Kalau kita melihat data
pegawai pada unit eselon I sebuah kementerian yang melakukan umroh dan ibadah haji, maka kita
akan berbangga hati. Selama tiga tahun berturut-turut, angkanya diatas 100. Perhatikan
tabel berikut ini :
Tahun
|
Haji
|
Umroh
|
Jumlah
|
2008
|
111
|
6
|
117
|
2009
|
116
|
10
|
126
|
2010
|
98
|
11
|
109
|
Melaksanakan ibadah adalah
hak asasi setiap orang, tetapi sebagai PNS kita terikat oleh aturan perizinan
sebelum kita berangkat ke tanah suci. Dalam PP 53 tahun 2010 tentang Disiplin
PNS, disebutkan salah satu kewajiban PNS adalah menaati segala ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan naik haji dan umroh, maka
sebagai PNS harus mengetahui
beberapa ketentuan terkait cuti yang digunakan dan proses untuk memperoleh izin
keluar negeri.
Selama ini masih saja
muncul beberapa permasalahan terkait izin keluar negeri. Permasalahan ini lebih
karena ketidakpahaman pegawai dan pengelola kepegawaian. Pertama, masih
ditemukan pegawai yang ngotot
menggunakan cuti alasan penting untuk ibadah haji. Padahal hal ini jelas
dilarang dan pasti akan ditolak. Kedua, kurangnya perencanaan sejak awal sehingga pengajuan izin keluar negeri
yang terlalu mepet dengan jadwal keberangkatan. Akibatnya, pegawai berangkat ke
tanah suci sementara izin belum keluar, bahkan ternyata ditolak. Ketiga, adanya
keengganan pegawai khususnya pejabat untuk menggunakan cuti besar dalam rangka ibadah
haji, dengan alasan insentif dan tunjangan jabatan yang tidak dibayarkan. Keempat,
jadwal waktu yang berubah-ubah yang berakibat pada proses perizinan yang
datanya harus direvisi dan itu akan menambah waktu keluarnya surat izin.
Agar permasalahan diatas
tidak terjadi, maka sangat dianjurkan bagi para pegawai dan pengelola
kepegawaian untuk memahami beberapa ketentuan tentang pelaksanaan cuti bagi PNS.
Jenis
cuti yang dapat digunakan untuk melaksanakan umroh atau haji adalah cuti
tahunan bila jumlah harinya mencukupi dan yang pasti adalah cuti besar. Untuk
melaksanakan ibadah umroh cukuplah dengan mengambil cuti tahunan. Bila
menggunakan cuti tahunan untuk ibadah haji, harus benar-benar dihitung jumlah
hari untuk melaksanakan ibadah haji kemudian dibandingkan dengan jatah cuti
tahunan kita. Yang pasti, maksimal jumlah cuti tahunan yang selama beberapa
tahun tidak diambil, tetaplah tidak bisa lebih dari 24 hari kerja. Untuk haji
plus (ONH Plus) ada kemungkinan dapat menggunakan cuti tahunan.
Agar tidak terjadi
penyesalan dikemudian hari setelah kita beribadah haji dengan menggunakan cuti
besar, ada hal-hal yang harus kita cermati ketentuan cuti besar sebagai berikut
:
a. Cuti Besar merupakan
hak PNS yang telah bekerja paling kurang 6 (enam) tahun secara terus menerus.
b. PNS yang
akan/telah menjalani cuti besar tidak berhak lagi atas cuti tahunan dalam tahun
yang bersangkutan.
c. Selama
menjalankan cuti besar, PNS yang bersangkutan menerima penghasilan penuh namun tidak
berhak atas tunjangan jabatan dan tidak memperoleh insentif/remunerasi (kementerian tertentu)
d. PNS yang
telah melaksanakan cuti tahunan dan akan mengambil cuti besar pada tahun yang
bersangkutan harus mengembalikan insentif/remunerasi yang diterimanya selama melaksanakan
cuti tahunan.
e. PNS yang
akan/telah menggunakan cuti besar berhak atas:
·
cuti bersama;
·
cuti tahunan yang tersisa pada tahun sebelum digunakan cuti besar;
·
cuti sakit;
·
cuti bersalin untuk persalinan anaknya yang pertama, kedua, dan
ketiga;
·
cuti karena alasan penting.
