Seri Teknik Perbendaharaan (8)
Pintu-Pintu
KKN dalam Sistem Pelaksanaan APBN Selama Ini (pada saat tulisan ini disusun)
Dari
uraian di tulisan bagian pertama, dapat kita telusuri pintu-pintu dalam sistem
pelaksanaan APBN yang digunakan untuk melakukan korupsi dan manipulasi.
Pintu
pertama, perlu diketahui bahwa DIK/DIP/SKO yang menjadi
dasar pelaksanaan APBN disahkan setelah melewati masa pengusulan dari
departemen teknis dan pembahasan antara departemen teknis, Departemen Keuangan dan
Bappenas. Tak jarang untuk mendapatkan dana yang besar atau meng-gol-kan sebuah
proyek, departemen teknis melakukan upaya suap kepada pihak Bappenas dan Departemen
Keuangan. Dan gayung pun bersambut.
Pintu
kedua, masih dalam tahap pembahasan yaitu munculnya
proyek nonfisik yang kegiatannya berupa konsultasi, monitoring, evaluasi atau istilah lain
yang hanya merupakan perjalanan dinas. Sementara itu sangat mudah melakukan
manipulasi pada Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) dengan memperbesar
jumlah hari perjalanan dinas, padahal faktanya hanya 1 hari saja. Bahkan tak
jarang satu orang yang melakukan perjalanan dinas dengan membawa setumpuk SPPD
teman-temannya atau atasannya untuk dimintakan tanda tangan dari pejabat kantor
yang didatangi.
Pintu
ketiga, yaitu pada tahap pelaksanaan pencairan dana
penggantian UYHD. Sebagaimana mekanisme UYHD diatas, salah satu lampiran SPP-GU
adalah kwitansi untuk pengeluaran Rp. 1,5 juta keatas. Pada saat sekarang
membuat kwitansi bukan merupakan pekerjaan yang sulit, bahkan tanpa melakukan
transaksi jual beli kita bisa mendapatkan kwitansi yang sempurna lengkap dengan
cap stempel dan tanda tangan pemilik toko. Atau kalau tidak mau repot, bikin
stempel dan tanda tangan sendiri. Ada juga yang lebih bagus "permainannya"
yaitu dengan melakukan mark up nilai
pengadaan. Dalam hal ini KPKN tidak dapat berbuat banyak karena penelitian/pemeriksaan
yang dilakukan hanya sebatas pada kebenaran administrasi dan tidak berlanjut
pada pemeriksaan fisik. Jika sudah ada kwitansi dan benar pengisiannya maka
sudah dianggap benar dan sah pertanggungjawabannya, meski sebenarnya penggunaan
dana tersebut tidak sesuai.
Pintu
keempat, sama seperti kwitansi diatas yaitu adanya
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB). Awal munculnya SPTB adalah
untuk mempermudah proses pemeriksaan oleh KPKN. Namun telah digunakan sebagai
jalan melakukan manipulasi. Dengan adanya SPTB sampai dengan kurang dari Rp.1,5
juta membuat orang lebih senang menggunakannya. Apa susahnya membuat SPTB
dengan format yang juga mudah dipahami dan mudah pengisiannya. Pembelian barang
yang hanya Rp. 100 ribu dapat saja kita tulis menjadi Rp. 900 ribu. Adalah hal
yang tidak sulit melakukannya. Adanya SPTB telah mempengaruhi para bendaharawan
untuk melakukan upaya menghindari pajak dengan jalan memecah kwitansi sehingga
menjadi kurang dari Rp. 1 juta untuk beberapa kwitansi (untuk nilai dibawah
satu juta, tidak ada kewajiban untuk memungut pajak). Untuk mengecoh KPKN, pengajuan
SPP-nya dibuat terpisah atau selang beberapa waktu kemudian.
Pintu
kelima, yaitu terkait dengan masalah pembayaran
langsung yang mempersyaratkan adanya kontrak. Praktek kolusi antara pimpro
dengan rekanan sering terjadi. Untuk mempercepat pencairan dana dari KPKN, tak segan-segan pimpro berani
mengeluarkan berita acara penyelesaian pekerjaan meski sebenarnya pekerjaan
belum selesai.
Pintu keenam, ini masih terkait dengan pelaksanaan proyek yang dikerjakan oleh rekanan/kontraktor. Yang banyak terjadi di lapangan adalah manipulasi data lelang. Artinya, sebenarnya proyek tersebut secara riil tidak pernah dilakukan proses pelelangan. Namun data-data yang terlampir dalam dokumen kontrak menunjukkan proses pelelangan. Sehingga yang terjadi adalah lelang fiktif. Cara lainnya adalah dari beberapa rekanan yang mengajukan penawaran telah diatur sedemikian rupa sehingga yang memenangkan proses tender adalah rekanan tertentu. Dan hal ini terjadi dengan persetujuan pemimpin proyek.
(Bersambung.......)
Pintu keenam, ini masih terkait dengan pelaksanaan proyek yang dikerjakan oleh rekanan/kontraktor. Yang banyak terjadi di lapangan adalah manipulasi data lelang. Artinya, sebenarnya proyek tersebut secara riil tidak pernah dilakukan proses pelelangan. Namun data-data yang terlampir dalam dokumen kontrak menunjukkan proses pelelangan. Sehingga yang terjadi adalah lelang fiktif. Cara lainnya adalah dari beberapa rekanan yang mengajukan penawaran telah diatur sedemikian rupa sehingga yang memenangkan proses tender adalah rekanan tertentu. Dan hal ini terjadi dengan persetujuan pemimpin proyek.
(Bersambung.......)