Senin, 17 Desember 2012

Penetapan Pimpro Proyek Dekonsentrasi Wewenang Siapa?

Seri Teknik Perbendaharaan (2)



(Sungguh berani sekali saya menuliskan sebagai Teknik Perbendaharaan…  Apa yang saya tulis adalah tata cara perbendaharaan jaman dulu atau bisa dikatakan sudah lewat jaman alias kedaluarsa. Namun, saya meyakini teknik atau pengetahuan ini akan berguna pada saatnya nanti, minimal sebagai wasilah untuk bernostalgia…)

Tulisan dibawah ini saya buat untuk merespon situasi saat itu. Tulisan ini pernah dimuat di koran : Kendari Pos, Selasa, 11 Juni 2002 pada rubrik Opini hal 8. 

Dalam UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang merupakan dasar pelaksanaan otonomi daerah, disebutkan bahwa diantara pemerintah propinsi, kabupaten dan kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Meski propinsi tetap sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat namun dalam UU otonomi tersebut propinsi tidak diletakkan pada posisi yang berjenjang sehingga segala koordinasi pemkab/kota akan langsung ke pusat. Hal ini tertuang secara gamblang dalam pasal 4 UU No. 22 tahun 1999.

Namun demikian dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi, gubernur selaku wakil pemerintah pusat melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten dan kota. Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainya. Lebih lengkap dalam penjelasannya menerangkan bahwa kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan dan perkebunan. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya adalah :
  1. perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro ;
  2. pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial dan penelitian yang mencakup wilayah propinsi ;
  3. pengelolaan pelabuhan regional ;
  4. pengendalian lingkungan hidup ;
  5. promosi dagang dan budaya/pariwisata ;
  6. penanganan penyakit menular dan hama tanaman ;
  7. perencanaan tata ruang propinsi.
Lebih lanjut dalam ayat (3), masih dalam pasal 9, menyebutkan bahwa kewenangan propinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah.

Masih berkaitan dengan kewenangan gubernur, dalam UU No. 25 tahun 1999 pasal 17, diatur sebagai berikut :
Ayat (1) menyebutkan bahwa pembiayaan dalam rangka dekonsentrasi disalurkan kepada gubernur melalui departemen/LPND yang bersangkutan.
Ayat menyatakan (2) bahwa pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur kepada pemerintah pusat melalui departemen/LPND yang bersangkutan.

Implementasi dari pasal 17 UU No. 25 tahun 1999 diatas adalah lebih tertuju pada pelaksanaan proyek-proyek dekonsentrasi. Disitu sangat jelas bahwa gubernur sebagai pelaksana dekonsentrasi telah diberikan kewenangan dalam pelaksanaannya. Salah satu kewenangan tersebut adalah dalam hal penetapan pimpro/pimbagpro dan bendaharawan proyek/bagpro. Hal ini telah diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No.523/KMK.03/2000 tanggal 14 Desember 2000 tentang Tatacara Penganggaran, Penyaluran Dana, Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Pada pasal 5 ayat (2) KMK tersebut menyebutkan bahwa pada setiap awal tahun anggaran gubernur menetapkan pemimpin proyek/bagian proyek dan bendaharawan proyek/bagian proyek untuk pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi. Namun demikian dalam pelaksanaannya tidak semulus yang diharapkan. Berbagai masalah muncul berkaitan dengan penetapan pemimpin/bendaharawan proyek/bagpro. Berbagai masalah muncul berkaitan dengan penetapan pemimpin/bendaharawan proyek/bagpro. Salah satunya adalah kasus proyek-proyek Pertanian dan Nakertrans. Pada pelaksanaan proyek-proyek tersebut, SK penetapan pimpro dan bendaharawan dikeluarkan oleh Gubernur Propinsi Sultra.

Dalam SK pengangkatan, pimbagpro/bendaharawan yang ditunjuk adalah para pegawai di lingkungan Dinas Pertanian maupun Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini sudah tepat dan sesuai dengan  pasal 63 UU No.22 tahun 1999 yang isinya menyatakan bahwa penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah kepada gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Propinsi.

