(Sungguh berani sekali saya menuliskan sebagai Teknik Perbendaharaan… Apa yang saya tulis adalah tata cara perbendaharaan jaman dulu atau bisa dikatakan sudah lewat jaman alias kedaluarsa. Namun, saya meyakini teknik atau pengetahuan ini akan berguna pada saatnya nanti, minimal sebagai wasilah untuk bernostalgia…)
***
Pada hari kamis tanggal 17 Juli 2003 yang lalu, ratusan guru bantu berunjuk rasa menolak
PPh. Begitu isi berita pada harian
ini
yang dilansir esok harinya.
Saya yang hampir setiap hari berurusan dengan masalah pajak bahkan terkadang
saya kena teguran dari
atasan karena kurang dalam pemotongan pajak, hanya tertawa dalam hati. Kita
berbaik sangka saja seperti
nasehat Aa' Gym. Saya kira ini bukan
penyimpangan yang disengaja tetapi tidak lebih dari pemahaman yang kurang atau mungkin juga salah penafsiran
dari pihak Diknas mengenai masalah PPh. Untuk itu melalui tulisan ini, saya mencoba untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya
pengenaan PPh ini.
Ada beberapa macam PPh, seperti PPh pasal
21, PPh pasal 22, pasal 23 dsb. Dalam kasus guru bantu tersebut, PPh yang dikenakan adalah
PPh pasal 21. Tentang PPh ini dapat
kita baca dalam Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan,
penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan Pasal
26 yang merupakan penjabaran UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
Dalam kasus guru bantu diatas memang
terdapat kesalahan dalam pengenaan tarif. Tarif PPh 15% tidak tepat dikenakan
untuk guru bantu. Tarif 15
% adalah tarif final yang dikenakan atas penghasilan
diluar gaji yang berupa honorarium, uang sidang,
uang lembur, atau imbalan lain dengan
nama apapun khusus bagi pejabat negara, PNS, TNI/Polri dan para pensiunannya. Itu pun bagi PNS hanya
dikenakan bagi mereka yang sudah golongan tiga keatas. Contoh : Suatu instansi mengadakan pelatihan dan membayar honor kepada Fulan (PNS gol.3)
sebagai pengajar sebesar Rp. 1 juta. Maka PPh-nya
adalah 15% dikalikan Rp. 1 juta yaitu Rp. 150.000 dan bersifat final artinya langsung dikenakan tanpa ada pengurangan.
Maka, karena guru bantu bukan PNS, tarif
15% tidak berlaku bagi penghasilan
mereka. Sesuai Keputusan DJP diatas, tarif yang tepat adalah 5%. Sehingga
pengenaan PPh yang tepat bagi mereka para guru
bantu adalah 5% dikalikan Rp. 460.000.-(gaji mereka). Jadi potongan
PPh para guru bantu tersebut adaIah Rp.
23.000,- setiap bulan.
Jika kemudian para guru bantu menyatakan
menolak adanya potongan PPh, saya rasa mereka
akan
terhalang oleh ketentuan
yang ada dalam Keputusan
Dirjen Pajak tersebut. Jadi, tidak mungkin potongan PPh tidak dikenakan bagi para guru bantu kecuali Ditjen Pajak melakukan
revisi untuk menghapuskan ketentuan PPh bagi para guru bantu. Saya rasa ini pun bukan hal yang gampang karena harus melalui proses yang panjang.
Jalan keluar yang lebih masuk akal adaIah memperkecil potongan PPh. Bagaimana
caranya? Itu yang harus kita pikirkan.
Untuk itu marilah kita mulai dengan menghilangkan pikiran untuk meniadakan PPh dan beralih menuju pertanyaan, adakah formula
yang tepat untuk memperkecil
potongan PPh bagi para guru bantu
termasuk juga para guru kontrak, guru tidak tetap dan para pegawai honor
lainnya.
Cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memecah komponen
penghasilan mereka. Jika selama ini dalam daftar
pembayaran dan pertanggungjawaban
bendahara gaji guru bantu, hanya
tercantum gaji/upah atau honor, maka kemudian dibagi menjadi dua unsur yaitu
honor dan biaya transport
lokal. Dengan cara ini maka potongan PPh akan menjadi
lebih kecil karena PPh hanya dikenakan atas unsur honor, sedangkan biaya
transport bebas dari PPh. Contoh : dari penghasilan Rp. 460.000 misalkan dibagi
menjadi dua unsur yaitu honor sebesar Rp. 340.000 dan biaya transport sebesar
Rp.120.000. Sehingga potongan PPh adalah 5% X Rp.340.000 =Rp.17.000.
Jika ingin menempuh jalan ini, yang perlu
diperhatikan adalah ketika
penyusunan anggaran untuk
alokasi pembayaran penghasilan para guru bantu tersebut. Jika ini menyangkut
APBN maka sebaiknya
dialokasikan dalam anggaran belanja
pembangunan seperti pembayaran gaji guru kontrak. Dalam dokumen anggaran yaitu
daftar isian proyek (DIP) atau SKO, dana tersebut
akan dibebankan dalam belanja modal non fisik yang nantinya akan dilaksanakan secara swakelola. Dalam
belanja modal non fisik tersebut terbagi menjadi empat komponen pengeluaran
yaitu bahan, gaji upah, perjalanan dan lain-lain. Dengan demikian unsur
honor/gaji dalam penghasilan guru bantu dialokasikan dalam komponen pengeluaran
gaji upah, dan untuk biaya transport dialokasikan dalam komponen perjalanan. Hal yang sama juga dapat dilaksanakan jika penghasilan
guru
bantu dibebankan dalam APBD.
Bagaimana jika sekarang sudah terlanjur
hanya dibebankan dalam komponen pengeluaran gaji upah ? solusinya adalah lakukan revisi dokumen anggaran.
(Pernah dimuat di Koran Kendari Pos, Kamis, 31 Juli 2003, hal.4)
(Pernah dimuat di Koran Kendari Pos, Kamis, 31 Juli 2003, hal.4)