Senin, 21 April 2014

Saya Bermimpi : Tugas KPPN Pasca MPN G-2

Acapkali ketika tidur, kita bermimpi tentang apa yang baru saja kita dengar atau kita lihat. Begitu juga dengan mimpi saya ini. Beberapa adalah berasal dari apa yang saya baca, saya dengar dan saya lihat. Dan mungkin sebagian juga dari apa yang saya pikirkan sendiri.

Pertama, saya bermimpi : KPPN melakukan koordinasi dengan bank persepsi. Saya kira, ini menjadi langkah pertama sebelum dilaksanakan sosialisasi MPN G2 kepada satker. Tujuannya adalah agar tidak terjadi, setelah sosialisasi ke satker, ternyata sistem di bank persepsi belum siap termasuk belum siap SDMnya.

Tidak berhenti pada koordinasi, saya bermimpi KPPN bertugas untuk melakukan manajemen bank terkait penatausahaan penerimaan negara. Kata manajemen bisa diartikan bahwa KPPN ikut mengatur tentang tata kelola penyetoran, mengawasi, memonitor, dan mengingatkan jika terjadi keluhan dari pihak penyetor. KPPN juga bisa melakukan pembinaan terhadap SDM bank persepsi terkait peraturan yang menyangkut penerimaan negara.

Pada sisi lain, KPPN bisa menjadi jembatan penghubung antara biller (DJA, DJP, DJBC) atau sistem setelment (Dit.PKN) dengan pihak bank persepsi di daerah. KPPN juga bisa menjadi jembatan antara pihak penyetor dengan bank persepsi. Saya membayangkan : ada masalah dengan layanan penyetoran yang dihadapi oleh penyetor. Mereka kesal dan komplain. Kemana mereka akan melapor tentang layanan tersebut? KPPN bisa mengambil peran ini. Kalau dalam dunia “perkonsumsian” ada YLKI, KPPN sebagai YLKI-nya bank persepsi di daerah.

Kedua, saya bermimpi : KPPN melakukan sosialisasi kepada satker mitra kerja. Bukan lagi hanya mimpi, beberapa sudah dilaksanakan. Dan memang harus segera dilaksanakan. Ada banyak bendahara pengeluaran dan bendahara penerimaan satker yang perlu segera mengetahui sistem MPN G2. Sebelum melaksanakan sosialisasi, pihak KPPN tentunya harus mengetahui dan paham lebih dulu tentang sistem ini. Untuk menjadi paham, harus melaksanakan ujicoba mulai registrasi, pembuatan kode billing dan penyetoran ke bank. Pihak KPPN juga mesti tahu bagaimana bentuk cetakan atau printout dari sistem MPN G2 dan bagaimana bentuk BPN dan NTPN, NTB dari sistem MPN G2.

Selanjutnya, tugas kedua KPPN setelah manajemen bank terkait penerimaan negara adalah melakukan bimbingan teknis kepada satker dalam kaitannya dengan penyetoran penerimaan negara. Peraturan-peraturan baru yang menyangkut proses penyetoran penerimaan negara, menjadi tugas KPPN untuk menyampaikannya kepada satker. Tidak sekedar menyampaikan tetapi membuat mereka paham akan peraturan tersebut.

Ketiga, saya bermimpi : KPPN melakukan sosialisasi kepada satker pemerintah daerah (yang juga melakukan penyetoran penerimaan negara). Sila cek di daftar nominatif penerimaan negara. Penyetor tidak hanya satker-satker instansi pusat, ada banyak satker pemda yang juga melakukan penyetoran penerimaan negara. Dan mereka ini juga harus mengetahui dan menggunakan sistem MPN G2. Artinya : juga perlu dipikirkan bagaimana melakukan sosialisasi MPN G2 ini kepada pemerintah daerah.

Kenapa harus KPPN? Bukankah untuk urusan pajak, ada KPP. Benar! Dan bisa jadi mereka juga sudah memiliki program atau rencana kegiatan sosialisasi ini. Tetapi bagaimana dengan PNBP, Pengembalian Belanja. Mengharapkan DJA sebagai biller PNBP untuk melaksanakan sosialisasi ke seluruh satker, rasanya tidak mungkin, karena tidak mempunyai instansi vertikal. Dan itu menjadi peluang bagi KPPN untuk mengambil peran lebih besar.

