Suatu hari di ruang workshop SMA…
Dulu, ruang workshop SMA-ku terletak di belakang kelasku, IA. Saat itu, sedang
praktek mata pelajaran ketrampilan. Aku lupa, entah praktek masak atau
kerajinan lainnya... Tiba-tiba dibagikan
hasil ulangan matematika… Seperti biasa kami saling melihat berapa nilai yang
diperoleh teman-teman… Tapi seperti biasa juga, tidak semua teman yang mau
dilihat nilainya, mungkin saja karena nilainya jeblok…
Nilaiku lumayan bagus… Aku
penasaran dengan nilai salah seorang teman wanita. Aku coba rebut hasil ulangan
saat dia lengah. Dia marah. Tiba-tiba… Buk…!!
Punggungku terasa sakit. Tangan lembutnya menghantam punggungku. Aku ingat ada
seorang teman wanita lain, yang melihat kejadian itu. Aku lupa, entah apa
komentarnya saat itu…
Aku juga heran mengapa aku
penasaran sekali dengan nilainya… jangan-jangan waktu itu aku sudah mulai …
Sebelum masuk SMA, tepatnya saat
masih SMP, aku ingat sudah pernah ketemu dia sebelumnya. Dia dengan regunya
menjadi lawan regu kami saat lomba LCT P4 yang dilaksanakan dalam rangka HUT
Partai Kuning. Reguku menjadi juara kedua, dan regunya juara ketiga.
Satu hal yang selalu aku ingat
dari dia adalah gaya dia saat berjalan. Jalannya cepat. Di kalangan kelas I SMA
saat itu, dia yang pertama kali mengenakan pakaian kerudung. Dia juga aktif di
organisasi kesiswaan, OSIS dan pramuka. Bahkan, sejak kelas satu dia sudah
dibidik oleh para tetua Pramuka untuk dikader menjadi salah satu pimpinan pramuka.
Benar…, saat kegiatan
Pembantaraan Pramuka di Slondo Ngawi, dia bersama 10 teman lainnya dilantik
menjadi Bantara Pencoleng. Sebuah regu beranggotakan para elite pramuka yang
akan segera diserahi tugas untuk meneruskan kepemimpinan di Pramuka. Kenapa
namanya pencoleng? Aku juga tidak tahu.
Menjadi anggota pramuka dan ikut
latihan pramuka setiap sabtu sore adalah wajib bagi seluruh siswa kelas satu. Karena
rumahku jauh dan ngonthel sepeda, setelah
lonceng pulang sekolah, aku istirahat di sekolah sambil menunggu jam latihan
pramuka. Biasanya aku dibekali makan siang, atau kalau tidak, aku makan di
warung di sebelah utara sekolah.
Pelatih pramuka adalah para
bantara, siswa kelas dua. Tujuan utama dari latihan pramuka adalah untuk menggembleng
mental siswa kelas satu. Katanya. Kata siapa?... Hukuman push up, bentakan, gojlokan para pelatih, menjadi menu utama latihan pramuka. Tak
sedikit siswa kelas satu yang menangis karena ketakutan. Aku pikir latihan ini
tidak lebih dari ajang balas dendam siswa kelas dua, yang ketika mereka kelas
satu juga mendapat perlakuan yang sama dari kakak kelasnya. Dan begitu
seterusnya….. Syukurlah, aku dengar, saat ini latihan pramuka sudah tidak
segawat dulu lagi. Ini info shahih dari mantan Pradana jamanku yang sekarang
menjadi Pak Guru di SMA-ku.
Dalam hal pramuka, aku bukan
apa-apa, biasa-biasa saja. Tidak ada prestasi kepramukaan yang menonjol.
Anehnya, ketika hari terakhir pembantaraan di Slondo, aku ikut dilantik masuk
dalam kelompok Bantara Inti. Yang artinya, aku punya hak untuk ikut melatih
adik-adik kelas satu setelah aku naik kelas dua. Artinya, aku punya sertifikat
untuk menyuruh push up, membentak,
meng-gojlok, mengetes dan memaraf buku SKU (syarat kecakapan umum).
Padahal, fakta selama kegiatan
pembantaraan aku lebih banyak bertugas menjaga tenda alias korve. Bahkan saat
kegiatan penjelajahan yang bisa dikatakan kegiatan inti, aku juga korve, pokoke bantara korvelah… Lha ternyata..,
aku malah terpilih jadi Bantara Inti, meski bukan pencoleng.
Setelah aku pikir-pikir,
sepertinya ada kaitannya dengan kegiatan lain yang aku ikuti. Aku aktif di
IKRAM, wadah kegiatan remaja masjid sekolah. Sang ketua IKRAM saat itu, juga
merangkap sebagai Pradana alias Ketua Bantara. Aku dengar, saat ini IKRAM sudah
bubar, lebih tepatnya mungkin dibubarkan, karena dicurigai dijadikan wadah
untuk mencetak para radikalis oleh pihak-pihak luar. Padahal, kami yang para ‘assabiqunal awwalun’ termasuk diriku,
tidak ada yang jadi tokoh radikal. Ya, mungkin ini dampak setelah banyaknya bom
bunuh diri yang dilakoni oleh anak-anak muda.
Maka, tugasku sebagai bantara
inti pada saat pembantaraan siswa kelas satu di Kresek adalah sebagai marbot,
mengurusi kegiatan sholat berjamaah. Diluar jam sholat, tidak ada kegiatan yang
aku tangani. Biasanya aku dan Hendro pergi ke sungai, duduk-duduk di atas
bebatuan besar di tengah sungai, sambil ngrasani
tingkah-polah teman-temanku yang lain, yang sepertinya memanfaatkan momen
pembantaran untuk PDKT, untuk pacaran, untuk exis, dll, biasalah anak SMA…
Pada saat kegiatan penjelajahan,
masih tetap dengan Hendro, aku menunggu di pos di pinggiran sungai. Setiap kali
datang rombongan calon bantara, aku punya kesempatan untuk ngerjain mereka. Aku suruh mereka berendam atau baris-berbaris di
dalam sungai. Sementara aku berdiri diatas batu besar, calon bantara basah
kuyuh di sungai. Jujur, aku sejatinya tidak tega, karena tahun sebelumnya aku
tidak ikut dikerjain saat
penjelajahan, karena dapat jatah korve.
Andai saja ada lagi pembantaraan,
aku pengen ikut mendaftar, bukan sebagai
panitia, tapi sebagai peserta. Yang pasti, aku tidak bersedia lagi bertugas
korve. Paling tidak, targetku adalah menghapus stigma korve. Minimal, si Hendro
tidak lagi mengolok-olok diriku sebagai Bantara Korve, lebih-lebih jangan
sampai dia menyebutku Bantara Ecek-Ecek…