Setiap awal
ramadhan, saya selalu teringat masa kecil di kampung. Kami menyambutnya dengan
penuh suka cita. Saya sudah membayangkan takjil : kolak, pisang goreng, heci (bakwan) dan umbi-umbian. Makanan juga
lebih lezat dan bergizi dibandingkan hari biasa. Ada juga kue (puluran/jlaburan) di mesjid setiap
malam sehabis sholat tarawih.
Diawali malam
puasa pertama, setiap keluarga membawa makanan (ambengan) ke mesjid untuk acara kenduri. Ini bagian dari tradisi megengan. Sehabis tarawih, tahlil dan
doa bersama, kami makan bersama di serambi masjid dengan berkerumun 3 sampai 4
orang pada setiap ambengan. Jika beruntung,
kami bisa mendapat ayam panggang. Setelah kenyang, sisanya dibungkus untuk
dibawa pulang sebagai berkat.
Beberapa
hari sebelumnya, kami sudah mempersiapkan hiburan pada siang hari saat puasa. Untuk melupakan rasa lapar dan haus. Kami membuat meriam bambu (dor-doran) dengan bahan ledak karbit. Atau
membuat mercon. Kami pun berlomba, dor-doran
siapa yang paling keras menggelegar.
Setelah puas
bermain dor-doran atau karena karbit
sudah habis, kami mulai bermain di kebun (tegalan)
untuk mengumpulkan buah-buahan yang jatuh sebagai takjil buka puasa.
Malam hari
kami menyalakan kembang api. Suasana malam di kampung menjadi hidup, ramai
dengan suara orang tadarus, bahkan sampai tengah malam. Saat itulah, saya menjadi
berani sekali untuk pulang sendiri dari mesjid melintasi tegalan yang gelap. Ada kesadaran, semua syetan telah diikat dan
suara orang tadarus membuat saya tidak takut.
Kini, di sebagian
tempat, tradisi megengan mulai
ditinggalkan, dengan berbagai alasan. Seperti : buang-buang makanan, sibuk kerja,
sampai dengan tudingan bid’ah. Terlepas itu
semua, ada hal yang perlu dipikirkan bahwa budaya atau tradisi keagamaan
ternyata memberikan pengalaman religius bagi anak-anak. Dan itu akan membekas
sampai dia dewasa. Atau jangan-jangan
karena doa Pak Kyai dan warga sekampung itulah yang membuat kita sukses seperti
sekarang ini.
Sepertinya hal
itu mulai kita lupakan. Kita lebih memilih mendoktrin anak dibanding memberikan
pengalaman religius melalui tradisi keagamaan. Sejatinya, kita bisa memilih. Toh,
bagi sebagian besar umat, ada referensi bahwa tradisi seperti itu bukanlah
termasuk bid’ah. Kecuali Anda sudah sangat terikat dengan kelompok yang membid’ahkan itu.
Selamat berpuasa….
Selamat berpuasa….
***