Keempat, saya bermimpi : KPPN memberikan layanan registrasi dan pembuatan billing. Untuk masuk ke sistem MPN G2, ada prasyarat yaitu memiliki akun email dan akses internet. Khusus untuk setoran pajak, harus memiliki NPWP. Syukurlah kalau semua instansi atau kantor pemerintah sudah memilikinya. Tetapi bagaimana jika belum lengkap. Artinya belum punya akun email dan akses internet. Lalu, bagaimana juga dengan wajib pajak pribadi atau masyarakat yang tidak mau repot dengan urusan registrasi dan pembuatan kode billing. Saya kira, masyarakat kita masih banyak yang berpikiran tidak mau repot dengan sistem, yang penting sudah membayar pajak.

Disini, saya melihat ada peluang bisnis yaitu layanan registrasi dan pembuatan kode billing. Bayangkan seperti pembelian tiket pesawat atau tiket kereta api. Meski kita bisa membeli sendiri secara online atau ke counter resmi, banyak tersedia agen-agen tiket. Bagaimana misalnya ada pihak lain yang bisa melihat peluang bisnis ini. Artinya dengan akses internet yang mereka miliki, mereka menyediakan jasa registrasi dan pembuatan billing atau bahkan mungkin memfasilitasi untuk pembayarannya ke bank persepsi. Saya melihat tidak semua warga masyarakat memiliki akun email. Dan melalui agen jasa ini, mereka tidak perlu repot-repot membuat akun email. Karena email yang direkam pada sistem MPN G2 bisa menggunakan email milik agen tersebut.

Daripada layanan ini diambil alih pihak swasta atau pribadi atau oleh bank persepsi sendiri, KPPN bisa mengambil peran dengan membuka layanan registrasi dan pembuatan billing. Tentu berupa layanan gratis. Apakah kemudian KPPN akan bertanggung jawab terhadap isian data penyetoran. Tentu tidak. Ada form khusus yang harus diisi oleh pihak penyetor dan ada form pernyataan tanggung jawab.

Saya bermimpi pada loket FO ada layanan untuk pembuatan kode billing. KPPN memiliki jaringan internet. KPPN juga memiliki SDM yang handal. Soal SOP bisa dirumuskan kemudian.

Kelima, saya bermimpi : KPPN melakukan monitoring kepatuhan bank persepsi terhadap ketentuan PMK 32/PMK.05/2014 dan peraturan baru lainnya terkait penerimaan negara. Dalam PMK tersebut terdapat beberapa kewajiban dan larangan pihak bank persepsi, seperti : Bank Persepsi wajib menerima setiap setoran Penerimaan Negara dari Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor tanpa melihat jumlah setoran; Bank Persepsi wajib memberikan pelayanan kepada setiap Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor baik nasabah maupun bukan nasabah; Bank Persepsi dilarang mengenakan biaya atas transaksi setoran Penerimaan Negara kepada Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor. Apakah kewajiban dan larangan tersebut dipatuhi? Adalah menjadi tugas KPPN untuk melakukan monitoring.

Keenam, saya bermimpi : KPPN menangani atau mengeksekusi permohonan koreksi atas transaksi Penerimaan Negara. Dalam PMK disebutkan bahwa permohonan koreksi atas transaksi Penerimaan Negara yang telah mendapatkan NTPN dan disetor ke Kas Negara oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor diajukan kepada masing-masing Biller. Ada tiga biller yaitu DJA, DJP dan DJBC. Adalah tidak mungkin jika permohonan koreksi ini disampaikan langsung ke Kantor Pusat. Atau barangkali melalui sistem. Tapi, saya agak sulit membayangkannya karena apakah mungkin melakukan koreksi dengan cara yang sangat mudah melalui sistem oleh penyetor sendiri. Kalau kemudian dibuat tidak mudah, misalnya harus melampirkan softcopy SSP dan BPN, justru malah akan merepotkan penyetor, karena harus menscan atau memfoto bukti setor/BPN.

Untuk koreksi setoran pajak, mungkin nantinya disampaikan kepada Kantor Pajak sesuai tugas fungsinya. Bagaimana dengan koreksi setoran PNBP atau pengembalian belanja, dimana DJA tidak memiliki kantor daerah. Lagi-lagi, KPPN dapat mengambil peran pada bagian ini.

