Kamis, 21 Maret 2013

Tata Cara Penulisan Kwitansi Sebagai Lampiran SPP-GU pada Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana PHLN

Seri Teknik Perbendaharaan (5)
 
(Sungguh berani sekali saya menuliskan sebagai Teknik Perbendaharaan…  Apa yang saya tulis adalah tata cara perbendaharaan jaman dulu atau bisa dikatakan sudah lewat jaman alias kedaluarsa. Namun, saya meyakini teknik atau pengetahuan ini akan berguna pada saatnya nanti, minimal sebagai wasilah untuk bernostalgia…)

***

Berbeda dengan SPP-LS pada proyek berbantuan luar negeri, dimana penulisan nilai kwitansi berdasarkan BAP, pada penulisan kwitansi untuk lampiran SPP-GU menimbulkan pertanyaan karena tidak mempersyaratkan BAP dan belum ada petunjuk yang menjelaskan hal demikian. 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain :
-Nilai apa yang ditulis dalam kwitansi, nilai kontrak ataukah nilai fisik?
-Bagaimana penulisan untuk pembagian porsi?
Pertanyaan diatas muncul setelah adanya LHP Kanwil terhadap beberapa kwitansi pada lampiran SPP-GU Bagpro PUK (ADB-DHS) Kab.Muna. Salah satu kwitansi tersebut adalah sebagai berikut :
Adapun LHP Kanwil terhadap kwitansi diatas adalah sebagai berikut :

Inti dari LHP Kanwil adalah telah teIjadi kelebihan porsi ADB dan harus disetorkan kembali ke rekening kas negara. Temuan ini muncul karena perbedaan pandangan mengenai pencantuman nilai kwitansi, selain belum ada SE DJA yang mengaturnya. Ada dua pendapat berkenaan dengan pencantuman nilai kwitansi. Pendapat I beranggapan bahwa nilai kwitansi adalah sama dengan nilai kontrak (bruto), sedangkan Pendapat II menganggap bahwa nilai kwitansi adalah nilai fisik. Apa yang melandasi kedua pemikiran tersebut ? Berikut ini adalah alasan-alasan yang menjadi pembenaran masing-masing.


Untuk itu disini penulis mencoba mengusulkan tata cara baru tentang penulisan dan sekaligus pembuatan kwitansi untuk lampiran SPP-GU pada proyek berbantuan luar negeri, dengan mengambil jalan tengah dari kedua pendapat diatas. Dari contoh kwitansi diatas maka dapat diusulkan perubahannya menjadi berikut ini :


Dari kwitansi tersebut, hal-hal pokok yang diusulkan adalah :
  1. Nilai kwitansi adalah nilai kontrak. Hal ini untuk memudahkan mengontrol batas pembayaran UYHD sampai dengan Rp. 5 Juta;
  2. Adanya Rincian Perhitungan sumber dana sebagaimana contoh diatas. Ini untuk memudahkan perhitungan porsi masing-masing dan berapa PPN yang harus dipungut;
  3. Satu kwitansi digunakan untuk lampiran 2 SPP yaitu SPP dana PHLN (RK) dan SPP dana pendamping (RM). Asli kwitansi dilampirkan pada SPP RM sedangkan salinannya dilampirkan pada SPP RK. Besarnya SPP atau SPM yang diterbitkan adalah SPP RK sebesar nilai fisik PHLN dan SPP RM sebesar nilai fisik RM ditambah PPN dipungut.
Selanjutnya yang juga menarik untuk kita cermati adalah apa yang terakhir diungkapkan oleh pendapat II yaitu bagaimana dengan penulisan SPTB untuk proyek bantuan luar negeri ? Ini perlu dibedakan dengan SPTB untuk proyek non BLN ataupun belanja rutin. Berdasarkan SE DJA NO.SE-157/A/2002 tanggal 17-9-2002, SPTB adalah untuk menampung bukti-bukti pembayaran berjumlah kurang dari Rp. 1,5 juta. Sedangkan batas tidak dipungut PPN adalah pembayaran sampai dengan Rp. 1 juta. Disinilah yang menimbulkan kerumitan. Untuk nilai pembayaran sampai dengan Rp. 1 juta mungkin tidak akan mengalami masalah karena tidak dipungut PPN, tetapi bagaimana dengan nilai diatas Rp. 1 juta sampai dengan kurang dari Rp. 1,5 juta ?

Karena pembayaran diatas Rp. 1 juta harus dipungut PPN, maka untuk nilai diatas Rp 1 juta s/d Rp. 1,5 juta harus diperlakukan sama dengan nilai Rp. 1,5 juta keatas yang menggunakan kwitansi, dimana perhitungan nilai kontrak, nilai fisik maupun porsi masing-masing harus jelas. Apakah KPKN tidak akan mengalami kesulitan dalam pemeriksaan SPP karena untuk satu kegiatan tersebut dibiayai oleh dua sumber dana yang terbagi dalam dua SPTB yang didalamnya tidak tercantum perhitungan porsi? Oleh karena itu, penulis mengusulkan agar jumlah pembayaran (nilai kontrak/termasuk PPN) diatas Rp. 1 juta tetap menggunakan kwitansi sebagaimana contoh kwitansi diatas. Hal ini merupakan perkecualian terhadap ketentuan SPTB pada SE DJA No.SE-157/A/2002 tanggal 17 September 2002.
Selanjutnya kembali pada persoalan jumlah pembayaran sampai dengan Rp. 1 juta, temyata ini pun belum tentu selesai sampai disitu. Diatas penulis mengatakan mungkin. Persoalan yang timbul adalah perbedaan penafsiran kata-kata "tidak perlu dipungut PPN" sebagaimana dalam SE DJA No.SE-85/A.6/2001 tanggal 26 Juni 2001 tentang Juklak Pemungutan PPN dan PPn BM oleh KPKN dan Bendaharawan. Apakah kalimat tersebut bisa dimaknai "tidak ada PPN" yang berarti nilai kontrak sama dengan nilai fisik. Ataukah harus dimaknai "tetap ada PPN tetapi tidak dipungut" ? Jika pilihannya adalah yang pertama, maka "no problem" karena tidak ada lagi perbedaan antara arti kata "nilai kontrak" dan "nilai fisik", sebab keduanya sama saja. Dalam hal ini penggunaan SPTB tidak mengalami kesulitan. Namun jika jawabannya adalah yang kedua, maka kita harus konsisten dengan tetap memperhitungkan porsi masing-masing. Dan jika pilihan kedua yang benar, penggunaan kwitansi akan mempermudah perhitungan dan pemeriksaan oleh KPKN. Sedangkan penggunaan SPTB untuk proyek berbantuan luar negerl cukup digunakan untuk pembayaran honor/lembur/gaji upah dan biaya perjalanan dinas yang kurang dari Rp. 1,5 juta serta pembayaran lainnya yang secara jelas dan nyata tidak ada unsur PPN didalamnya.