(Sungguh berani sekali saya menuliskan sebagai Teknik Perbendaharaan… Apa yang saya tulis adalah tata cara perbendaharaan jaman dulu atau bisa dikatakan sudah lewat jaman alias kedaluarsa. Namun, saya meyakini teknik atau pengetahuan ini akan berguna pada saatnya nanti, minimal sebagai wasilah untuk bernostalgia…)
***
Sebelum terbitnya Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam
Rangka Pelaksanaan APBN, salah satu lampiran Surat Perintah Membayar (SPM)
dalam proses pencairan dana APBN adalah apa yang kita kenal dengan istilah SPTB
(Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja).
Terakhir, ketentuan tersebut
diatur dalam PMK nomor 134/PMK.06/2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Pedoman
Pembayaran Dalam Pelaksanaan APBN dengan juknisnya Peraturan Dirjen Perbendaharaan
nomor PER-66/PB/2005 yang diubah dengan PER-11/PB/2011.
Dalam Perdirjen tersebut, SPTB
adalah pernyataan tanggung jawab belanja yang dibuat oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran atas transaksi belanja sampai dengan jumlah tertentu. Dengan
PER-11/PB/2011, SPTB dibedakan antara SPTB SPM GU dan SPTB SPM LS, yang sebelumnya
sesuai PER-66/PB/2005 tidak ada pembedaan format.
Bila dirunut sejarahnya, munculnya
SPTB berawal dari Surat Edaran Dirjen Anggaran (SE DJA) No.SE-148/A/55/1094
tanggal 13 Oktober 1994 yang merupakan tindak lanjut dari Surat Menteri
Keuangan tanggal 10 Oktober 1994 No.S-743/MK.03/1994. Dalam Surat Menkeu
tersebut menyebutkan bahwa dalam perkembangannya bukti yang sah pada lampiran permintaan
pembayaran -dulu dengan istilah : SPP-GU (surat permintaan pembayaran
penggantian UYHD)- makin lama makin banyak
sehingga mengganggu kelancaran penyelesaian dan pembayaran dari pada SPP-GU
dimaksud. Untuk itulah kemudian dipandang perlu untuk melakukan penyederhanaan
lampiran SPP-GU.
Pada perkembangannya batas nilai
bukti-bukti pembayaran yang ditampung dalam SPTB telah mengalami perubahan.
Awalnya adalah bukti-bukti pembayaran yang jumlahnya kurang dari Rp. 500.000,00
setiap kuitansi sebagaimana dalam SE DJA diatas. Kemudian pada SE DJA
No.SE-72/A/2000 tanggal 15 Mei 2000 naik menjadi kurang dari Rp. 1 Juta setiap
kuitansi dan dengan SE DJA No.SE-18/A/2001 tanggal 29 Januari 2001 ditetapkan
menjadi kurang dari Rp. 1,5 juta. Selain itu, termasuk yang ditampung dalam
SPTB adalah daftar pembayaran honor/lembur/gaji upah dengan jumlah tidak
terbatas.
SE DJA No.SE-148/A/55/1094
tanggal 13 Oktober 1994 dapat kita istilahkan sebagai induk aturan SPTB. Meski
dibedakan antara SPTB rutin (SPTB R) dan SPTB pembangunan (SPTB P) yang waktu
itu mengikuti pembedaan antara belanja rutin dan belanja pembangunan, namun
format/bentuk SPTB sama. Dalam SE tersebut memberikan petunjuk antara lain :
- SPTB R/P dibuat untuk setiap MAK (mata anggaran pengeluaran/akun) oleh Kepala Kantor/Satker/ Pimpro/Pimbagpro.
- Bukti-bukti pembayaran yang ditampung dalam SPTB R/P tidak lagi dilampirkan pada SPP-GU, tetapi disimpan pada Kantor/Satker/Proyek/Bagpro sebagai dokumen belanja negara, sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta untuk kelengkapan administrasi dan keperluan pemeriksaan aparat pengawasan fungsional. Yang terakhir ini dengan jelas tercantum dalam format SPTB itu sendiri.
Selanjutnya dalam lampirannya,
mengenai petunjuk pengisian SPTB R/B, dijelaskan antara lain :
-
untuk kolom penerima : diisi nama penerima pembayaran,
misalkan :
o
PT Subur di Jakarta
o
Dari daftar pembayaran honor/lembur/gaji upah
cukup dicantumkan nama dari nomor urut satu cs, misal : Amin cs.
-
untuk kolom uraian pengeluaran : diisi keperluan
pembayaran, misalkan : pembelian alat-alat rumah tangga kantor, pembayaran
honor/lembur dsb.
