Semakin lama masjid di dusun itu
sepi akan jamaah. Masyarakat
lebih tertarik dengan tayangan televisi. Anak-anak muda lebih asyik di warnet dengan game online, lebih khusu’ bermain
facebook dan media sosial lainnya. Atau mereka sibuk dengan
kegiatan muda-mudi
yang tak jarang melupakan waktu sholat.
Sungguh memprihatinkan kondisi masjid, padahal baru setahun masjid di dusun itu
selesai di renovasi dengan ruangan jamaah yang diperluas.
Ditengah masyarakat yang sudah
melupakan masjid,
untunglah masih terdapat dua
orang yang hatinya selalu tertambat dengan masjid. Melihat usianya, mereka memang
pantas disebut kakek-kakek.
Dua kakek itu sangat prihatin. Tak jarang hanya mereka berdua yang sholat berjamaah di masjid, apalagi saat
subuh. Dipastikan hanya mereka berdua. Mbah Imam sebagai imam sholat dan Mbah Simo sebagai bilal merangkap makmum.
Pagi itu setelah berjamaah subuh, dua orang
kakek itu ngobrol di serambi masjid. Mereka prihatin
dengan kondisi masjid
yang sepi jamaah.
“Gimana ini, Kang.., masjid kita kok sepi jamaah. Orang-orang
itu pada kemana?” Keluh Mbah Simo.
“Ndak usah kaget, Dik.., ini memang masjidnya kita berdua.” Jawab Mbah Imam.
“Iya memang… kalau kita berdua
masih hidup, masih ada yang sholat disini, masih ada yang memelihara masjid. Terus nanti
kalau kita mati, siapa
yang meneruskan.
Gimana nasib masjid ini?” Ujar Mbah Simo.
“Gitu saja kok bingung, ya bagaimana cara kita saja,” kata Mbah Imam santai.
“Maksudnya?” Tanya Mbah Simo penasaran.
“Ya nanti kita kasih tahu mereka, warga, masyarakat dan anak-anak
muda, sebelum kita berdua
ini meninggal dunia, ayo masjid
ini kita jual saja.” Jawab Mbah
Imam sambil terkekeh.
“Dijual gimana, Kang?” Kata Mbah Simo kaget.
“Lha… daripada kosong, ndak
ada yang sholat berjamaah.”
“Betul juga, Kang, ya...”
“Ntar, didepan
masjid, kita pasang papan: DIJUAL…!!!”
***