Sebuah
kesimpulan bahwa kinerja PNS masih rendah adaIah
diambil
dari proses generalisasi. Artinya tidak semua PNS rendah kualitasnya. Ada banyak
tenaga-tenaga muda PNS yang handal, penuh inovasi dan kreatif. Dan yang satu ini jarang terdengar. Rupanya ada juga pemilahan di kalangan
masyarakat antara PNS Dosen dengan PNS yang bekerja di kantor. Sehingga dapat
dikatakan bahwa selama ini yang menjadi sorotan adalah PNS yang bekerja
pada kantor-kantor pemerintah dan para guru.
Banyak
faktor yang mempengaruhi kinerja PNS. Faktor pertama yang sering diulang-ulang
adalah faktor gaji. Dikatakan gaji PNS masih
rendah. Jika yang dipakai adalah ukuran kota besar seperti Jakarta, maka hal
itu benar adanya. Akan tetapi, hal ini tidak dapat disamaratakan. Di daerah, status PNS menjadi dambaan masyarakat dan
terhormat.
Di satu
daerah Sulawesi dimana saya pernah bertugas, gaji PNS masih diatas rata-rata
penghasilan kebanyakan masyarakat. Ada seorang teman yang baru pindah dan akan memasukkan anaknya ke sebuah SD yang tergolong favorit di daerah tersebut.
Dia heran dan bertanya pada gurunya, kenapa bayaran sekolahnya kecil sekali,
jangan-jangan nanti anaknya tidak mendapatkan pendidikan yang layak hanya
gara-gara bayaran yang kecil. Ternyata jawaban guru tersebut menjelaskan
bahwa sekolah tidak tega menerapkan bayaran yang tinggi,
karena
kebanyakan masyarakat masih berpenghasilan dibawah rata-rata gaji PNS.
Bukan
berarti saya tidak setuju dengan kenaikan gaji.
Tetapi yang perlu
dipertimbangkan adalah kenaikan gaji PNS tidak harus merata di
seluruh daerah. Saya khawatir, kenaikan gaji PNS yang hampir setiap tahun memicu
sentimen di kalangan buruh dan petani. Apalagi selama ini nasib
petani selalu apes. Disaat sedang panen, harga komoditasnya
ajlok drastis. Akibatnya mereka sangat kecewa
dengan pemerintah, dimana didalamnya adalah kumpulan pejabat dan PNS.
Saya
mengusulkan adanya tunjangan kemahalan yang didasarkan pada tingkat inflasi di
masing-masing daerah. Selama ini ada istilah tunjangan irian jaya dan tunjangan
daerah terpencil. Tetapi ini tidak memunculkan asas keadilan karena ternyata di
daerah yang jelas-jelas terpencil seperti Binongko
atau daerah lainnya, PNS tidak mendapatkan tunjangan daerah terpencil karena
tidak ada keputusan pemerintah bahwa daerah tersebut terpencil. Ini mungkin terkait dengan gengsi pemerintah daerah yang tidak mau dikatakan
daerahnya terpencil.
Saat masih
bertugas di satu daerah di Sulawesi, saya pernah mempunyai tetangga yang baru
pindah dari Jayapura. Dia mengeluh ternyata barang-barang sembako di daerah tersebut lebih mahal dibandingkan dengan di Jayapura padahal di daerah tersebut, PNS tidak mendapatkan tunjangan kemahalan seperti tunjangan irja.
Jadi
kesimpulannya adalah seorang PNS yang hidup di Jakarta dengan gaya
bidup pas-pasan akan menjadi berlebih jika ia dipindahkan
ke daerah-daerah di Jawa Tengah dengan gaji yang sama. Atau dari wilayah
Indonesia timur ke pulau Jawa. Untuk itu perlu rasanya dirumuskan kembali
sistem penggajian yang lebih adil yang mempertimbangkan antara lain tingkat inflasi di daerah, tingkat kesulitan transportasi dan tingkat pendapatan masyarakat setempat.
Faktor
kedua adalah
tidak meratanya volume pekerjaan. Ada beberapa instansi yang mempunyai volume
kerja tinggi bahkan
harus kerja
lembur. Tetapi di kantor lain hampir tidak ada pekerjaan. Salah satu ciri beban
kerja instansi pemerintah adalah tidak setiap hari ada pekerjaan.
Artinya di minggu-minggu tertentu pekerjaan menumpuk tetapi di minggu-minggu berikutnya hampir tidak ada pekerjaan.