Tidak ada jalan di kampungku yang
tanpa lubang, dalam praktek saat itu, tidak semulus apa yang diharapkan, muncul
beberapa interpretasi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari daftar kesalahan
dalam penerbitan SPM yang diterbitkan oleh satu pihak (sebut saja pihak I), antara
lain :
- Uraian pada SPTB tidak dijelaskan tujuan dan lamanya melakukan perjalanan dinas
- Uraian pada SPTB tidak dijelaskan pangkat/golongan dan lamanya setiap pegawai melakukan perjalanan dinas
- Bukti setor (SSP) PPh pasal 23 atas pemeliharaan kendaraan dinas pada SPTB tidak terlampir
- Bukti setor PPh pasal 23 atas biaya pemeliharaan gedung kantor, rumah jabatan dan pemeliharaan kendaraan roda 4 (Red : semuanya ditampung dalam SPTB) tidak terlampir
Atas kesalahan-kesalahan (menurut
pihak I) diatas ditanggapi oleh pihak II dengan tanggapan antara lain :
- untuk nomor 1 dan 2, tanggapannya : Tidak ditemukan ketentuan/SE DJA yang mengharuskan hal tersebut. Pada petunjuk pengisian SPTB dalam SE DJA No.SE-148/A/55/1094 tangal 13-10-1994 perihal SPTB R/P tidak mengharuskan penulisan keperluan pembayaran perjalanan dinas secara detail pada kolom uraian.
- sedangkan untuk nomor 3 dan 4, tanggapannya : sesuai SE DJA No.SE-148/A/55/1094 tanggal 13-10-1994 perihal SPTB R/P, bukti-bukti pembayaran atas transaksi yang ditampung dalam SPTB R/P tidak lagi dilampirkan tetapi disimpan pada kantor/satker/proyek untuk kelengkapan administrasi dan keperluan pemeriksaan aparat pengawasan fungsional.
Jadi, isi dari tanggapan pihak II
merupakan bantahan atau pembelaan, artinya pihak II tidak sepakat dengan apa
yang ditulis atau yang menjadi pemikiran pihak I.
Dari daftar kesalahan dan
tanggapan pihak II dapat kita petakan dua pemikiran yang berbeda berkenaan
dengan SPTB yang dapat kita lihat pada tabel dibawah ini :
Masalah
|
Pemikiran pihak I
|
Pemikiran pihak II
|
Nama Penerima & Uraian pengeluaran
|
Mencantumkan secara detail,
seperti tujuan dan lamanya perjalanan, pangkat/golongan pegawai yang
melakukan perjalanan.
|
Tidak harus detail
|
Bukti Setor SSP
|
Untuk PPh pasal 23, berapa pun nilai
pengeluaran dalam SPTB tetap harus melampirkan bukti setor SSP
|
Tidak perlu dilampirkan, tetapi
disimpan oleh bendahara
|
Untuk menelusuri bagaimana kedua
pemikiran tersebut, kita mencoba melihat persoalan diatas dari argumentasi yang berbeda dengan memposisikan diri kita
pada dua pihak tersebut, sebagai berikut :
Masalah
|
Sudut Pandang pihak
I
|
Sudut Pandang pihak
II
|
Nama Penerima & Uraian Pengeluaran
Bukti setor SSP
|
|
|
Untuk memperkuat argumentasi pihak
II, pertama-tama akan kita kemukakan bantahan-bantahan terhadap argumentasi pihak
I mengenai kedua persoalan diatas :
- mengenai persoalan uraian pengeluaran dan penerima pembayaran, telah jelas bahwa tidak ada ketentuan/DJA yang mengatur hal demikian sebagaimana tanggapan pihak II. Sedangkan yang ditulis oleh pihak I bersifat normatif tanpa ada landasan hukum, yang seharusnya tidak sepatutnya dimasukkan dalam daftar kesalahan. Jadi hal tersebut bukan merupakan kesalahan karena memang tidak ada yang dilanggar. Jika pihak I menghendaki demikian, maka hal itu hanya merupakan sebuah anjuran.
- berkenaan dengan bukti setor SSP yang harus dilampirkan, hal ini akan bertentangan dengan maksud dan tujuan dari adanya SPTB sebagaimana Surat Menkeu diawal tulisan yaitu memperlancar penyelesaian dan pembayaran, selain melakukan penyederhanaan lampiran. Adapun SE DJA No.SE-18/A/2001 tanggal 29 Januari 2001 yang mempersyaratkan fotokopi SSP yang telah dilegalisir sebagai lampiran, tidak dijelaskan untuk lampiran apa, kuitansi atau SPTB, sehingga bila tetap mempedomani SE DJA tentang SPTB maka sebenarnya fotokopi SSP tersebut adalah sebagai lampiran kuitansi yang nilainya Rp. 1,5 juta keatas.
