"Saya ditempatkan di Rumah
Tangga".
Itulah bunyi sms-ku untuk menjawab sms temandi seberang sana. Seperti yang
telah saya duga sebelumnya bahwa di tempat baru saya pasti ditaruh di bagian
umum. Tak ada rasa kecewa maupun senang, biasa saja! Saya sudah bisa membayangkan
suka dukanya di bagian Rumah Tangga. Saya enjoy
saja, bahkan kalimatku sebelum ini harus saya ralat menjadi tak ada dukanya di
rumah tangga. Mengapa? Karena tak ada pekerjaan yang mendesak, bahkan tidak
banyak pekerjaan alias banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan. Salah satunya
duduk di depan komputer untuk menulis.
Maka, melalui tulisan saya mencoba untuk menuangkan uneg-uneg tentang kerumahtanggaan dan mungkin malah ngelantur kemana-mana. Saya membayangkan
begini : Pada suatu saat, entah tahun berapa, Pemerintah menghendaki suatu
laporan tentang inventaris kekayaan negara pada masing-masing instansi, berapa
luas tanah, nilai bangunan, nilai semua perabotannya dsb. Bagaimana mungkin
data ini bisa muncul jika kerumahtanggaan ancur-ancuran alias mawut.
Coba saja Anda bertanya ke sebuah instansi berapa nilai kekayaan yang
dimilikinya. Pasti mereka bingung untuk menjawabnya karena mereka tidak pernah
punya data tentang itu. Disinilah peran penting kerumahtanggaan dibutuhkan
untuk melakukan pendataan. Jadi tugas utama yang harus dilakukan adalah pendataan.
Saya pikir, data inventaris
kekayaan masing-masing instansi menjadi salah satu syarat utama sebuah pemerintahan
yang bersih. Pemerintahan yang bersih salah satu cirinya adalah efisiensi dengan
tidak melakukan pemborosan anggaran negara. Saya membayangkan para penyusun anggaran
belanja rutin tiap instansi memegang data tentang barang inventaris kantor tersebut,
sehingga ia dapat merencanakan berapa jumlah dana yang diperlukan untuk melakukan
pemeliharaan maupun untuk menambah barang inventaris kantor tersebut. Anda
mungkin masih bingung..... Saya lanjutkan.....
Saya mulai dengan
membuat asumsi sebuah kantor sederhana. Kita sebut saja Kantor Pelayanan, terserah
mau melayani apa..... (pokoke
pelayanan lah...). Kantor ini berdiri diatas tanah seluas 1.000 meter persegi. Kantor ini memiliki 1 mobil dinas dan
1 motor dinas dengan perolehan tahun 2000. Di dalam kantor terpasang 8 AC dan 30 titik lampu. Inventaris lainnya yaitu 1 buah TV 20" merk
Panasonic, 4 unit komputer multimedia lengkap dengan printer untuk masing-masing
komputer, 10 buah lemari arsip, 10 filling cabinet, 30 meja, 40 kursi dst .....
(saya jadi bingung untuk menuliskan lengkap, karena terlalu banyak). Tapi
maksud saya begini dengan data-data diatas dapat kita rencanakan berapa
anggaran belanja untuk biaya perawatannya, barang apa lagi yang perlu kita beli,
berapa sebenarnya kebutuhan kertas dalam satu tahunnya dan sebagainya.
Sudah lama saya curiga
dengan usulan anggaran belanja rutin masing-masing kantor. Saya mensinyalir
adanya pembengkakan dalam usulan tersebut.
Ada anggapan bahwa namanya minta, mintalah yang banyak. Karena sudah menjadi
tradisi setiap usulan anggaran pasti akan dipangkas. Jadi kalau minta sedikit
dan tetap akan dipangkas maka yang kita dapat menjadi lebih sedikit lagi.
Kembali ke masalah kerumahtanggaan, ada
pertanyaan yang cukup mengganggu pikiran saya yaitu maukah kita serius dengan
data rumah tangga ini
....? Sampai disini saya mulai ragu sendiri, saya juga
mulai malas untuk meneruskan tulisan ini. Mengapa? pada saat menulis saya
teringat dengan mentalitas pegawai kita. Saya kaget setengah berdiri
menyaksikan ternyata masih ada beberapa pegawai bermentalitas "kuno".
Saya sulit mencari istilah yang tepat untuk mengikhtisar sebuah sikap yang senang
mempersulit diri dan orang lain dengan alasan sebuah aturan, yang menurut kita
sudah kadaluwarsa dan tidak lagi relevan dengan jaman yang semua orang serba ingin
cepat, tetapi sikap mempersulit ini berubah seketika setelah melihat ada angpao. Jadi saya pakai saja istilah
"kuno" karena saya kira bukan lagi jamannya. Ada lagi sikap
"mata duitan". Sikap ini
memposisikan diri dengan melihat bahwa apa yang kita kerjakan
harus ada imbalan untuk diri kita, meski sebenarnya kita bekerja telah mendapat
gaji dan tunjangan setiap bulannya. Sikap "mata duitan" ini memang
agak kurang ajar, bukan agak lagi, tapi memang sudah kurang ajar. Saya kira,
sikap inilah yang melahirkan pungli dan suap di dalam birokrasi kita.
Dan inilah sikap yang
paling parah yang cukup menghambat kerja kerumahtanggaan dan kerja lainnya,
yaitu sikap "tidak serius". Sikap ini merupakan akibat dari sikap
"mata duitan". Karena merasa di dalam pekerjaan itu tak ada duitnya
maka ia menjadi tidak serius dalam bekerja. Bukan lagi tidak serius tetapi
malas dan bosan. Selain sebab itu, sikap "tidak serius" juga
ditimbulkan oleh sebuah sistem yang membagi pekerjaan dalam satu kantor antara bagian
yang "basah" dan "kering", antara yang banyak anggaran dan minim
anggaran. Jika kita dalam satu Kantor dimana kita ditempatkan dalam bagian yang
kering, maka dapat dipastikan jika kita bermental "ecek-ecek" pasti
kita akan malas bekerja. Tubuh kita menjadi kurus, pikiran kusut dan hawanya iri, dengki dengan teman-teman ditempat yang gemuk dananya.
Apakah kemudian kita
menyalahkan teman-teman kita yang bermental "ecek-ecek" ini. Saya
kira kurang bijaksana menyalahkan mereka karena mereka bermental "ecek-ecek"
bukan kehendak mereka tetapi terbentuk oleh sistem kerja yang membagi antara
yang gemuk dan kurus antara yang basah dan kering. Sudahlah kita tidak perlu
berpolemik. Saya tahu pendapat saya tidak sepenuhnya benar, tetapi paling tidak
masih ada benarnya. Biarlah masalah mental pegawai ini, kita serahkan pada proses
reformasi birokrasi. (Ditulis pada suatu ketika di tahun 2004)