Setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor
113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara,
Pegawai Negeri dan Pegawai Tidak Tetap, ternyata ada beberapa kalangan yang
awas membaca peraturan tersebut.
Diantaranya adalah pasal 17 ayat (2), yang menyatakan bahwa
Perjalanan Dinas Pindah dilakukan, salah satunya dalam rangka : pemulangan
pejabat negara/pegawai negeri yang diberhentikan dengan hormat dengan hak
pensiun atau mendapat uang tunggu dari tempat kedudukan ke tempat tujuan
menetap. Dalam pasal 20 ayat (1) menjelaskan bahwa komponen biaya yang
diberikan untuk perjalanan dinas pindah tersebut meliputi : biaya transpor
pegawai, biaya transpor keluarga yang sah, uang harian dan atau biaya
pengepakan dan angkutan barang. Dan sesuai pasal 18 ayat 2, biaya tersebut
dibayarkan secara lumpsum.
Apakah ketentuan diatas, merupakan sesuatu yang baru? Ternyata
tidak juga, ketentuan tersebut sudah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
Nomor 7/KMK.02/2003 Tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara,
Pegawai Negeri Sipil Dan Pegawai Tidak Tetap, yang
telah dicabut dengan berlakunya PMK diatas. Dalam KMK tersebut telah mengatur
hal yang sama.
Pada pasal 6 ayat (4) KMK No.7/KMK.02/2003, menjelaskan : Dalam
perjalanan dinas pindah termasuk pula perjalanan
dinas yang dilakukan dalam hal : pemulangan dari Tempat Kedudukan yang terakhir ke
tempat hendak menetap bagi Pejabat Negara atau Pegawai Negeri Sipil yang
diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun atau mendapat uang tunggu. Berikutnya pasal 7 ayat (1), menjelaskan : Biaya perjalanan dinas terdiri dari : biaya transpor pegawai, biaya transpor
keluarga, biaya pengepakan, penggudangan, dan angkutan
barang-barang, uang harian yang mencakup biaya penginapan, biaya makan,
biaya angkutan setempat dan uang saku. Dan
dalam pasal selanjutnya menegaskan bahwa biaya perjalanan tersebut dibayarkan
secara lumsum dan merupakan batas tertinggi.
Nah, sejak terbitnya KMK itu dan selama KMK itu berlaku,
sepertinya tidak ada yang menyadari ketentuan tersebut. Buktinya, di salah satu
eselon I suatu kementerian tetap berpedoman pada SE DJA SE-180/A/1999 tanggal 5
Nopember 1999 perihal Peninjauan Kembali Perhitungan Satuan Biaya Pindah
Menetap Karena Pensiun, dimana biaya perjalanan pindah dari instansi terakhir
bertugas ke tempat/daerah menetap untuk menjalani masa pensiun diberikan kepada
pegawai yang telah memasuki masa purna tugas/ pensiun, setinggi-tingginya Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) TMT. 1 Januari 2000.
Memang ada yang berpendapat seharusnya SE DJA tersebut sudah tidak
dapat dijadikan pedoman dengan berlakuknya KMK diatas. Tapi, ya sudahlah, itu
mungkin suatu perdebatan yang tidak ada gunanya lagi…
Nah, kemudian agar ketentuan dalam PMK 113/PMK.05/2012 tidak
kontraproduktif dan disalahgunakan (berpotensi fraud), langkah apa yang
harus dilakukan? Maksudnya begini : pegawai bisa saja sebelum pensiun
menyatakan untuk pindah ke kota lain dengan maksud agar mendapatkan biaya
pindah menetap.
Maka kemudian, dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-22/PB/2013 tentang Ketentuan
Lebih Lanjut Pelaksanaan Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara,
Pegawai Negeri, Dan Pegawai Tidak Tetap, diberikan definisi tentang tempat tujuan menetap, sebagaimana pada
pasal 14 ayat 2 yaitu tempat tujuan
menetap adalah : Kota tempat pengangkatan pertama sebagai Pegawai
Negeri/Pegawai Tidak Tetap; atau Kota tempat kelahiran Pegawai Negeri/Pegawai
Tidak Tetap yang dibuktikan dengan akta kelahiran.
Namun, peraturan tersebut belum secara teknis
menjelaskan tatacara atau mekanisme pemberian biaya pindah menetap ini. Untuk
itu, bagi kementerian atau eselon I yang memang selama ini menerapkan pola
mutasi nasional, perlu untuk menerbitkan suatu ketentuan internal, bisa dalam
bentuk surat edaran yang menjelaskan tatacara pemberian biaya pindah menetap. Dan
itu sepertinya akan dimulai oleh Ditjen Perbendaharaan.