Suatu hari, seorang Kyai memerintahkan anaknya untuk mencari makhluk yang paling buruk dan membawanya kehadapannya. Maka, berangkatlah sang anak mencari makhluk Tuhan yang paling buruk tersebut. Datanglah ia ke wanita tuna susila, karena dialah makhluk yang penuh gelimang dosa. Tetapi, sesaat kemudian dia berpikir, jika perempuan itu bertobat, maka ia tak lagi sebagai makhluk yang buruk. Kemudian, didatanginya penjara dimana penuh dengan para penjahat, pembunuh, koruptor, dll. Lagi-lagi, ia berpikir, kalau mereka ini bertobat, maka mereka pun bukan makhluk yang buruk. Selalu saja ada kemungkinan untuk menjadi baik.
Segera ia
berpaling dan kembali mencari makhluk yang paling buruk. Kemudian ia menemukan
seekor anjing buluk, kudisan. Ia berpikir kiranya inilah makhluk paling buruk
karena anjing itu najis dan ditambah badannya yang penuh kudisan. Maka, ia pun
mengikat anjing tersebut dan menyeretnya untuk dibawa kehadapan Sang Kyai.
Di tengah
perjalanan, kembali ia berpikir, apa salah anjing ini, sehingga ia
menganggapnya sebagai makhluk paling buruk. Kemudian ia melepaskannya. Dalam perenungannya,
tiba-tiba ia terperanjat, mengapa selama ini ia berpikir tentang makhluk lain
di luar dirinya, mengapa ia tidak memikirkan tentang dirinya. Sudah sedemikian
baguskah dirinya sehingga berpikiran bahwa makhluk paling buruk itu selain
dirinya.
Ia pun
pulang dan bertemu ayahnya. Berceritalah ia tentang perjalanannya dan kemudian
ia berkata bahwa makhluk paling buruk itu adalah dirinya. Bahwa semua Nabi pun menyebut
diri mereka sebagai dzalim. Sebagaimana Doa Nabi Yunus : “Laa ilaaha illa anta. Subhaanaka, innii kuntu minaz zhaalimiin”.