Setelah melakukan bantahan
terhadap argumentasi pihak I, maka perlu dijelaskan pula
argumentasi-argumentasi yang mendukung sudut pandang pihak II, khususnya
berkenaan dengan bukti setor SSP. Beberapa argumentasi dimaksud dapat kita baca
sebagai berikut :
- apabila tetap harus melampirkan SSP, maka seharusnya juga dilampirkan faktur pajak untuk pengadaan barang/jasa sebagai dasar perhitungan pajak. Tanpa faktur pajak kita tidak dapat mengetahui pengenaan pajak secara tepat. Dengan faktur kita dapat mengetahui barang/jasa apa saja yang dikenakan pajak atau yang dibebaskan dari pajak. Dan jika melampirkan faktur pajak maka hal itu akan menghilangkan efektifitas SPTB sebagaimana maksud dan tujuannya. Begitu juga kemudian misalnya dengan jalan mencantumkan perincian barang/jasa pada SPTB, hal demikian tidak diatur dalam ketentuan SPTB. Contoh lain adalah SSP untuk PPh pasal 21 atas honor/gaji upah yang selama ini harus dilampirkan. Karena PPh pasal 21 dimaksud dikenakan untuk pegawai golongan III keatas sementara pada SPTB tidak ada aturan yang mengharuskan mencantumkan pangkat/golongan pegawai yang menerimanya, sehingga sulit untuk mengetahui siapa saja yang dikenakan pajak, maka seharusnya bukti setor pajak tidak perlu dilampirkan. Selain alasan utama adalah karena pengeluaran tersebut ditampung dalam SPTB.
- Untuk mengetahui jumlah penerimaan pajak dan penyetoran pajak yang dilakukan bendahara, pada pengajuan permintaan-GU telah dipersyaratkan adanya lampiran Daftar Penerimaan dan Penyetoran Pajak sebagaimana SE DJA No.SE-39/A/1990 tanggal 14 Maret 1990.
- Pihak II bukan aparat pajak yang bertugas “memelototi” pajak sampai sekecil-kecilnya. Kita seyogyanya mempercayakan hal tersebut kepada aparat pengawas fungsional yang akan melaksanakan pemeriksaan terhadap semua transaksi yang dilakukan bendahara.
Dari bahasan diatas, dapat kita
tarik kesimpulan sebagai berikut :
- Tidak ada ketentuan yang mengharuskan mencantumkan secara detail penerima dan uraian pengeluaran pada SPTB, sehingga bukan merupakan kesalahan dan tidak sepatutnya dimasukkan dalam daftar kesalahan.
- Semua bukti pengeluaran yang ditampung dalam SPTB sampai dengan kurang dari Rp. 1,5 juta tidak perlu dilampirkan bukti setor SSP. Kita tetap berpedoman pada ketentuan yaitu dikenakan pajak tetapi bukti setor pajak disimpan oleh bendahara. Oleh karena itu, lampiran SSP untuk SPTB yang bernilai diatas Rp. 1 juta sampai dengan kurang dari Rp. 1,5 juta untuk setiap pengadaan barang/jasa, biaya pemeliharaan dan sebagainya yang menurut ketentuan dikenakan pajak, tidak diperlukan lagi.
Begitulah perdebatan seputar SPTB
yang terjadi pada jaman UYHD. Sebenarnya, sejak dulu sudah ada pihak-pihak yang
menginginkan penyerahan tanggung jawab kepada satker K/L dalam batas-batas
tertentu.
Nah, bagaimana dengan ketentuan
saat ini. Dengan PMK 190/PMK.05/2012, tak ada lagi kewajiban untuk membuat SPTB. Semuanya
telah berubah. Tak ada lagi kontrol belanja yang dilakukan oleh kementerian
keuangan terhadap item belanjaan kementerian/lembaga (K/L). Paradigma lets the manager manage, hampir-hampir
secara full diberlakukan, dan tanggung jawab sepenuhnya ada di K/L. Apakah
kemudian kementerian keuangan, hanya sekedar kasir? Tutup mata dengan apapun
pengeluaran yang dilakukan K/L? Padahal, menurut saya, esensi UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara,
yang menyebut Menteri Keuangan bukanlah sekedar kasir termasuk mekanisme check and balance ada di SPTB….
(mungkin saja tulisan ini bersambung)…