(Sungguh berani sekali saya menuliskan sebagai Teknik Perbendaharaan… Apa yang saya tulis adalah tata cara perbendaharaan jaman dulu atau bisa dikatakan sudah lewat jaman alias kedaluarsa. Namun, saya meyakini teknik atau pengetahuan ini akan berguna pada saatnya nanti, minimal sebagai wasilah untuk bernostalgia…)
Tulisan dibawah ini saya buat untuk merespon situasi saat itu. Tulisan ini pernah dimuat di koran : Kendari Pos, Selasa, 11 Juni 2002 pada rubrik Opini hal 8.
Dalam UU No.22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah yang merupakan dasar pelaksanaan otonomi daerah, disebutkan
bahwa diantara pemerintah propinsi, kabupaten dan kota masing-masing berdiri
sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Meski propinsi
tetap sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat namun dalam UU otonomi
tersebut propinsi tidak diletakkan pada posisi yang berjenjang sehingga segala
koordinasi pemkab/kota akan langsung ke pusat. Hal ini tertuang secara gamblang
dalam pasal 4 UU No. 22 tahun 1999.
Namun demikian dalam kedudukan
sebagai wilayah administrasi, gubernur selaku wakil pemerintah pusat melakukan
hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten dan kota. Pasal 9 ayat (1)
menyebutkan bahwa kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta
kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainya. Lebih lengkap dalam
penjelasannya menerangkan bahwa kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat
lintas kabupaten dan kota seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum,
perhubungan, kehutanan dan perkebunan. Sedangkan yang dimaksud dengan
kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya adalah :
- perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro ;
- pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial dan penelitian yang mencakup wilayah propinsi ;
- pengelolaan pelabuhan regional ;
- pengendalian lingkungan hidup ;
- promosi dagang dan budaya/pariwisata ;
- penanganan penyakit menular dan hama tanaman ;
- perencanaan tata ruang propinsi.
Lebih lanjut dalam ayat (3),
masih dalam pasal 9, menyebutkan bahwa kewenangan propinsi sebagai wilayah
administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan
kepada gubernur selaku wakil pemerintah.
Masih berkaitan dengan kewenangan
gubernur, dalam UU No. 25 tahun 1999 pasal 17, diatur sebagai berikut :
Ayat (1) menyebutkan bahwa
pembiayaan dalam rangka dekonsentrasi disalurkan kepada gubernur melalui
departemen/LPND yang bersangkutan.
Ayat menyatakan (2) bahwa
pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur kepada pemerintah pusat melalui
departemen/LPND yang bersangkutan.
Implementasi dari pasal 17 UU No.
25 tahun 1999 diatas adalah lebih tertuju pada pelaksanaan proyek-proyek
dekonsentrasi. Disitu sangat jelas bahwa gubernur sebagai pelaksana
dekonsentrasi telah diberikan kewenangan dalam pelaksanaannya. Salah satu
kewenangan tersebut adalah dalam hal penetapan pimpro/pimbagpro dan
bendaharawan proyek/bagpro. Hal ini telah diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan RI No.523/KMK.03/2000 tanggal 14 Desember 2000 tentang Tatacara Penganggaran,
Penyaluran Dana, Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan. Pada pasal 5 ayat (2) KMK tersebut menyebutkan bahwa pada
setiap awal tahun anggaran gubernur menetapkan pemimpin proyek/bagian proyek
dan bendaharawan proyek/bagian proyek untuk pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi.
Namun demikian dalam pelaksanaannya tidak semulus yang diharapkan. Berbagai
masalah muncul berkaitan dengan penetapan pemimpin/bendaharawan proyek/bagpro.
Berbagai masalah muncul berkaitan dengan penetapan pemimpin/bendaharawan
proyek/bagpro. Salah satunya adalah kasus proyek-proyek Pertanian dan
Nakertrans. Pada pelaksanaan proyek-proyek tersebut, SK penetapan pimpro dan
bendaharawan dikeluarkan oleh Gubernur Propinsi Sultra.
Dalam SK pengangkatan,
pimbagpro/bendaharawan yang ditunjuk adalah para pegawai di lingkungan Dinas
Pertanian maupun Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Sulawesi
Tenggara. Hal ini sudah tepat dan sesuai dengan
pasal 63 UU No.22 tahun 1999 yang isinya menyatakan bahwa
penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah kepada gubernur
selaku wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Propinsi.
