#Seri_Etika
Pukul enam
petang, Kereta Senja berangkat. Sepuluh menit sebelumnya adzan maghrib
berkumandang. Mushola stasiun sudah dipenuhi penumpang. Masih cukup waktu untuk
sholat maghrib dan isya’ dijamak qashar.
Melihat
seseorang maju sebagai imam, firasatku mulai tidak enak. Dari tampilannya, aku
menduga ia sedang bersemangat berdakwah, sehingga pada setiap kesempatan mesti
memberi teladan. Begitu kira-kira pemikiran pada pendakwah.
Dan benar.
Ia membaca Fatihah perlahan dan berusaha mengkhusyu-khusyukan.
“Astaghfirullah!” Kekagetanku belum berhenti. Ia lalu membaca
surat As-Shaf.
“Waduh, gawat, bisa ditinggal kereta nih,”
batinku.
Aku melepaskan diri dari jamaah, kupercepat
bacaan dan gerakan sholatku. Selesai sholat maghrib, kulanjutkan dua rakaat
sholat isya. Selesai salam, kusambar ransel dan bergegas naik ke kereta.
Kulihat,
sang imam baru rakaat ketiga. Tak ada lagi yang makmum dibelakangnya.
***