Inilah kehebatan nelayan kita. Pandai berdebat dengan logika yang membuat polisi negara tetangga menjadi mampet.
Suatu hari, sang nelayan sedang asyik mencari ikan di laut. Tanpa dia sadari, dia telah memasuki wilayah laut negara tetangga. Dengan cepat, patroli polisi negara tetangga mengetahui dan mendekati sang nelayan.
"Selamat siang... Anda kami tangkap!". Nelayan pun kaget, "Apa salah saya?". Seorang polisi berkata : "Anda masuk wilayah kami dan Anda telah mencuri ikan-ikan negara kami."
Dengan mata mendelik dan sedikit marah, nelayan itu menjawab, "Siapa bilang saya mencuri ikan. Saya tidak mencuri ikan-ikan negaramu. Saya tadi menangkap ikan di laut dekat kampung saya. Ternyata ikannya lari kesini. Saya kejar. Dan ini ikannya sudah berhasil saya tangkap." "Nih, lihat.." kata nelayan kepada Polisi sambil menunjukkan ikan tangkapannya.
Polisi-polisi itu bingung, garuk-garuk kepala...
(Diadaptasi dari cerita humor yang disampaikan Cak Nun di suatu kesempatan)
Pria diburu oleh keabadian, dan kita bertanya pada diri sendiri, …akankah sikap kita dikenang hingga berabad kemudian? …akankah orang asing yang mendengar nama kita lama setelah kita mati, ingin tahu siapa kita, betapa gagah berani kita berperang, betapa besar kita mencintai…” (opening – film TROY)
Jumat, 04 Juli 2014
Kamis, 03 Juli 2014
Sang Nelayan
Suatu hari, seorang nelayan sedang mencari ikan di laut. Sudah berjam-jam, belum juga seekor ikan yang berhasil dia tangkap. Mulailah ia berdoa. "Oh Tuhan, berilah aku ikan, lima saja... satu untuk diriku, satu untuk istri dan tiga untuk masing-masing anakku..". Berulang-ulang dia berdoa, namun belum juga dia berhasil mendapatkan ikan.
Dengan sedikit kesal, ia berdoa kembali dengan doa yang sedikit mengancam. "Tuhan, kalau Engkau tak memberiku ikan, aku tak mau lagi taat kepada-Mu, maka berilah aku ikan, lima saja, Tuhan..". Tiba-tiba, meloncatlah lima ikan ke dalam perahunya.
Nelayan itu senang, tetapi belum merasa puas. "Tuhan.., masak lima beneran... katanya Engkau Rahman Rahim..., berilah aku ikan yang lebih banyak, Tuhan...". Maka, meloncatlah puluhan bahkan ratusan ikan ke dalam perahunya.
Dengan gembira sang nelayan kembali ke pantai dan menambatkan perahunya. Tiba-tiba, dilihatnya asap membumbung tinggi di kejauhan dari lokasi kampungnya. Dia segera bergegas kembali ke rumah. Ditengah jalan dia melihat orang-orang kampung yang berlari menghampirinya, dan berkata :"Hei.. itu rumahmu kebakaran... rumahmu terbakar...". Nelayan itu kaget bukan kepalang. Dengan berkacak pinggang, wajah menghadap keatas dan tangan yang menunjuk-nunjuk, dia berlantang : "Tuhan, kenapa masalah di laut, Kau bawa-bawa ke darat...".
(Diadaptasi dari cerita humor yang disampaikan Cak Nun di beberapa kesempatan)
***
Dengan sedikit kesal, ia berdoa kembali dengan doa yang sedikit mengancam. "Tuhan, kalau Engkau tak memberiku ikan, aku tak mau lagi taat kepada-Mu, maka berilah aku ikan, lima saja, Tuhan..". Tiba-tiba, meloncatlah lima ikan ke dalam perahunya.
Nelayan itu senang, tetapi belum merasa puas. "Tuhan.., masak lima beneran... katanya Engkau Rahman Rahim..., berilah aku ikan yang lebih banyak, Tuhan...". Maka, meloncatlah puluhan bahkan ratusan ikan ke dalam perahunya.
Dengan gembira sang nelayan kembali ke pantai dan menambatkan perahunya. Tiba-tiba, dilihatnya asap membumbung tinggi di kejauhan dari lokasi kampungnya. Dia segera bergegas kembali ke rumah. Ditengah jalan dia melihat orang-orang kampung yang berlari menghampirinya, dan berkata :"Hei.. itu rumahmu kebakaran... rumahmu terbakar...". Nelayan itu kaget bukan kepalang. Dengan berkacak pinggang, wajah menghadap keatas dan tangan yang menunjuk-nunjuk, dia berlantang : "Tuhan, kenapa masalah di laut, Kau bawa-bawa ke darat...".