Saya kira tidak ada yang perlu disalahkan
karena
memang begitulah ciri khas beban kerja instansi pemerintah. Saya mengusulkan, bagi
instansi yang memiliki volume kerja sedikit adalah lebih baik untuk ditiadakan
dan digabung dengan instansi lainnya. Kecilnya volume kerja telah berpengaruh
pada mentalitas dan kreativitas PNS. Di beberapa instansi pada jam-jam kerja, para PNS terlihat hanya duduk-duduk mengobrol,
nonton TV, main catur dsb. Kita juga tidak bisa menyalahkan
PNS, karena penyebabnya adalah kecilnya volume kerja. Bila hal ini terus
dibiarkan akan berakibat pada keputusasaan dan kemalasan di kalangan PNS.
Faktor ketiga
adalah masalah
kepegawaian. Aturan kepegawaian yang telah tertata bagus kadang tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Salah satu penyebabnya adalah oknum yang menyalahgunakan
jabatan untuk mendapatkan keuntungan. Salah satu persoalan kepegawaian adalah
soal perpindahan pegawai. Apalagi setelah otonomi daerah. Bukan main susahnya
mengurus perpindahan pegawai antar daerah. Terutana bagi para PNS daerah. Mulai
dari mengurus kesediaan bupati/gubernur untuk melepas, sampai dengan
mendapatkan kesanggupan bupati/gubernur daerah yang dituju untuk menerima
pegawai tersebut. Ini tentu menjadi persoalan pelik yang bisa
membuat stres pegawai jika sistem atau mekanisme surat
menyurat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak adanya jaminan bahwa
urusannya akan selesai dengan menyerahkan semuanya pada mekanisme surat-menyurat
yang ada, telah
berakibat adanya uang pelicin, pungli dsb. Seorang PNS harus mengikuti kemana
surat itu berjalan untuk diselesaikan. Sehingga tidak sedikit ongkos yang
dikeluarkan untuk mengurus perpindahan pegawai. Di beberapa instansi hal ini juga terjadi bukan hanya untuk mengurus
pindah, tetapi juga pada kenaikan pangkat, kenaikan jabatan, prajabatan, dsb.
Di satu unit
eselon I sebuah kementerian, hampir dua tahun sekali seorang pejabat, untuk
kepentingan dinas, harus pindah dari suatu daerah
ke daerah lain. Misalnya ia mempunyai istri seorang guru SD yang notabene adalah PNS daerah. Dengan kondisi mekanisme pindah saat
ini, tentu akan menyulitkan bagi dia jika setiap 2 tahun harus
mengurus kepindahan istri dengan birokrasi yang cukup panjang. Maka diputuskan
selama itu pula
ia berjauhan dengan keluarganya. Tentu, menyarankan agar istrinya
keluar dari PNS
adalah bukan sebuah saran yang bijaksana dan jelas
melanggar hak sang istri sebagai seorang manusia untuk beraktualisasi melalui
pekerjaan. Keberhasilannya menjadi PNS adalah sebuah prestasi hidup yang pantas
dihargai karena telah melalui seleksi yang ketat.
Faktor
keempat adalah
kurangnya penghargaan bagi PNS yang berprestasi. Biasanya penghargaan yang diberikan kepada PNS adalah berdasarkan ukuran masa
kerja. Sehingga PNS yang mendapatkan penghargaan adalah PNS yang sudah berusia
tua dan akan segera
memasuki masa pensiun. Akibatnya penghargaan tersebut
hanya tinggal sebuah pigura yang dipasang di ruang tamu. Penghargaan ini tidak
memacu kinerja PNS karena mereka telah menyadari sebentar
lagi akan pensiun.
Kita memang seharusnya menghargai para PNS yang telah mengabdi selama
bertahun-tahun. Tetapi tentunya ini berbeda jika
penghargaan tersebut juga diberikan kepada PNS muda yang
kreatif dan inovatif. Dia akan terpacu untuk lebih meningkatkan
prestasinya. Salah satu bentuk penghargaan tersebut adalah bea siswa tugas
belajar.
Sekarang sering kita
dengar seorang PNS yang diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S1 atau
S2 baik di luar negeri maupun dalam negeri. Bea siswa tersebut diberikan berdasarkan hasil ujian seleksi. Materi ujiannya mungkin tak ada
kaitannya dengan pekerjaan. Maka dimungkinkan akan terjadi seperti ini : seorang PNS yang berprestasi dan sibuk dalam
pekerjaannya, sehingga tak ada waktu pada saat jam kerja untuk
belajar, jelas akan tersisihkan oleh mereka yang sedikit
pekerjaannya dan lebih banyak kesempatan untuk belajar materi ujian.
Terkadang
pula, seorang yang telah menyelesaikan studi beasiswa, belum tentu ia segera menguasai
pekerjaan di kantor, karena memang studinya tidak 100% terkait dengan
pekerjaan. Pemerintah tampaknya harus lebih kreatif menciptakan bentuk-bentuk penghargaan bagi PNS yang berprestasi dan tidak hanya silau pada hasil ujian
seleksi.