Ada pasangan suami istri, orang desa yang sederhana, pengen pergi ke
kota. Tidak punya sepeda motor. Mereka boncengan naik sepeda onthel. Sepedanya
kelihatan tua, sudah karatan. Pedalnya tidak lagi komplit, hanya tersisa besi
bagian tengahnya. Kulit sadelnya pun sebagian sudah mengelupas. Sang suami mengayuh
sepeda yang terasa berat dengan beban dua orang.
“Krieeet... krieeet... krieeet...”
Tiba-tiba dari belakang menyalip mobil Pasjeroan,
tanpa sebelumnya membunyikan klakson.
“Ngeeeengg......wuussss....!”
Hembusan anginnya membuat sepeda yang mereka
naiki sedikit oleng. Dengan sigap sang suami bisa menguasai
kembali sepedanya. Si istri terlihat makin erat merangkul suaminya. Benar-benar
terlihat mesra dan romantis.
“Biarin saja, Mas..., disalip ndakpapa...
mobil yang nyalip tadi, paling kreditannya belum lunas.” Kata si istri
membesarkan semangat suaminya mengayuh sepeda.
“Iya, Dik.. benar itu. Tadi di belakang mobil,
ada stiker “kreditan multifinance”. Seperti di mobil Apansa Kang Paijo.” Ujar
sang suami.
“Syukurlah, meski sepeda onthel, tapi kita
ndak punya utang ya, Mas...”
Masih puluhan kilometer jalan yang harus
mereka tempuh. Tak ada rasa lelah.
“Krieeet... krieeet... krieeet...”
“Lihat, Mas... itu kan, mobil yang nyalip tadi,”
kata si Istri sambil menunjuk ke arah halaman Pengadilan Agama.
“Ada apa Dik, ya...jangan-jangan mereka
seperti Kang Paijo,” ujar si Suami.
Dua minggu yang lalu, istri Paijo menggugat
cerai.
“Awas, Dik.. ada tanjakan, biar ndak jatuh,
sini tanganmu pegangan erat di pucuk sadel,” kata si suami cengengesan.
“Ah, Masku ini, bisa aja,” kata si istri
sambil cekikikan.
Ia paham dengan ada apa di pucuk sadel.
***