(Diadaptasi dari cerita humor yang disampaikan Cak Nun di beberapa kesempatan)
***
Selasa, 01 Juli 2014
Pendekkanlah Khutbah
Dulu, ada
satu majalah yang cukup terkenal yang sekarang sepertinya sudah tiada. Ada satu
tulisan yang saya selalu mengingatnya, meski tak lengkap. Hanya sebuah kesimpulan
yang akan saya coba urai dengan kalimat saya sendiri secara singkat.
Tulisan tersebut
menceritakan : ada sebuah masjid di Yogyakarta yang setiap hari Jumat Wage
(saya tidak terlalu ingat persisnya), selalu ramai dengan jamaah sholat Jumat
bahkan sampai tumpah ke halaman. Dan itu tidak terjadi pada Jumat lainnya. Usut
punya usut ternyata khotib hari Jumat tersebut menyampaikan khutbah cukup
singkat. Dan itulah yang disenangi dan menarik minat jamaah.
Saat ini, yang
terjadi adalah sebaliknya. Terutama di beberapa masjid di kota-kota besar. Khotib
terlalu bersemangat untuk menyampaikan dakwah sehingga kurang mampu menahan
diri untuk berlama-lama. Akibatnya, sebagian jamaah tertidur lelap. Maka, ada
anekdot yang berkembang : kalau sedang insomnia, obatnya gampang, dengarkan
khutbah Jumat.
Ada juga
khotib yang pada bagian awal menyampaikan dalil-dalil agar jamaah tidak tidur
sewaktu mendengarkan khutbah. Dia begitu percaya diri, bahwa apa yang akan
disampaikan menarik minat jamaah untuk mendengarkan. Anehnya, dia malah
berpanjang-panjang dalam khutbahnya bahkan melebihi 30 menit. Sebagian jamaah
tertidur lelap, sebagian menggerutu. Tidurnya jamaah tidak hanya dipengaruhi
faktor internal dari diri jamaah tetapi juga karena faktor eksternal. Tidur merupakan
satu-satunya respon atas apa yang ada di sekitarnya disaat tak lagi ada pilihan
respon lain. Sebagus apapun materi yang dia sampaikan tetapi jika terlalu lama,
tentu akan mengurangi kebaikan atas apa yang disampaikan.
Sejatinya,
Rasul SAW sudah mengingatkan akan hal ini. Bagaimana khutbah dan sholat Jumat
yang dianjurkan.
“Sesungguhnya panjang shalat seseorang dan
khutbahnya yang pendek menjadi tanda dari kedalaman pemahaman agamanya. Maka
panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah. Sesungguhnya sebagian dari
kata-kata itu ada yang bisa menjadi sihir.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat
lain, “Beliau tidak memanjangkan khutbah
pada hari Jum’at. Sesungguhnya khutbah beliau hanya ucapan-ucapan yang pendek
saja.” (HR. Muslim)
Saya kira,
sebenarnya para khotib pasti sudah mengetahui hadist tersebut. Saya menduga, mengapa
mereka memanjangkan khutbah, karena ada kaitannya dengan honor yang diberikan oleh
pengurus masjid. Saya menduga mereka berusaha memantaskan durasi khutbah dengan jumlah honor
yang mereka terima. Dan ini saya kira yang menjadi persoalan khususnya di
kota-kota besar, dimana di beberapa masjid memberikan honor bagi khotib sholat Jumat.
Maka dalam
hal ini, menjadi tugas pengurus masjid untuk memberikan rambu-rambu bagi para
khotib tentang durasi waktu. Dengan apa yang disampaikan oleh pengurus, para
khotib menjadi tahu seberapa lama mereka membatasi khutbah Jumatnya.
Begitu juga
dengan ceramah tarawih maupun kuliah subuh yang sedang marak di bulan ramadhan.
Sebaiknya para penceramah berdisiplin dengan waktu yang diberikan. Kalau memang
kultum, ya cukup 7 menit, tidak lebih. Penceramah juga agar lebih bisa menahan
diri. Jangan kemudian menjadi bumerang yang berakibat kejenuhan dan kejengkelan
jamaah. Sehingga, alih-alih memberikan pencerahan malah membuat jamaah menjadi
malas atau beralih ke masjid lain yang menurut mereka lebih kondusif.
Wallahu a’lam bishowab.
***
Langganan:
Postingan (Atom)