Rabu, 10 Desember 2014

WANG SINAWANG



Setiap orang menganggap kehidupan orang lain lebih enak.
Orang kota: “Orang desa itu hidupnya enak. Semua punya sendiri. Gabah, beras, sayuran, buah-buahan, semuanya tak usah beli. Kami, orang kota, semuanya serba beli dan mahal.”
Orang desa: “Siapa bilang enak? Memang benar semuanya milik sendiri, panenan sendiri. Tapi, semua harus bayarin orang. Kadang, modal dengan hasil panen ndak imbang. Pas panen harga anjlok.” “Lebih enak itu jadi pedagang. Barangnya banyak dan selalu pegang uang.”
Pedagang: “Enak apanya, barang banyak tapi modal utangan. Ini barang milik juragan di kota. Kalau sedang sial, habis kulakan, harga turun.., ya bonyok…”
“Paling enak itu ya pegawai negeri.. Tiap bulan terima gaji, pakaiannya bagus dan rapi. Kerja di kantor, tidak panas dan kehujanan.”
Pegawai negeri: “Sembarangan…. pakaiannya sih rapi, tapi kantong dan dompet lebih sering kempes. Habis terima gaji langsung ludes buat bayar cicilan. Berhari-hari sampai ubanan nungguin tanggal satu.”
“Lebih enak itu jadi tukang cukur. Dapat uang, bisa pegang-pegang kepala orang, bahkan kepalanya Bupati.”
Tukang cukur: “Cuman pegang kepala, apanya yang enak. Kalau salah cukur, malah didamprat orang…… Enak itu ya, tukang pijat. Bisa raba-raba badan dari kepala hingga kaki.”
Tukang pijat: “Megang-megang badan tapi ndak bisa lihat, apa enaknya…. paling enak itu ya bidan atau dokter kandungan…bisa lihat semuanya.”
Dokter kandungan -yang duduk disamping tukang pijat- menimpali dengan kalimat yang isinya hampir sama. Lalu, berlanjut pada pengacara disebelahnya, dan terus bersambung pada orang-orang dengan profesi yang berbeda. Semuanya menyebut orang lain lebih enak.

***