“Kalau sampeyan
kerja dimana?” tanya seorang Bapak yang baru saya kenal di Kereta. Dia balas
bertanya setelah sebelumnya saya berusaha selidik tentang profesinya dan dengan
tekun saya mendengarnya.
“Di KPPN, Pak…”
“Di Koperasi Para Pegawai Negeri itu…,”
katanya. Saya agak kesal mendengarnya.
“Oh, bukan… KPPN itu Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara…., bla…bla….bla…,
dst…
Saya terpaksa harus menjelaskan dengan susah
payah, karena ketika saya sebut Kementerian Keuangan, Bapak itu masih saja
beranggapan kalau saya bekerja di kantor yang sama dengan si Gayus.
“Lain, Bapak…mereka di sisi penerimaan,
sedangkan kami di sisi pengeluaran. KPPN mengelola APBN, memproses permintaan
pencairan anggaran milik instansi pusat dan menyalurkannya kepada yang berhak.”
“Bapak tahu, kantor yang menatausahakan dan
menyusun laporan penerimaan dan pengeluaran Negara?”
“Apakah Bapak paham, tunjangan sertifikasi
guru madrasah, para dosen, professor dimana dicairkan?”
“Kalau di daerah Bapak ada proyek pembangunan
jalan atau gedung yang dibiayai APBN, tahukah Bapak, kantor mana yang menyalurkan
pembayaran dananya ke kontraktor?”
Bertubi-tubi saya berondong orang itu dengan
pertanyaan retoris.
Orang itu menggeleng. Sepertinya dia tidak
pernah kepikiran atas pertanyaan-pertanyaan yang tadi saya lontarkan.
“Itulah sebagian kerja kami…”
“Lebih jelasnya lagi: gaji setiap bulan para
polisi, jaksa, hakim dan seluruh PNS pusat dibayarkan melalui KPPN, termasuk gaji
ke-13 dan juga remunerasinya.”
“Wah, di kantor sampeyan ada banyak uang, dong?”
“Ya, ndak,
Pak…kami hanya berurusan dengan angka-angka, sedangkan uangnya tetap melalui
perbankan. Pembayaran kepada yang berhak hampir semuanya melalui rekening
bersangkutan.
“Oh, begitu… sebentar, tadi sampeyan bilang KPPN ngurusin juga penerimaan Negara. Apakah termasuk pajak dan bea cukai?” tanya
Bapak itu. Dia beringsut dari tempat duduk makin mendekati saya. Dia terlihat
penasaran.
“Betul, Pak… sementara teman-teman di Kantor
Pajak dan Bea cukai bekerja keras menggali potensi penerimaan Negara, kami juga
tak kalah keras melakukan penatausahaan, pembukuan dan pelaporan penerimaan
Negara itu. Satu rupiah pun kami persoalkan ke pihak bank jika mereka belum atau
terlambat melimpahkan ke rekening kas Negara.”
“Ups…maaf,
terlalu teknis…, kira-kira seperti itulah kerja kami.”
“Tahukah Bapak, sebenarnya dari pencairan
dana APBN itu, ada juga yang namanya potongan pajak?”
“Dan kamilah yang mengurusinya….,” buru-buru
saya jawab sendiri pertanyaan itu.
“Hebat ya.. kantor sampeyan,” ujarnya.
Saya mengernyitkan dahi. Saya kurang paham,
maksud hebat dari pernyataan Bapak itu.
“Berarti, tunjangan sampeyan sama dong dengan
orang-orang Pajak seperti yang diberitakan itu?” selidiknya.
Saya hanya tersenyum…., lalu menggeleng. Saya
tahu Bapak itu tidak percaya. Dia pasti mengira saya merendah diri.
“Sampeyan
sudah punya istri?” cecarnya lagi.
Saya terdiam. Sebelum pertanyaan di paragraf pertama
diatas, Bapak itu dengan bangganya menunjukan foto anaknya yang cantik yang
telah diwisuda.
Saya jadi ge-er….
Tiba-tiba saya terjaga. Mimpi itu terlalu
nyata.
***