Hari sudah makin sore. Perjalanan masih tersisa 10 km. Ia belum sholat ashar. Tepat di depan masjid pinggir jalan, ia berhenti.
Sepeda
motor ia parkir di halaman samping. Kunci stang dan kunci ganda lainnya, ia
aktifkan.
“Aduh, ndak ada penitipan sandal,” gumamnya.
“Padahal ini sandal
akik..., mahal lagi...”
Ia gelisah. Tapi waktu ashar tinggal setengah jam. Ia
taruh sandalnya pada tempat yang agak tersembunyi. Buru-buru ia ambil air wudhu
dan menunaikan sholat ashar.
Khawatir
sandalnya diambil orang, ia percepat gerakan dan bacaan sholat. Sama sekali
tidak khusyu’, karena pikirannya tertuju pada sandal akik seharga hampir sejuta yang ia beli minggu
lalu itu. Selesai salam, ia langsung bangkit dan bergegas menuju tempat sandal.
“@@$$**##…!” Batinnya mengumpat.
Ia kalah cepat.
Sandalnya sudah tidak ada.
Ia masih
berharap barangkali ada orang yang meminjamnya sebentar dan menaruhnya di
tempat lain. Mondar-mandir ia mencari sandal di sekitar halaman masjid. Tak
ada.
Lalu, ia duduk merenungi
sandalnya yang hilang. Dalam hati, ia terus mencacimaki si pencuri sandal.
Tiba-tiba, datang seorang pria
yang juga hendak sholat. Pria itu duduk kira-kira 2 meter dari tempatnya. Ia
melirik pria itu melepas sesuatu dari kakinya. Jantungnya berdesir.
“Alhamdulillah,” bisiknya.
Dalam hati ia berkata: “aku
hanya kehilangan sandal, pria itu kehilangan satu kakinya… “Astaghfirullah…”
Ia melihat pria itu
masuk ke serambi masjid dengan terpincang-pincang.
***