Sejak lama, pengelolaan APBN secara transparan menjadi
tuntutan masyarakat. Dan kunci transparansi tersebut adalah data dan informasi
realisasi APBN. Bukan hanya di muara atau setelah tutup tahun anggaran, tetapi
bagaimana data dan informasi tersebut bisa tersaji sejak mulai dan sepanjang
pelaksanaan APBN. Sehingga, upaya monitoring, kontrol masyarakat serta
pencegahan penyelewengan dapat dilaksanakan dengan baik.
Bagaimana mewujudkannya?
Saya kira ada beberapa kondisi dimana salah satu instansi vertikal Kementerian
Keuangan yaitu Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) bisa mengambil peran
tersebut.
Pertama, Sejak Indonesia merdeka, KPPN mengelola pengeluaran dan penerimaan negara di setiap wilayah
masing-masing. Tetapi adakah data yang di-publish, kemudian menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan evaluasi pembangunan di daerahnya? Kurun waktu terakhir telah digagas adanya Kajian Fiskal Regional (KFR). Ini merupakan langkah maju. Namun, saya kira tidak hanya terbatas pada bentuk kajian, dimana kita tahu kajian hanya menjadi konsumsi khalayak tertentu.
Kita menghendaki adanya peran KPPN yang bisa langsung dirasakan oleh
masyarakat setempat. Data-data yang dimiliki oleh KPPN sejatinya bisa menjadi
sangat bermanfaat dalam berbagai aspek pembangunan setempat. Cukup data mentah,
tak harus dalam bentuk kajian. Data realisasi dapat digunakan: sebagai bahan evaluasi; sebagai
bahan pengawasan masyarakat atas pelaksanaan APBN di daerah dan sebagai kontrol bila terjadi penyelewengan.
Riilnya seperti ini. Ada baiknya KPPN diberikan tugas baru, misalnya setiap triwulan merilis data pengeluaran
dan penerimaan di wilayahnya. Data-data apa
saja dan bagaimana rinciannya? Bisa kita pikirkan
belakangan. Paling tidak memenuhi
tiga aspek fungsional diatas.
Ada banyak cara untuk merilis data. Bisa melalui website, media massa setempat atau media tulis milik sendiri seperti bulletin atau newsletter. Saya membayangkan dampak dari rilis data tersebut. Kira-kira seperti ini. Pelaksanaan APBN menjadi transparan, satker tidak bisa lagi “macam-macam” dan satker
yang realisasi DIPA-nya masih rendah dapat didorong untuk segera menggerakkan
kegiatannya.
Kedua, coba sekarang silakan bertanya kepada masyarakat setempat. Tahukah mereka proyek apa saja yang tahun ini dibiayai oleh APBN? Saya kira sedikit saja yang tahu. Lantas, bagaimana
mereka dapat mengawasi dan berperan bahkan merasakan manfaat langsung dari proyek-proyek tersebut?
Misalkan, ada kelompok tani, yang saya kira perlu mendapat
informasi bahwa tahun ini di Dinas Peternakan ada proyek bantuan bibit ternak. Iya, kalau Dinas selaku pelaksana
kegiatan bisa aktif menjalin komunilkasi, bagaimana jika sebaliknya.
Lebih-lebih jika oknum Dinas pengelola proyek punya
interest pribadi hanya ditujukan pada kelompok atau keluarga mereka saja. Sehingga, informasi keberadaan proyek tersebut hanya
disampaikan kepada kalangan tertentu.
Nah, disinilah peran itu bisa diambil
oleh KPPN. KPPN benar-benar menjadi media center proyek-proyek APBN. Taruhlah
KPPN tidak sampai ke detil, cukup pada informasi global.
Ketiga, sekarang
ini ada kondisi seperti ini. Tunjangan profesi guru non PNS seperti guru non PNS Madrasah
(MI, MTS, MA) dibayarkan tidak secara rutin setiap bulan. Tetapi bisa dirapel. Bagaimana masyarakat mengetahui kalau tunjangan profesi itu sebetulnya sudah dibayarkan? Atau belum dibayarkan? Barangkali Anda akan menjawab seperti ini:
“Bukankah sekarang
pembayaran harus melalui rekening penerima masing-masing. Jadi,
tinggal dilihat di rekeningnya, apakah sudah masuk
aliran dana tunjangan atau belum?”
Oke, bisa seperti itu. Tapi,
kadang ada pihak-pihak yang nakal dan malas, kemudian beralasan bahwa pembayaran (SPM) sudah diajukan ke KPPN dan belum diproses oleh KPPN. Jika seperti
itu, siapa yang dirugikan? Tentu, citra KPPN menjadi buruk.
Nah, solusinya adalah
rilis data diatas. “Ini lho daftar sekolah yang
belum membayarkan tunjangan profesi guru.” Dengan demikian, secara tidak langsung KPPN juga
ikut mendorong agar pembayaran dan hak-hak masyarakat dapat segera ditunaikan
dan tidak ditunda-tunda dengan alasan
yang mengada-ada. Bisa
jadi kemudian ditemukan masalah apa sebenarnya yang dihadapi oleh satker,
mengapa lama sekali tidak dibayarkan? Apakah ada kesalahan
akun atau pagu yang sudah menipis? Pada akhirnya, KPPN bisa
memberikan saran
atau solusi.
Ada juga kondisi seperti ini. Kadangkala beberapa tunjangan dibayarkan kepada PNS melalui
rekening bendahara. Nah, adakalanya bendahara tidak secara langsung dan tidak dengan cepat menyalurkan tunjangan tersebut kepada PNS dengan alasan tertentu atau karena “kenakalan
remaja”. Mengapa KPPN tidak merilis saja informasi ini? Artinya, setiap bulan KPPN menyampaikan data ke
publik. “Ini lho satker yang sudah mengajukan pembayaran uang
makan, rapel kenaikan
gaji, gaji 13, dsb.” Dengan demikian, masyarakat luas dapat merasakan peran langsung
KPPN dengan rilis informasi yang berharga tersebut.
Termasuk dalam
hal ini adalah rilis data dana bantuan
yang disalurkan kepada kelompok masyarakat di desa dan kecamatan untuk
pembangunan infrastruktur atau bantuan sosial lainnya. Dengan informasi yang
jelas dan secara resmi dikeluarkan oleh KPPN, saya kira akan menjadi
nilai tambah bagi eksistensi KPPN di daerah.
Keempat, KPPN juga melakukan penatausahaan penerimaan
negara. Meski sekarang adalah masa transisi ke arah penatausahaan penerimaan secara terpusat, tetapi masih
ada kesempatan bagi KPPN untuk merilis data penerimaan negara yang
dikelola oleh KPPN. Siapa wajib pajak setempat yang
sudah bayar pajak, siapa perusahaan tambang yang sudah
membayar royalti, dsb. Tentu yang dipilih adalah data penerimaan dengan
nilai yang signifikan.
Kelima, apalagi dasar hukum untuk
merilis data sudah tersedia. Terbitnya UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
menjadi peluang bagi KPPN untuk mengambil peran yang diamanatkan oleh UU
tersebut.
***