Suatu hari seorang Kyai diundang ceramah di satu kampung untuk acara
Peringatan Nuzulul Qur’an.
Ketika tiba di lokasi, tepat saat akan dilaksanakan sholat tarawih. Pihak
panitia menawarkan pada Sang
Kyai untuk menjadi
imam sholat. Tetapi karena selepas tarawih, harus berceramah, Sang Kyai berpikiran untuk
menghemat suara. Ia menolak dan menyerahkan kembali kepada pihak panitia agar
yang sudah biasa menjadi imam di masjid itu untuk mengimami sholat
tarawih.
Melihat langkah
dan gaya sang imam maju ke depan, Pak Kyai sudah mulai berfirasat orang ini akan lama dalam mengimami. Dan benar,
baru takbiratul ikram sudah mulai dibuat-buat.
“Allahu Akbar…!!!” Terdengar
melengking dan berdengung di akhir takbir.
Sang Imam juga
membaca Al-fatihah dengan gaya Imam Mekkah yang jarang-jarang atau
perlahan-lahan. Dalam hati, Sang
Kyai menyesal, mengapa
ia tadi menolak untuk menjadi
imam. Selesai fatihah,
tidak seperti umumnya sholat tarawih yang biasanya imam akan
membaca surat-surat pendek, ternyata sang imam membaca suatu ayat langsung dari
tengah-tengah surat Qur’an.
“Wama.....”
“Wama....”
“Wama...”
Ternyata sang imam
lupa akan kelanjutan ayat tersebut.
Pada kondisi tersebut, seharusnya para makmum mengingatkan lanjutan ayat
tersebut. Tetapi, Sang Kyai yang hafal Qu’ran pun bingung untuk
melanjutkan dan mengingatkan
karena banyak sekali ayat Qu’ran yang dimulai
dengan kata “Wama....”
Beberapa
jamaah mulai resah dan tidak lagi khusyu’, bahkan ada yang
bertanya ke sebelahnya.
“Apa itu terusannya?”
“Mboh,
ra weruh?” Jawab orang disebelahnya.
“Dasar imam kemenyek...” Terdengar
suara berbisik dari barisan ketiga.
Disaat keresahan mulai memuncak dengan
kondisi Sang Kyai yang tidak tahu lanjutan ayat tersebut, begitu juga jamaah lainnya yang juga tidak tahu, tiba-tiba dari shof belakang dari jamaah
anak-anak, terdengar suara keras berteriak.
“Qulhu ae lek, kesuwen!” (Qulhu saja Om,
kelamaan tuh!).
“Cocok...!” Batin Sang Kyai.
Mungkin inilah
peringatan Tuhan melalui anak kecil itu. Pada saat orang-orang dewasa tidak
berani mengingatkan ulah sang
imam, tiba-tiba seorang anak kecil mengkritik keras. Ia gasak sang imam.
Untuk itu, menjadi imam sholat hendaknya
melihat situasi dan kondisi. Jangan karena ingin menunjukan bahwa dia hafal
banyak ayat-ayat quran, kemudian menjadi kesempatan untuk pamer. Imam yang bagus adalah yang pertengahan, tidak
terlalu cepat tetapi juga tidak terlalu lama.
(Diadaptasi dari cerita yang disampaikan oleh
KH. Anwar Zahid pada suatu pengajian)
***
Keterangan :
Mboh,
ra weruh : Masa bodoh, gak tahu
Kemenyek : bergaya,
pamer