Namun yang perlu diperhatikan
adalah ternyata proyek-proyek diatas berlokasi di Kabupaten dengan kantor bayar
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) yang ada di ibukota kabupaten pula,
sementara itu para pimbagpro/bendaharawan tersebut berkedudukan di Propinsi
yaitu Kendari. Hal ini bertentangan dengan Keppres 17 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan APBN pasal 41 ayat (5). Disana dijelaskan bahwa pemimpin dan
bendaharawan proyek berkedudukan di lokasi proyek atau ibukota kabupaten/kota
terdekat. Dengan kata lain bahwa seharusnya untuk proyek-proyek diatas,
pimbagpro/bendaharawan diangkat dari Dinas Pertanian/Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten yang berkedudukan
di ibukota Kabupaten. Namun lagi-lagi jika ini dilaksanakan akan bertentangan
dengan pasal 63 UU No.22 tahun 1999 selain tidak adanya hubungan hierarkis
antara pegawai dinas kabupaten dengan gubernur atau dapat dikatakan dalam
pelaksanaan tugasnya dinas kabupaten bertanggungjawab hanya kepada bupati dan
bukan kepada gubernur.
Ketentuan mana yang dimenangkan, jelas UU karena secara
hierarkis lebih tinggi dibandingkan dengan Keppres. Namun yang perlu
diperhatikan adalah konsekuensi dari penetapan pimpro/bendaharawan tersebut.
Dalam kenyataannya hal ini telah menimbulkan implikasi yang tidak baik bagi
pelaksanaan dan pertanggungjawaban proyek tersebut.
Implikasi dari penetapan SK
pengangkatan pimpro/pimbagpro dan bendaharawan proyek-proyek diatas adalah :
Pertama, menambah pengeluaran dengan adanya biaya perjalanan
para pelaksana proyek ke lokasi proyek atau dalam rangka pengajuan
permintaan dana ke KPKN yang ada di kabupaten yang menempuh jarak cukup
jauh selain ditambah biaya penginapan dan akomodasi lainnya. Jika ini
terjadi setiap minggu, berapa dana yang habis hanya untuk mondar-mandir.
Kedua, pimpro tidak selalu berkedudukan di lokasi proyek
sehingga mengakibatkan pengawasan terhadap pelaksanaan proyek tidak bisa
intensif yang akibatnya menjadi kurang efektif. Dalam pasal 42 Keppres 17
tahun 2000 dijelaskan bahwa pemimpin proyek/bagpro bertanggung jawab atas
pelaksanaan proyek/bagpro sebagaimana ditetapkan dalam DIP atau dokumen
lain yang disamakan, baik dari segi keuangan maupun dari segi fisik.
Ketiga, akan menimbulkan kecemburuan pada pihak Dinas
Kabupaten karena para pelaksana proyek adalah dari Dinas Prop. Sultra.
Bagaimana jika kemudian sang bupati sebagai penguasa daerah tidak “legowo”
dan tidak mengijinkan alias melarang pelaksanaan kegiatan dalam rangka
proyek-proyek diatas. Apalagi jika bupati dengan gubernur selama ini tidak
pernah akur karena masalah politik. Dan kenyataannya memang demikian. Apa
tidak tambah runyam ?
Keempat, akan menimbulkan kesan yang kurang bagus bagi dinas
propinsi. Seperti misalnya proyek-proyek pertanian yang semuanya
dilaksanakan oleh dinas propinsi. Jika untuk semua kabupaten/kota di
Sultra yang berjumlah 5 kab/kota ditambah wilayah propinsi sendiri dan
dengan beberapa jenis proyek diatas, dapat kita bayangkan maka hampir
semua pegawai pada dinas pertanian akan bertindak sebagai pelaksana
proyek. Apa mereka hanya akan mengurusi proyek-proyek tersebut dan
bagaimana dengan tugas-tugas rutin yang selama ini mereka digaji untuk itu
?
Kelima, dalam proses pengadaan barang/jasa akan
bertentangan dengan Keppres 18 tahun 2000. Dapat dipahami bahwa karena
pimpro/bendaharawan berkedudukan di Kendari maka proses pengadaan
barang/jasa untuk proyek-proyek diatas akan dilakukan di Kendari dan bukan
di lokasi proyek. Hal ini bertentangan dengan Keppres Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Dalam pasal 4
dijelaskan bahwa salah satu kebijakan umum pemerintah dalam pengadaan
barang/jasa adalah : meningkatkan peran serta usaha kecil, koperasi, LSM
dan masyarakat setempat dalam pengadaan barang/jasa. Begitu juga
dalam pasal 7 yaitu salah satu tugas pokok pimpro/pimbagpro dalam
pengadaan barang/jasa antara lain adalah : menetapkan paket-paket
pekerjaan serta ketentuan mengenai kewajiban penggunaan produksi dalam
negeri dan perluasan kesempatan usaha bagi usaha kecil dan koperasi kecil,
LSM serta masyarakat setempat.
