Setiap orang menganggap kehidupan
orang lain lebih enak.
Orang
kota: “Orang desa itu hidupnya enak. Semua punya sendiri. Gabah, beras, sayuran,
buah-buahan, semuanya tak usah
beli. Kami, orang kota,
semuanya serba beli dan mahal.”
Orang
desa: “Siapa bilang enak? Memang benar semuanya milik sendiri, panenan sendiri. Tapi, semua harus
bayarin orang. Kadang, modal dengan hasil panen ndak imbang. Pas panen harga anjlok.” “Lebih enak itu jadi
pedagang. Barangnya banyak dan selalu pegang uang.”
Pedagang: “Enak apanya…, barang banyak tapi modal utangan. Ini barang milik juragan di kota. Kalau sedang
sial, habis kulakan, harga turun.., ya bonyok…”
“Paling
enak itu ya pegawai negeri.. Tiap bulan terima gaji, pakaiannya bagus dan rapi.
Kerja di kantor, tidak panas dan kehujanan.”
Pegawai
negeri: “Sembarangan…. pakaiannya sih rapi, tapi kantong dan dompet lebih
sering kempes. Habis terima gaji langsung ludes buat bayar cicilan.
Berhari-hari sampai ubanan nungguin tanggal satu.”
“Lebih
enak itu jadi tukang cukur. Dapat uang, bisa pegang-pegang kepala orang, bahkan
kepalanya Bupati.”
Tukang
cukur: “Cuman pegang kepala, apanya yang enak. Kalau salah cukur, malah
didamprat orang…… Enak itu ya, tukang pijat. Bisa raba-raba badan dari kepala
hingga kaki.”
Tukang
pijat: “Megang-megang badan tapi ndak bisa lihat, apa enaknya…. paling enak itu
ya bidan atau dokter kandungan…bisa lihat semuanya.”
Dokter kandungan -yang duduk disamping tukang pijat- menimpali
dengan kalimat yang isinya hampir sama. Lalu, berlanjut pada pengacara
disebelahnya, dan terus bersambung pada orang-orang dengan profesi yang
berbeda. Semuanya menyebut orang lain lebih enak.
***