Malam itu, seorang anak
muda berjenggot dengan baju takwa warna putih dan celana diatas mata kaki, bertamu
ke rumah Pak Kyai. Ia resah dengan kondisi masyarakat sekitarnya yang masih
mengamalkan tahlil, haul atau mendoakan orang yang sudah meninggal dunia. Dari
kitab yang ia pelajari, perbuatan itu merupakan amalan bid’ah yang tidak pernah
diajarkan oleh Rasul SAW. Meski sebenarnya masih ada kitab lain yang
berpandangan sebaliknya. Tapi, rasanya tidak mungkin ia akan membaca kitab itu,
karena bukan dikarang oleh tokoh kelompoknya.
Sejatinya, anak muda itu asli
warga dusun itu, tetapi sudah puluhan tahun merantau ke kota besar dan baru
sebulan lalu ia kembali ke kampung halamannya. Rupanya di perantauan ia
mendapatkan pencerahan bergabung dengan suatu kelompok pengajian. Ia menemukan sesuatu
yang berbeda dengan yang diajarkan oleh Pak Kyai di kampungnya.
Setelah diterima Pak Kyai
dan berbasa-basi, mulailah ia menyampaikan maksud kedatangannya.
“Pak Kyai, apa dalil untuk
amalan tahlil dan mendoakan orang yang sudah meninggal dunia. Dari kitab yang saya
baca, itu tidak ada dalilnya. Itu perbuatan bid’ah, Pak Kyai...”
“Tahlil dan doa tidak akan
sampai kepada orang yang sudah mati.” Ia mencecar Pak Kyai dengan pertanyaan
retoris dan pendapatnya.
Pak Kyai sudah sangat paham
dengan apa yang anak muda itu maksudkan. Sebenarnya, sudah sejak lama ia malas
meladeni tuduhan-tuduhan seperti itu. Ia enggan berdiskusi, berdebat soal itu. Ia
sudah tahu tak akan mungkin mempertemukan dua pandangan tentang amalan tahlil
dan haul. Dengan bijaksana ia mengajak untuk lebih baik saling menghormati dan
tidak perlu saling menuduh bid’ah atau sesat.
“Kalau pun saya sampaikan
dalilnya, kamu pasti tidak akan juga menerima. Lebih baik kita menghormati
pilihan kita masing-masing.”
“Ndak usahlah menuduh kami melakukan bid’ah dan sesat.”
“Apa yang kami lakukan
sudah dikerjakan sejak jaman para Wali dan Kyai-Kyai sepuh dulu. Masak mereka sesat.”
“Betul, Pak Kyai…,” ujar
anak muda itu.
“Tapi, itu semua tidak
pernah diajarkan oleh Rasul dan tidak ada dalilnya. Kalau memang ada dalilnya,
mana coba tunjukan pada saya.”
“Tahlil dan doa itu tidak
akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia. Jadi, itu merupakan perbuatan
yang sia-sia.”
Karena terus-terusan
didesak, akhirnya Pak Kyai merasa jengkel juga.
“Baiklah kalau begitu. Saya
ingin tanya, orang tuamu masih hidup?” Tanya Pak Kyai.
“Ibu saya masih, bapak saya
sudah meninggal,” jawab anak muda itu.
“Jadi bapakmu sudah wafat.
Kalau begitu, saya berdoa semoga di alam kubur, bapakmu dipukuli,
ditendang-tendang dan dihajar oleh malaikat.”
Anak muda itu terperanjat,
kaget dan tidak menyangka dengan ucapan Pak Kyai.
“Kok begitu, Pak Kyai. Kok
malah mendoakan bapak saya dipukuli, dihajar oleh malaikat.”
Anak muda itu tersulut
kemarahannya. Pak Kyai kemudian menjawab.
“Lha, tadi kamu bilang: tahlil
atau doa itu tidak akan sampai kepada orang yang sudah mati. Kalau tidak
sampai, kenapa juga kamu marah kalau saya berdoa begitu.”
Wajah anak muda itu merah
padam. Entah marah atau karena malu. Sesaat kemudian ia langsung pamitan. Bahkan
tak lagi mengucap salam.
***