Senin, 04 Februari 2013

Arsip Lama : PPh Pasal 21 Untuk Para Guru Bantu

Seri Teknik Perbendaharaan (4)



(Sungguh berani sekali saya menuliskan sebagai Teknik Perbendaharaan…  Apa yang saya tulis adalah tata cara perbendaharaan jaman dulu atau bisa dikatakan sudah lewat jaman alias kedaluarsa. Namun, saya meyakini teknik atau pengetahuan ini akan berguna pada saatnya nanti, minimal sebagai wasilah untuk bernostalgia…)

***

Pada hari kamis tanggal 17 Juli 2003 yang lalu, ratusan guru bantu berunjuk rasa menolak PPh. Begitu isi berita pada harian ini yang dilansir esok harinya. Saya yang hampir setiap hari berurusan dengan masalah pajak bahkan terkadang saya kena teguran dari atasan karena kurang dalam pemotongan pajak, hanya tertawa dalam hati. Kita berbaik sangka saja seperti nasehat Aa' Gym. Saya kira ini bukan penyimpangan yang disengaja tetapi tidak lebih dari pemahaman yang kurang atau mungkin juga salah penafsiran dari pihak Diknas mengenai masalah PPh. Untuk itu melalui tulisan ini, saya mencoba untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya pengenaan PPh ini.

Ada beberapa macam PPh, seperti PPh pasal 21, PPh pasal 22, pasal 23 dsb. Dalam kasus guru bantu tersebut, PPh yang dikenakan adalah PPh pasal 21. Tentang PPh ini dapat kita baca dalam Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 yang merupakan penjabaran UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.

Dalam kasus guru bantu diatas memang terdapat kesalahan dalam pengenaan tarif. Tarif PPh 15% tidak tepat dikenakan untuk guru bantu. Tarif 15 % adalah tarif final yang dikenakan atas penghasilan diluar gaji yang berupa honorarium, uang sidang, uang lembur, atau imbalan lain dengan nama apapun khusus bagi pejabat negara, PNS, TNI/Polri dan para pensiunannya. Itu pun bagi PNS hanya dikenakan bagi mereka yang sudah golongan tiga keatas. Contoh : Suatu instansi mengadakan pelatihan dan membayar honor kepada Fulan (PNS gol.3) sebagai pengajar sebesar Rp. 1 juta. Maka PPh-nya adalah 15% dikalikan Rp. 1 juta yaitu Rp. 150.000 dan bersifat final artinya langsung dikenakan tanpa ada pengurangan.

Maka, karena guru bantu bukan PNS, tarif 15% tidak berlaku bagi penghasilan mereka. Sesuai Keputusan DJP diatas, tarif yang tepat adalah 5%. Sehingga pengenaan PPh yang tepat bagi mereka para guru bantu adalah 5% dikalikan Rp. 460.000.-(gaji mereka). Jadi potongan PPh para guru bantu tersebut adaIah Rp. 23.000,- setiap bulan.
Jika kemudian para guru bantu menyatakan menolak adanya potongan PPh, saya rasa mereka akan terhalang oleh ketentuan yang ada dalam Keputusan Dirjen Pajak tersebut. Jadi, tidak mungkin potongan PPh tidak dikenakan bagi para guru bantu kecuali Ditjen Pajak melakukan revisi untuk menghapuskan ketentuan PPh bagi para guru bantu. Saya rasa ini pun bukan hal yang gampang karena harus melalui proses yang panjang.

Jalan keluar yang lebih masuk akal adaIah memperkecil potongan PPh. Bagaimana caranya? Itu yang harus kita pikirkan. Untuk itu marilah kita mulai dengan menghilangkan pikiran untuk meniadakan PPh dan beralih menuju pertanyaan, adakah formula yang tepat untuk memperkecil potongan PPh bagi para guru bantu termasuk juga para guru kontrak, guru tidak tetap dan para pegawai honor lainnya.

Cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memecah komponen penghasilan mereka. Jika selama ini dalam daftar pembayaran dan pertanggungjawaban bendahara gaji guru bantu, hanya tercantum gaji/upah atau honor, maka kemudian dibagi menjadi dua unsur yaitu honor dan biaya transport lokal. Dengan cara ini maka potongan PPh akan menjadi lebih kecil karena PPh hanya dikenakan atas unsur honor, sedangkan biaya transport bebas dari PPh. Contoh : dari penghasilan Rp. 460.000 misalkan dibagi menjadi dua unsur yaitu honor sebesar Rp. 340.000 dan biaya transport sebesar Rp.120.000.  Sehingga potongan PPh adalah 5% X Rp.340.000 =Rp.17.000.

Jika ingin menempuh jalan ini, yang perlu diperhatikan adalah ketika penyusunan anggaran untuk alokasi pembayaran penghasilan para guru bantu tersebut. Jika ini menyangkut APBN maka sebaiknya dialokasikan dalam anggaran belanja pembangunan seperti pembayaran gaji guru kontrak. Dalam dokumen anggaran yaitu daftar isian proyek (DIP) atau SKO, dana tersebut akan dibebankan dalam belanja modal non fisik yang nantinya akan dilaksanakan secara swakelola. Dalam belanja modal non fisik tersebut terbagi menjadi empat komponen pengeluaran yaitu bahan, gaji upah, perjalanan dan lain-lain. Dengan demikian unsur honor/gaji dalam penghasilan guru bantu dialokasikan dalam komponen pengeluaran gaji upah, dan untuk biaya transport dialokasikan dalam komponen perjalanan. Hal yang sama juga dapat dilaksanakan jika penghasilan guru bantu dibebankan dalam APBD.

Bagaimana jika sekarang sudah terlanjur hanya dibebankan dalam komponen pengeluaran gaji upah ? solusinya adalah lakukan revisi dokumen anggaran. 
(Pernah dimuat di Koran Kendari Pos, Kamis, 31 Juli 2003, hal.4)