Hari-hari ini terasa sungguh melecehkan bagi sebagian besar rakyat
yang dihidup di alam nyata. Disaat rakyat bergelut dengan kekeringan, kabut
asap, inflasi harga kebutuhan pokok, ternyata berita yang heboh tidak lebih
dari sekedar urusan politik dan bagi-bagi kursi. Dan sungguh naïf, ribut-ribut
politik yang muncul di media massa atau televisi, hampir-hampir semua berasal
dari postingan, ocehan, serta rumor yang beredar di alam maya, di media sosial.
Berapa sebenarnya presentase pengguna media social? Saya kira hanya mereka yang
terhubung dengan internet saja. Sementara masih banyak rakyat negeri ini yang
belum mengecap manfaat internet.
Anehnya, kita mempersepsikan seolah-olah apa yang berkembang di media
sosial adalah aspirasi rakyat. Padahal sesungguhnya bukan.
Jika ditelisik, media sosial sebenarnya tak lebih dari suara-suara
yang kadang tidak bertanggung jawab atas informasi yang dibagikan. Karena memang
itulah kelebihan dari media sosial yang tanpa perlu berhadapan langsung dengan audience, bisa menembakkan amunisi tanpa
harus peduli bahwa itu menyakitkan, membunuh dan menghabisi pihak lain. Tak
sedikit yang menganggap bahwa itu adalah pekerjaan para pecundang yang tidak
berani hadir dan bersuara di depan massa. Akun anonim berkembang, akun-akun
palsu yang menyebar fitnah juga menyeruak.
Yang lebih memprihatinkan adalah orang dengan enteng dan senang mem-bully pihak lain. Belum lagi dengan ulah
media mainstream yang ikut-ikutan
memberitakan hingga akhirnya berkembang di masyarakat dan mempengaruhi opini
publik. Kira-kira begitulah yang terjadi saat ini. Semua hanya berasal dari
rumor di media sosial yang kemudian diangkat oleh media mainstream dan jadilah
konsumsi masyarakat.
Sesuatu yang sebenarnya kecil tetapi dibesar-besarkan hingga kemudian
menjadi besar, namun sesungguhnya wujud nyatanya tetap saja kosong. Tak berarti
sama sekali bagi kehidupan masayarakat, tak punya relevansi bagi kesejahteraan
mereka. Karena yang terjadi sebenarnya hanya olok-olok, gurauan yang tidak
serius dan ditanggapi dengan sangat serius oleh pihak lain.
Boleh jadi semua berawal dari kalimat “Kita bikin rame!”. Dan akhirnya
memang menjadi heboh dan menyebar bagai epidemi yang merusak sendi-sendi
kesehatan jiwa masyarakat.
Maka, adalah kewarasan nalar yang mampu menyaring semua berita dan
informasi, apakah ini berguna, bermanfaat bagi kehidupan ataukah hanya sampah
yang hanya memenuhi otak kiri dan mengotori otak kanan.
Ungkapan “kata-kata bukanlah bendanya” menjadi sangat relevan untuk
menetralisir semua berita dan rumor yang berkembang. Itu menjadi saringan bagi
otak dan pikiran kita dan tidak secara otomatis menganggap bahwa apa yang kita
dengar, informasi yang kita baca dan video yang kita lihat adalah kenyataan
sebenarnya. Bahkan video pun hanya berupa potongan peristiwa karena
keterbatasan durasi dan tidak menayangkan secara utuh sebuah peristiwa. Itu pun
hanya dari satu sudut karena keterbatasan teknologi yang belum mampu merekam dan
menampilkan seluruh dimensi.
Tujuan dari semuanya adalah kemenangan atas perang opini. Ketika kita
menerima dan bertekuk lutut atas opini yang dikembangkan media, maka
sesungguhnya kita telah kehilangan tenaga, tak mampu lagi berpikir, kehilangan
prioritas hidup dan tak sanggup lagi melawan arus. Dan kita pun hanyut bagaikan
sampah.
***