Keenam, jika proyek-proyek diatas berakhir akan timbul masalah
mengenai penyerahan proyek tersebut, kemana proyek tersebut akan diserahkan ke
kabupaten atau ke propinsi. Dalam Keppres 18 tahun 2000 pasal 7 dijelaskan
bahwa salah satu tugas pokok pimpro/pimbagpro dalam pengadaan barang/jasa dalam
rangka pelaksanaan proyek antara lain adalah : menyerahkan aset proyek dengan
berita acara kepada pejabat yang berwenang pada instansi yang bersangkutan
setelah proyek dinyatakan selesai. Lebih lanjut dalam Keppres 17 tahun 2000
pasal 49 ayat (5) dijelaskan bahwa dalam hal ini pemerintah daerah yang
ditetapkan sebagai pengelola dan penanggung jawab dari proyek-proyek wajib
mengatur penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan melalui APBD. Jelas
dalam hal ini propinsi yang bertanggung jawab untuk menyediakan biaya
operasional dan pemeliharaan. Sementara itu sebenarnya lokasi proyek berada
dalam wilayah Kabupaten. Yang menjadi pertanyaan apakah sanggup propinsi
menanggungnya. Apakah tidak timbul kekhawatiran propinsi berlepas tangan dengan
alasan lokasi proyek berada di kabupaten.
Untuk itu
sebagai langkah berikutnya dalam pelaksanaan proyek-proyek dekonsentrasi di
masa mendatang dan tidak hanya berlaku di Sultra serta untuk memperkecil
akibat-akibat sebagaimana uraian diatas dapat dikemukakan solusi sebagai
berikut :
Pertama, ditetapkan pimpro/bendaharawan dari pegawai Dinas
Kabupaten yang tentunya lebih mengetahui dan memahami berbagai permasalahan
yang timbul di daerahnya sendiri. Sedangkan persoalan pertanggungjawaban dapat
diambil langkah koordinasi antara gubernur, bupati, kepala dinas kabupaten dan
kepala dinas propinsi. Dan ini nyatanya hal ini dapat dilaksanakan pada proyek
kesehatan. Dalam penetapan SK yang ditunjuk adalah pegawai Dinas Kesehatan
Kabupaten.
Kedua, apabila memang hal itu telah menjadi tugas dan
kewenangan Dinas Prop. yang berkedudukan di ibukota propinsi maka lebih baik
jika kantor bayarnya adalah KPKN yang juga berkedudukan di Propinsi. Sedangkan
dalam pelaksanaan lapangan di Kabupaten dapat ditunjuk pemimpin pelaksana
lapangan beserta bendaharawan pemegang uang muka cabang dari Dinas Kabupaten.
Dapat kita bayangkan bagaimana jika hal ini terjadi di Papua dimana
pimpro/bendaharawan berkedudukan di Jayapura sedangkan lokasi proyek serta
kantor bayar (KPKN) ada di Wamena atau Merauke yang letaknya sangat jauh.
Begitu juga bila terjadi di Sumut yaitu pimpro/bendaharawan dari dinas propinsi
yang ada di Medan sementara proyek dan kantor bayar (KPKN) ada di pulau Nias
yaitu di Gunung Sitoli. Apakah tiap saat dia harus terbang dari Medan/Papua ke
lokasi proyek. Berapa dana yang habis dengan percuma. Apakah hal ini tidak
bertentangan dengan pasal 10 Keppres 17 tahun 200 yang menjelaskan bahwa prinsip pelaksanaan APBN adalah hemat, tidak
mewah, efisien, efektif, terarah dan terkendali.
Ketiga, karena penetapan pimpro/bendaharawan menjadi kewenangan
gubernur maka dapat diambil jalan tengah yaitu ketika masih dalam pembahasan
proyek. Jika pimpro/bendaharawan ditetapkan dari propinsi maka sebaiknya
ditetapkan kantor bayar dalam Daftar Isian Proyek (DIP) adalah KPKN yang ada di
propinsi dan sebaliknya jika pimpro/bendaharawan ditetapkan dari dinas
kabupaten maka dapat ditetapkan kantor bayar adalah KPKN yang ada di kabupaten
tersebut.
Keempat, untuk selanjutnya hal ini perlu diatur kembali dalam
sebuah ketentuan yang mengikat semua pihak dan tidak bertentangan satu sama
lain serta tidak lagi memerlukan banyak penafsiran sehingga jelas dalam
pelaksanaannya.