Selasa, 29 Desember 2015

TERMINAL BUNGURASIH DIKALA LONG WEEKEND



Saya sudah hampir dua tahun melintasi jalur Surabaya-Madiun. Saya juga tahu persis kondisi Terminal Bungurasih di akhir pekan atau saat liburan. Maka, saya merasa sudah pantas untuk menyampaikan uneg-uneg, bisa berupa kritik ataupun saran mungkin juga cemoohan. Biar saja…
Begini.
Saya mulai dengan satu kesimpulan: Terminal Bungurasih tidak pernah siap menghadapi lonjakan penumpang disaat liburan bahkan hanya sekedar long weekend, seperti Jumat libur atau Kamis Jumat libur. Para penumpang harus menunggu berjam-jam untuk bisa naik bus.
Saya sering tiba di terminal sekitar pukul 8 malam. Penumpang sudah bejibun menunggu bus yang tak jelas kapan tiba dari pool atau berangkat dari parkiran. Yang semestinya orang-orang menunggu di “tempat menaikkan penumpang”, mereka sudah tak sabar dan berduyun-duyun menuju parkiran bus. Mereka dengan (mungkin) rasa dongkol menunggu di depan pintu bus yang masih parkir. Ketika pintu dibuka, orang-orang berjubel masuk ke dalam bus yang hanya ada dua pintu, depan dan belakang. Kalau sudah begitu, tak ada lagi urusan dengan usia, jenis kelamin, jabatan, pangkat atau status sosial. Semua berebut masuk. Siapa cepat, ia yang dapat kursi. Jadi, ketika bus menuju “tempat menaikkan penumpang”, sudah tak ada lagi kursi kosong, malah sudah ada yang rela berdiri. Mengapa penumpang rela berdiri? Karena tak ada informasi masih adakah bus berikutnya.
Saya tak habis pikir bagaimana sebenarnya pihak otoritas terminal mengantisipasi lonjakan penumpang ini. Saya yakin mereka sudah tahu akan terjadi lonjakan penumpang. Trend itu sudah bisa dibaca. Mestinya mereka bisa mengatur supply bus yang akan mengangkut penumpang. Saya menduga koordinasi sejak dini dengan pihak PO tidak pernah dilakukan.
Pihak terminal juga tidak pernah memberikan informasi ketersediaan bus. Mereka hanya sekedar memberikan peringatan agar berhati-hati dengan dompet dan barang bawaan. Nihilnya informasi juga mendorong penyalahgunaan atau penggunaan kesempatan pihak kru bus untuk mengambil keuntungan. Bus patas (yang ecek-ecek) yang seharusnya tidak boleh ada penumpang yang berdiri, juga dipenuhi penumpang yang rela tersiksa berdiri selama perjalanan. Kadang, pihak kru bus membujuk atau mungkin berbohong bahwa tak ada lagi bus. “Ini bus terakhir…,” kata mereka. Dan penumpang tak punya sarana untuk mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut.
Maka, kemudian sebagian orang berbondong-bondong memilih untuk naik dari lokasi atau pool bus. Akibatnya, dari pool, bus sudah penuh penumpang. Sehingga, bus tak perlu lagi berangkat menuju terminal dan langsung berangkat ke kota tujuan. Kalau pun tetap ke terminal, mungkin hanya sekedar laporan atau untuk membayar retribusi. Dan karena bus sudah penuh penumpang, orang yang naik dari terminal tak dapat tempat duduk alias berdiri. Iya kalau perjalanan lancar, kalau macet? Bisa rasa remuk di badan. Orang yang pengennya liburan, malah dapatnya masuk angin dan kecapekan.
Jika hal tersebut dibiarkan, artinya orang-orang memilih naik dari pool, lalu apa gunanya terminal?
Bersambung…… (mungkin)

***

Kamis, 26 November 2015

Sandal Akik


Hari sudah makin sore. Perjalanan masih tersisa 10 km. Ia belum sholat ashar. Tepat di depan masjid pinggir jalan, ia berhenti.


Sepeda motor ia parkir di halaman samping. Kunci stang dan kunci ganda lainnya, ia aktifkan. 
“Aduh, ndak ada penitipan sandal,” gumamnya. 
“Padahal ini sandal akik..., mahal lagi...” 
Ia gelisah. Tapi waktu ashar tinggal setengah jam. Ia taruh sandalnya pada tempat yang agak tersembunyi. Buru-buru ia ambil air wudhu dan menunaikan sholat ashar.


Khawatir sandalnya diambil orang, ia percepat gerakan dan bacaan sholat. Sama sekali tidak khusyu’, karena pikirannya tertuju pada sandal  akik seharga hampir sejuta yang ia beli minggu lalu itu. Selesai salam, ia langsung bangkit dan bergegas menuju tempat sandal.
“@@$$**##…!” Batinnya mengumpat.
Ia kalah cepat. Sandalnya sudah tidak ada.   

Ia masih berharap barangkali ada orang yang meminjamnya sebentar dan menaruhnya di tempat lain. Mondar-mandir ia mencari sandal di sekitar halaman masjid. Tak ada.


Lalu, ia duduk merenungi sandalnya yang hilang. Dalam hati, ia terus mencacimaki si pencuri sandal.

Tiba-tiba, datang seorang pria yang juga hendak sholat. Pria itu duduk kira-kira 2 meter dari tempatnya. Ia melirik pria itu melepas sesuatu dari kakinya. Jantungnya berdesir.
Alhamdulillah,” bisiknya.
Dalam hati ia berkata: “aku hanya kehilangan sandal, pria itu kehilangan satu kakinya… “Astaghfirullah…” 
Ia melihat pria itu masuk ke serambi masjid dengan terpincang-pincang.

***