti dan melakukan . Tetapi
kalau pemimpin itu tidak dipercaya maka “kalau
enak saya ikuti kalau gak enak saya gak ikutin”. Jadi, trust itu menjadi
sangat penting .
Pemimpin
juga harus memiliki konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Paling repot
adalah kalau pemimpin bilang A tapi melakukan B. Karena ujung-ujungnya kalau ada inkonsistensi
antara perkataan dan perbuatan, maka yang dilihat orang lain adalah
perbuatannya.
Keempat,
self confidence. Karena kita harus
bisa influence orang. Kalau kita tidak percaya sama diri sendiri, bagaimana
kita mengharapkan orang yang kita pimpin bisa percaya dengan kita. Biasanya
kalau kita melihat orang yang yakin
sekali, bisa menerangkan dengan sangat bagus dan meyakinkan, kita akan ikut
yakin.
Kelima,
intelligence. Ini diperlukan untuk
bisa menganalisa situasi mana ujung mana pangkal. Begitu banyak informasi, mana
yang sebetulnya relevan, mana yang tidak relevan. Dan atas dasar itu, dia bisa
membuat keputusan. Kadang-kadang orang tidak berani mengambil decision karena
bingung begitu banyak faktanya dan saling bertolak belakang. Dan untuk itu
dibutuhkan intelligence.
Keenam,
job relevant knowledge. Punya
pengetahuan yang relevan dengan pekerjaannya. Tergantung pekerjaannya itu apa. Kalau
leadership di bidang perbankan, dia harus tahu perbankan. Kalau pada awalnya belum tahu, maka dia harus
belajar dulu supaya lebih tahu. Ada pemimpin dengan background arsitek dan terjun
di dunia IT. Maka pada saat mulai
memimpin, belajarnya harus lebih banyak dari orang lain karena harus menguasai
bidang itu. Kalau orang lain belajar sejam, maka dia belajar 3 jam karena ada
hal-hal yang belum dikuasai. Tidak berarti bahwa harus tahu segalanya, tetapi
pada saat kita memulai memimpin kita harus mempelajari semuanya agar menguasai
bidang yang kita pimpin. Memang, semakin tinggi posisi, yang perlu kita ketahui
adalah the big picture, atau konsepnya.
Semoga bermanfaat.
***
Semoga bermanfaat.
***