Saya ingin menyampaikan sesuatu yang sudah lama mengendap dalam pikiran saya.
Sesuatu itu berupa gagasan, keluhan dan harapan bagi peningkatan mutu dan
kualitas guru demi masa depan pendidikan yang lebih cemerlang di masa depan.
Pertama, pada setiap pemilu, guru menjadi komoditas politik.
Guru seringkali mendapat janji-janji
yang berujung dengan pengingkaran. Saya berharap para guru tidak
putus asa dan “nglokro”. Terbukti
sekarang sebagian dari para guru telah menerima tunjangan sertifikasi. Hendaklah kita selalu berpikir positif dan
senantiasa meningkatkan mutu dan kualitas diri. Disaat tayangan TV yang lebih
banyak tidak mendidik, lingkungan pergaulan anak yang semakin tidak kondusif
dan lingkungan keluarga yang makin memprihatinkan karena KDRT akibat tekanan
ekonomi, satu-satunya harapan adalah sentuhan tangan para guru. Kepada mereka,
kita titipkan anak kita di sekolah. Baik-buruknya masa depan bangsa ini sangat
ditentukan oleh mutu pendidikan yang diberikan pada generasi penerus, yaitu anak-anak
kita.
Kedua, Ada pepatah yang sering kita dengar yaitu “guru kencing berdiri,
murid kencing berlari”. Pepatah itu selalu mengingatkan kita, para guru, untuk
selalu berhati-hati dalam bertingkah laku dan bertutur sapa dihadapan murid. Hal
ini saya kira sudah sangat kita pahami. Kita pun sebagian besar sudah hafal
point-point kode etik guru. Tetapi, sebagaimana umumnya yang terjadi di negeri
ini, bahwa antara aturan atau kode etik dengan realitas terkadang selalu
bertolak belakang. Tidak cukup kita menghukum siswa yang merokok di sekolah,
jika ternyata sang guru juga terus saja merokok di sekolah. Memarahi siswa yang
terlambat akan hanya sia-sia belaka jika sang guru tiap hari juga selalu
terlambat mengajar. Begitu seterusnya. Bangsa kita, termasuk para siswa, masih
sangat dipengaruhi dan melihat contoh atau teladan para pemimpin atau tokoh
dalam sebuah komunitas. Untuk itu, kritik agar para guru juga melakukan
instropeksi diri adalah sesuatu yang pantas kita terima dengan lapang dada.
Ketiga, sebelum gaji PNS membaik dan sebelum kebijakan sertifikasi, jujur kita katakan bahwa sesungguhnya
ketika kita lepas SLTA dan hendak melanjutkan kuliah, sedikit dari kita yang
bercita-cita ingin menjadi seorang guru. Pilihan ingin menjadi dokter, insinyur
atau profesi lainnya lebih menarik dibandingkan dengan keinginan menjadi guru. Saya
ingin mengatakan bahwa sebagian dari kita memilih menjadi guru adalah lebih dikarenakan faktor
ketidakberhasilan kita akan pilihan lainnya. Seseorang yang gagal UMPTN,
kemudian ia mendaftar di PGSD atau mendaftar di sebuah PTS fakultas FKIP. Maka,
tak heran, orang-orang yang kemudian menjadi guru bukanlah anak-anak yang dulu
di sekolah dalam kategori pintar dan rangking di kelas, tetapi mereka yang memiliki
kemampuan sedang atau rata-rata pada umumnya. Kita tidak perlu marah atas
realitas ini. Tetapi, ini menjadi dorongan bagi kita untuk lebih meningkatkan
kualitas diri. Dalam perkembangan ilmu modern, telah terbukti bahwa kemampuan
IQ tidaklah cukup untuk modal mencapai kesuksekan tanpa adanya kemampuan EQ. Dan
ada kecenderungan EQ lebih utama daripada IQ. Ini kemudian yang menjadi sesuatu yang
menghibur dan melegakan hati.