Ada hal sepele yang terkadang
membuat hubungan bertetangga atau bermasyarakat menjadi tidak rukun. Kelihatannya
sepele tetapi dampaknya banyak pele. Sesuatu yang kelihatannya hanya berupa
benda tetapi bisa mengakibatkan dosa. Seperti soal "berkat". Dalam sebagian
masyarakat Jawa, kita mengenal berkat sebagai makanan yang diberikan oleh tuan
rumah untuk dibawa pulang para jamaah tahlil. Biasanya acara yang
diselenggarakan dikenal dengan sebutan kenduri atau kondangan atau selametan.
Ada cuplikan peristiwa soal berkat
berikut ini:
Suatu malam, si suami pulang dari acara
kenduri dengan membawa berkat. Tiba di rumah berkat diterima istrinya. Mestinya,
si istri berucap alhamdulillah,
tetapi ini malah mengucap: “halah-halaaaah.....”. Bahkan dengan nada nyinyir
istrinya berkata: “Orang kaya seperti itu, bikin berkat kok kayak gini, dasar
pelit.”
Ia bertanya pada suaminya.
“Undangannya banyak, Pak?
Suami menjawab: “Ya banyak.”
“Disana dikasih makan gak, Pak?”
“Ya dikasih, tapi dua sendok
langsung habis.”
Lalu, si istri membuka berkat sambil
berkata ke suaminya.
“Pak..., orang kaya kok berkat-nya
seperti ini, ya....”
“Coba, ini sayur tewelnya..., uhh... sudah basi...”
“Lihat..., nasinya keras sekali. Paling
ini dari beras yang sudah lama sekali alias beras kawak.”
“Katanya orang kaya, tapi bikin
berkat kok gepeng, tipis, kurus kayak gini.”
“Nasinya sedikit dengan lauk cuma
sejumput, ada ikan bandeng tapi hanya buntut, ada daging sapi dengan irisan
kecil-kecil serambut, dan ada mie ngruwel kayak janggut.”
Begitulah. Berawal dari soal berkat yang
sepertinya sepele, tapi berakibat dosa karena ghibah, mengolok-olok. Dan jika
terdengar oleh orang yang dimaksud akan merusak hubungan ketetanggaan. Padahal jika
menerima pemberian dari pihak lain, mestinya disyukuri bagaimanapun bentuknya
dan bukan malah balas mencemooh.
***