Namun yang perlu diperhatikan adalah ternyata proyek-proyek diatas berlokasi di Kabupaten dengan kantor bayar Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) yang ada di ibukota kabupaten pula, sementara itu para pimbagpro/bendaharawan tersebut berkedudukan di Propinsi yaitu Kendari. Hal ini bertentangan dengan Keppres 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan APBN pasal 41 ayat (5). Disana dijelaskan bahwa pemimpin dan bendaharawan proyek berkedudukan di lokasi proyek atau ibukota kabupaten/kota terdekat. Dengan kata lain bahwa seharusnya untuk proyek-proyek diatas, pimbagpro/bendaharawan diangkat dari Dinas Pertanian/Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi  Kabupaten yang berkedudukan di ibukota Kabupaten. Namun lagi-lagi jika ini dilaksanakan akan bertentangan dengan pasal 63 UU No.22 tahun 1999 selain tidak adanya hubungan hierarkis antara pegawai dinas kabupaten dengan gubernur atau dapat dikatakan dalam pelaksanaan tugasnya dinas kabupaten bertanggungjawab hanya kepada bupati dan bukan kepada gubernur.

Ketentuan mana  yang dimenangkan, jelas UU karena secara hierarkis lebih tinggi dibandingkan dengan Keppres. Namun yang perlu diperhatikan adalah konsekuensi dari penetapan pimpro/bendaharawan tersebut. Dalam kenyataannya hal ini telah menimbulkan implikasi yang tidak baik bagi pelaksanaan dan pertanggungjawaban proyek tersebut.
Implikasi dari penetapan SK pengangkatan pimpro/pimbagpro dan bendaharawan proyek-proyek diatas adalah :
Pertama, menambah pengeluaran dengan adanya biaya perjalanan para pelaksana proyek ke lokasi proyek atau dalam rangka pengajuan permintaan dana ke KPKN yang ada di kabupaten yang menempuh jarak cukup jauh selain ditambah biaya penginapan dan akomodasi lainnya. Jika ini terjadi setiap minggu, berapa dana yang habis hanya untuk mondar-mandir.
Kedua, pimpro tidak selalu berkedudukan di lokasi proyek sehingga mengakibatkan pengawasan terhadap pelaksanaan proyek tidak bisa intensif yang akibatnya menjadi kurang efektif. Dalam pasal 42 Keppres 17 tahun 2000 dijelaskan bahwa pemimpin proyek/bagpro bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek/bagpro sebagaimana ditetapkan dalam DIP atau dokumen lain yang disamakan, baik dari segi keuangan maupun dari segi fisik.
Ketiga, akan menimbulkan kecemburuan pada pihak Dinas Kabupaten karena para pelaksana proyek adalah dari Dinas Prop. Sultra. Bagaimana jika kemudian sang bupati sebagai penguasa daerah tidak “legowo” dan tidak mengijinkan alias melarang pelaksanaan kegiatan dalam rangka proyek-proyek diatas. Apalagi jika bupati dengan gubernur selama ini tidak pernah akur karena masalah politik. Dan kenyataannya memang demikian. Apa tidak tambah runyam ?
Keempat, akan menimbulkan kesan yang kurang bagus bagi dinas propinsi. Seperti misalnya proyek-proyek pertanian yang semuanya dilaksanakan oleh dinas propinsi. Jika untuk semua kabupaten/kota di Sultra yang berjumlah 5 kab/kota ditambah wilayah propinsi sendiri dan dengan beberapa jenis proyek diatas, dapat kita bayangkan maka hampir semua pegawai pada dinas pertanian akan bertindak sebagai pelaksana proyek. Apa mereka hanya akan mengurusi proyek-proyek tersebut dan bagaimana dengan tugas-tugas rutin yang selama ini mereka digaji untuk itu ?
Kelima, dalam proses pengadaan barang/jasa akan bertentangan dengan Keppres 18 tahun 2000. Dapat dipahami bahwa karena pimpro/bendaharawan berkedudukan di Kendari maka proses pengadaan barang/jasa untuk proyek-proyek diatas akan dilakukan di Kendari dan bukan di lokasi proyek. Hal ini bertentangan dengan Keppres Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa salah satu kebijakan umum pemerintah dalam pengadaan barang/jasa adalah : meningkatkan peran serta usaha kecil, koperasi, LSM dan masyarakat setempat dalam pengadaan barang/jasa. Begitu juga dalam pasal 7 yaitu salah satu tugas pokok pimpro/pimbagpro dalam pengadaan barang/jasa antara lain adalah : menetapkan paket-paket pekerjaan serta ketentuan mengenai kewajiban penggunaan produksi dalam negeri dan perluasan kesempatan usaha bagi usaha kecil dan koperasi kecil, LSM serta masyarakat setempat. 
Keenam, jika proyek-proyek diatas berakhir akan timbul masalah mengenai penyerahan proyek tersebut, kemana proyek tersebut akan diserahkan ke kabupaten atau ke propinsi. Dalam Keppres 18 tahun 2000 pasal 7 dijelaskan bahwa salah satu tugas pokok pimpro/pimbagpro dalam pengadaan barang/jasa dalam rangka pelaksanaan proyek antara lain adalah : menyerahkan aset proyek dengan berita acara kepada pejabat yang berwenang pada instansi yang bersangkutan setelah proyek dinyatakan selesai. Lebih lanjut dalam Keppres 17 tahun 2000 pasal 49 ayat (5) dijelaskan bahwa dalam hal ini pemerintah daerah yang ditetapkan sebagai pengelola dan penanggung jawab dari proyek-proyek wajib mengatur penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan melalui APBD. Jelas dalam hal ini propinsi yang bertanggung jawab untuk menyediakan biaya operasional dan pemeliharaan. Sementara itu sebenarnya lokasi proyek berada dalam wilayah Kabupaten. Yang menjadi pertanyaan apakah sanggup propinsi menanggungnya. Apakah tidak timbul kekhawatiran propinsi berlepas tangan dengan alasan lokasi proyek berada di kabupaten.