Ketujuh, saya bermimpi : KPPN melakukan konfimasi setoran. Setelah saya melihat hasil cetakan SSP elektronik dan BPN, saya kira mudah sekali kedua cetakan itu untuk dimanipulasi. Untuk mencegahnya, kebutuhan untuk tetap melaksanakan konfirmasi surat setoran masih diperlukan. Bahkan bisa diperluas tidak hanya untuk satker mitra kerja KPPN, tetapi juga terhadap setoran yang dilakukan oleh satker pemda dan masyarakat. Tentu dengan pilihan sistem dan mekanisme yang berbeda untuk ketiganya. Artinya : mekanisme konfirmasi existing jangan diberlakukan kepada masyarakat karena tidak mungkin memaksakan mereka menggunakan aplikasi konfirmasi.

Saya teringat, disalah satu persyaratan sebagai peserta lelang pengadaan barang/jasa adalah laporan pajak terakhir. Yang biasanya oleh pihak rekanan dilampirkan SSP-nya. Dengan model SSP/BPN seperti itu, bagaimana memberikan keyakinan kepada panitia lelang bahwa apa yang dilaporkan dalam laporan pajak terakhir itu benar, bukan fiktif. Menurut saya, salah satu caranya adalah bukti konfirmasi dari KPPN atas setoran tersebut.

Kedelapan, saya bermimpi : KPPN sebagai helpdesk di daerah dalam hal permasalahan penyetoran PNBP melalui MPN G2. Adanya sistem baru biasanya masyarakat belum banyak yang mengetahuinya. Terhadap sistem baru pada umumnya pengguna cukup lama beradaptasi dan menguasainya. Dan sistem baru terkadang menyimpan permasalahan yang belum diketahui sejak awal. Dalam hal ini, helpdesk diperlukan untuk memberikan bantuan terhadap permasalahan yang dihadapi di lapangan baik oleh pihak penyetor maupun pihak bank persepsi.

Kesembilan, saya bermimpi : KPPN melakukan rekonsiliasi data penerimaan negara dengan KPPN Khusus Penerimaan. Selain dalam rangka validitas data, terdapat tujuan lain yang akan Anda temukan di akhir poin ini.  Mengingat tidak ada lagi bukti penyetoran yang diterima KPPN, untuk kebutuhan rekonsiliasi data penerimaan negara, bendahara penerima dapat diwajibkan untuk menyampaikan laporan bulanan penyetoran penerimaan negara kepada KPPN. Atau bank persepsi diwajibkan mencetak ulang BPN dari hasil penyetoran dan dikirimkan kepada KPPN.

Dari beberapa surat terakhir hal permintaan data surat setoran PNBP kepada KPPN, saya kira hal ini perlu untuk diwujudkan. Paling tidak untuk setoran PNBP dengan nilai yang besar. KPPN perlu untuk mendapatkan bukti setornya. Seperti PNBP royalti pertambangan atau PBB diluar sektor pedesaan dan perkotaan. Meski KPPN tak lagi terlibat dalam pembagian DBH PBB, tetapi dalam pembagian tersebut memerlukan data sektor dan kabupaten. Saya kira laporan terkait PBB, masih akan memerlukan peran dari KPPN.

Kesepuluh, saya bermimpi tentang sesuatu yang agak rumit untuk dirumuskan kata-katanya. Ini masih menyambung dari poin sembilan. Dengan adanya BPN dari bank persepsi, khususnya yang terkait dengan PNBP, maka KPPN dapat menyajikan data laporan PNBP di wilayah kerjanya. Dari data tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyusunan Kajian Fiskal Regional terkait penerimaan negara di wilayah tersebut.

Selain itu, dengan adanya laporan penerimaan negara dari bank persepsi ke KPPN biasa (tetapi bukan LHP), KPPN dapat menggunakan laporan tersebut untuk keperluan seperti : pembuatan profil bank persepsi. Saya membayangkan setiap KPPN mendapat tugas untuk menyusun profil bank persepsi di wilayah kerja masing-masing dan di dalamnya termasuk juga profil sebagai bank operasional.

***