Konon, Mbah Kyai yang juga imam masjid di dusun
Beluk adalah seorang Wali. Hubungannya dengan Tuhan sudah sangat dekat. Ibaratnya
sudah friend, kata anak muda
sekarang.
Sore itu, seorang Ustadz muda lewat dusun Beluk
menuju dusun sebelah untuk berceramah di acara pengajian. Karena sudah maghrib,
ia mampir di masjid dusun Beluk untuk menunaikan sholat.
Tak banyak informasi yang ia miliki tentang
Mbah Kyai, yang maghrib itu mengimami sholat.
Melihat gaya Mbah Kyai mengimami, berkali-kali
hatinya mengucap istighfar.
“Astaghfirullah… masak mengimami sholat
seperti ini,” batin sang Ustadz.
Mbah Kyai begitu santai melafalkan Fatihah
yang diselingi dengan suara batuk dan dehem. Sesekali Mbah Kyai memutar
pinggangnya ke samping kiri dan kanan. Di lain waktu, tangan Mbah Kyai
garuk-garuk punggung bahkan lehernya dipatahkan ke kanan dan kiri seperti
gerakan senam SKJ. Betul-betul sangat santai. Seolah-olah seperti bermain-main.
Kira-kira begitu menurut pikiran sang Ustadz. Padahal, baginya menghadap Tuhan
harus dengan sikap tunduk, tawadhu’ dan tenang, bukan dengan sikap dan tingkah
yang dipertontonkan oleh Mbah Kyai.
Sepanjang waktu sholat, sang Ustadz tak bisa
khusu’ dan terus-menerus memikirkan sikap dan bacaan Mbah Kyai. Pada duduk
tasyahud akhir, hatinya memohon pada Tuhan.
“Tuhan, sungguh aku tak bisa khusu’ dengan
sholat ini. Tapi untuk sopan santun, biarlah aku menyelesaikan sholatku bersama
imam ini. Engkau tak mungkin menerima sholatku ini. Selesai salam, aku akan
mencari mushola lain untuk kembali melaksanakan sholat maghrib.”
Setelah merampungkan sholat, sang ustadz mulai
beranjak dari duduk. Tiba-tiba, terdengar suara membentak dari Mbah Kyai.
“Hei…anak muda, Tuhan saja ndak cerewet, kamu
kok cerewet!”
Sang Ustadz kaget bukan kepalang. Ternyata
Mbah Kyai itu tahu tentang semua yang ia pikirkan tadi. Ia pun lari
terbirit-birit.
***