Untuk itu sebagai langkah berikutnya dalam pelaksanaan proyek-proyek dekonsentrasi di masa mendatang dan tidak hanya berlaku di Sultra serta untuk memperkecil akibat-akibat sebagaimana uraian diatas dapat dikemukakan solusi sebagai berikut :
Pertama, ditetapkan pimpro/bendaharawan dari pegawai Dinas Kabupaten yang tentunya lebih mengetahui dan memahami berbagai permasalahan yang timbul di daerahnya sendiri. Sedangkan persoalan pertanggungjawaban dapat diambil langkah koordinasi antara gubernur, bupati, kepala dinas kabupaten dan kepala dinas propinsi. Dan ini nyatanya hal ini dapat dilaksanakan pada proyek kesehatan. Dalam penetapan SK yang ditunjuk adalah pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten. 
Kedua, apabila memang hal itu telah menjadi tugas dan kewenangan Dinas Prop. yang berkedudukan di ibukota propinsi maka lebih baik jika kantor bayarnya adalah KPKN yang juga berkedudukan di Propinsi. Sedangkan dalam pelaksanaan lapangan di Kabupaten dapat ditunjuk pemimpin pelaksana lapangan beserta bendaharawan pemegang uang muka cabang dari Dinas Kabupaten. Dapat kita bayangkan bagaimana jika hal ini terjadi di Papua dimana pimpro/bendaharawan berkedudukan di Jayapura sedangkan lokasi proyek serta kantor bayar (KPKN) ada di Wamena atau Merauke yang letaknya sangat jauh. Begitu juga bila terjadi di Sumut yaitu pimpro/bendaharawan dari dinas propinsi yang ada di Medan sementara proyek dan kantor bayar (KPKN) ada di pulau Nias yaitu di Gunung Sitoli. Apakah tiap saat dia harus terbang dari Medan/Papua ke lokasi proyek. Berapa dana yang habis dengan percuma. Apakah hal ini tidak bertentangan dengan pasal 10 Keppres 17 tahun 200 yang menjelaskan bahwa  prinsip pelaksanaan APBN adalah hemat, tidak mewah, efisien, efektif, terarah dan terkendali.
Ketiga, karena penetapan pimpro/bendaharawan menjadi kewenangan gubernur maka dapat diambil jalan tengah yaitu ketika masih dalam pembahasan proyek. Jika pimpro/bendaharawan ditetapkan dari propinsi maka sebaiknya ditetapkan kantor bayar dalam Daftar Isian Proyek (DIP) adalah KPKN yang ada di propinsi dan sebaliknya jika pimpro/bendaharawan ditetapkan dari dinas kabupaten maka dapat ditetapkan kantor bayar adalah KPKN yang ada di kabupaten tersebut. 
Keempat, untuk selanjutnya hal ini perlu diatur kembali dalam sebuah ketentuan yang mengikat semua pihak dan tidak bertentangan satu sama lain serta tidak lagi memerlukan banyak penafsiran sehingga jelas dalam pelaksanaannya.