Nah, kalau diatas mengenai
cuti besar, selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah izin dari Menteri. Dalam ketentuan disebutkan bahwa cuti yang akan dijalankan di luar
negeri harus mendapatkan izin dari Menteri. Pada kementerian tertentu, untuk ibadah haji dan
umroh, permohonan izinnya harus disampaikan kepada Sekretariat Jenderal Kementerian paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sebelum
tanggal pelaksanaan cuti.
Selain ketentuan tersebut,
beberapa ketentuan internal suatu unit eselon I dapat menjadi rujukan, yaitu
:
- PNS yang akan melaksanakan ibadah haji atau umroh mengajukan surat permohonan dengan format tertentu kepada Menteri u.p. Sekretaris Jenderal Kementerian melalui Dirjen dan disampaikan kepada Sekretaris Ditjen secara hirarki;
- Khusus untuk permohonan izin ke luar negeri dalam rangka ibadah haji, permohonan agar sudah diterima di kantor pusat (usulan dalam keadaan lengkap) dengan batas waktu yang telah ditentukan dan pada permohonan tersebut mencantumkan tanggal perkiraan pelaksanaannya;
- Ibadah haji dapat dilaksanakan dengan menggunakan cuti besar (maksimal 50 hari kalender) dan tidak diperkenankan menggunakan cuti karena alasan penting;
- Cuti tahunan dapat digunakan apabila pelaksanaan cuti untuk keperluan ibadah haji tersebut tidak lebih dari 20 hari kerja dan pemohon memiliki sisa cuti pada tahun sebelumnya dengan jumlah maksimal tersebut;
- Dalam hal di kemudian hari terjadi perbedaan atau perubahan jadwal pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji dari Kementerian Agama, agar tanggal pelaksanaan cuti pegawai yang bersangkutan disesuaikan oleh Kepala Kantor masing-masing dengan jumlah hari cuti sesuai permohonan awal;
- Surat izin cuti besar untuk keperluan ibadah yang dijalankan di luar negeri ditetapkan oleh Dirjen setelah surat izin ke luar negeri berkenaan ditetapkan Menteri;
- Cuti tahunan untuk keperluan ibadah haji atau umroh, surat izin cuti akan ditetapkan oleh Menteri bersama dengan surat izin ke luar negerinya.
- Berkas permohonan izin ke luar negeri yang diterima di Kantor Pusat eselon I kurang dari 20 hari kerja sebelum saat pelaksanaan keberangkatan ke luar negeri (usulan dalam keadaan lengkap) tidak dapat diproses lebih lanjut.
Secara normatif, bagi PNS dan isteri/suaminya, sebelum mendapatkan izin
secara tertulis dari Menteri tidak diperkenankan berangkat ke luar
negeri. Untuk itu, permohonan izin ke luar negeri perlu diajukan sedini mungkin
agar pada saat keberangkatan ke luar negeri yang bersangkutan sudah menerima
surat izin dimaksud. Saya kira hal ini cukup penting, agar kekhusukan dalam
menjalankan ibadah haji/umroh tidak terganggu oleh karena rasa was was akibat izin
yang belum keluar atau malah tidak mendapat izin.
Ada beberapa
saran yang patut kita cermati bagi pegawai yang akan melaksanakan ibadah haji
khususnya, yaitu :
- Jangan memaksakan diri untuk mengambil cuti tahunan jika memang jatah cuti tahunan tidak mencukupi atau mepet sekali, hanya karena alasan tidak mau dipotong remunerasi/insentif dan atau tunjangan jabatannya. Bukankah orang yang mampu melaksanakan ibadah haji adalah orang dalam kategori mampu. Tidak pantaslah jika kita masih sayang dengan besarnya potongan. Apalagi keluar kalimat, “gara-gara haji, tunjangan saya dipotong…”.
- Rencanakan dengan cermat jadwal keberangkatan dan selesaikan segala urusan perizinan agar dalam menjalankan ibadah lebih tenang.
- Berhajilah sebelum menduduki jabatan penting. Biasanya, seseorang yang telah duduk dalam jabatan penting, akan selalu menunda-nunda untuk menunaikan rukun kelima ini dengan alasan banyaknya tugas dan keberadaanya sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas kepemerintahan. Atau, kadang juga karena tidak mendapatkan izin dari pimpinannya.
- Berangkatlah haji selagi belum terlalu tua, apalagi menunggu masa pensiun.