(Tulisan dibawah ini, saya tulis pada suatu ketika di tahun 2003)
Setelah duduk di kursi kepresidenan selama hampir satu
tahun sejak 23 Juli 2001, akhirnya pada tanggal 28 Juni 2002, Presiden Megawati
mengeluarkan Keppres baru tentang Pedoman Pelaksanaan APBN yaitu Keppres Nomor 42
Tahun 2002. Ini menandai berakhirnya Keppres 17 Tahun 2000 yang dikeluarkan Gus
Dur. Satu hal yang menarik adalah diakuinya Amandemen Ketiga UUD 1945. Terbukti
dari konsideran pertama dasar hukum Keppres 42 Tahun 2002 adalah disebutkan
disana pasal 4 ayat (1) dan pasal 23 UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan
ketiga UUD 1945.
Dibandingkan dengan Keppres sebelumnya maka terdapat
beberapa perubahan, malah ada bagian yang dihapuskan. Bila semula dalam Keppres
17 Tahun 2000 terdiri dari 8 bab dan 79 pasal maka dalam Keppres 42 Tahun 2002
menjadi 10 bab dengan 77 pasal. Dua bab baru dalam Keppres ini yaitu Bab V
mengenai Pedoman Pelaksanaan Dana Perimbangan dan Bab VI tentang Pedoman
Pelaksanaan Pembiayaan Defisit. Lebih rinci, Keppres 42 Tahun 2002 terdiri dari
Bab I tentang Ketentuan Umum yang meliputi 16 pasal. Bab II tentang Pedoman
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan meliputi pasal 17 sampai dengan pasal 21. Bab
III mengenai Pedoman Pelaksanaan Pengeluaran Rutin yang terdiri dari pasal 22
sampai pasal 36. Bab IV adalah Pedoman Pelaksanaan Pengeluaran Pembangunan yang
meliputi pasal 37 sampai pasal 49. Bab V sebagaimana disebutkan diatas adalah
Bab baru dalam Keppres ini yaitu tentang Pedoman Pelaksanaan Dana Perimbangan,
terdiri dari pasal 50 sampai pasal 53. Bab VI juga merupakan Bab baru yaitu
tentang Pedoman Pelaksanaan Pembiayaan Defisit. Bab ini hanya terdiri dari 2
pasal yaitu pasal 54 dan 55. Bab berikutnya adalah Bab VII yaitu Pedoman
Pelaksanaan Anggaran dalam lingkungan Dephan dan Polri yang hanya 1 pasal.
Untuk Dephan sendiri, sebelumnya pada Keppres 17 Tahun 2000 diatur dalam 5
pasal. Bab VIII tentang Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggungjawaban
Pelaksanaan Anggaran, terdiri pasal 57 sampai pasal 67. Bab IX adalah
Pengawasan Pelaksanaan Anggaran terdiri dari pasal 68 sampai 73. Dan Bab
terakhir adalah Bab X yaitu Penutup yang terdiri dari 4 pasal.
Bila kita membaca Keppres 42 Tahun 2002 dengan cermat,
maka kita akan menemukan beberapa perubahan antara lain :
Pertama, dengan
Keppres 42 Tahun 2002, pemerintah terang-terang menegaskan menganut sistem
anggaran defisit dan bukan lagi anggaran berimbang. Hal ini dapat kita baca
dari pasal 2 Keppres tersebut yang menyebutkan bahwa APBN dalam suatu tahun
anggaran mencakup pendapatan negara, belanja negara, defisit belanja negara,
pembiayaan defisit dan surplus pendapatan negara. Selain itu, bila dalam
Keppres 17 Tahun 2000 atau keppres-keppres sebelumnya selalu menerangkan bahwa
anggaran belanja rutin dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri dan
anggaran belanja pembangunan dibiayai dari tabungan pemerintah dan atau
sumber-sumber pembiayaan lainnya, maka dalam Keppres 42 Tahun 2002 pasal yang
menyebut hal demikian tidak ada lagi. Ini menunjukan bahwa pemerintah makin
realistis melihat kenyataan bahwa negara ini tidak pernah memiliki tabungan
pemerintah karena yang ada selama ini hanyalah pinjaman luar negeri. Bahkan mungkin
untuk membiayai belanja rutin juga dengan pinjaman luar negeri. Maka
penghapusan pasal tersebut adalah hal yang paling tepat dan realistis.
Perubahan kedua, adalah pasal yang membuat kita
kembali lega yaitu mengenai pemberian tunjangan beras dalam hal suami dan istri
adalah PNS/TNI/POLRI/Pensiunan. Dalam Keppresnya Gus Dur, apabila suami-istri
kedua-duanya bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/Pensiunan, tunjangan beras diberikan
hanya kepada salah satu dari keduanya. Artinya bila Anda seorang PNS dan istri
Anda juga PNS dengan 1 orang anak, dimana Anda adalah pihak yang menanggung
maka Anda hanya mendapatkan tunjangan beras untuk Anda dan anak Anda saja.
Alasannya, istri Anda adalah PNS dimana ia sudah mendapatkan tunjangan beras
dalam pembayaran gajinya. Dengan Keppres 42 Tahun 2002, hal demikian tidak
berlaku lagi dan kembali seperti dulu sebelum munculnya Keppres 17 Tahun 2000.
Dalam penjelasan pasal 30 ayat (2) Keppres 42 Tahun 2002 tersebut dinyatakan
bahwa apabila suami istri kedua-duanya bekerja sebagai pegawai negeri,
tunjangan beras diberikan untuk masing-masing suami istri menurut haknya sebagai
pegawai negeri. Disamping itu, tunjangan beras juga diberikan kepada istri atau
suami dan anak-anak sebagai anggota keluarga yang dibebankan kepada salah satu
pihak.
Perubahan ketiga, adalah pada pasal 56 Keppres 42
Tahun 2002 yang menyatakan bahwa penyaluran pengeluaran rutin dan pembangunan
di lingkungan Dephan dan Kepolisian RI melalui rekening kas negara pada Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Padahal sebelumnya, dalam Keppres 17
Tahun 2000, penyaluran belanja non pegawai dan belanja pembangunan Dephan
dilakukan melalui rekening Dephan pada Bank Indonesia sedangkan yang disalurkan
melalui KPKN hanyalah belanja pegawai. Dalam dua tahun terakhir pembayaran gaji
TNI/Polri telah disalurkan melalui KPKN yang terdapat dihampir setiap
Kabupaten. Artinya proses pembayaran gaji ke tangan personil TNI/Polri menjadi
lebih cepat. Dengan demikian, bila pasal 56 tersebut benar-benar dilaksanakan
maka tentunya air yang bocor disetiap saluran yang dilewati akan menjadi
berkurang karena air itu akan langsung turun ke daerah dan tidak perlu lagi
orang pusat yang mengurusinya. Maka kemudian tidak ada lagi diskriminasi dalam
penyaluran dana rutin dan pembangunan pada semua Departemen seperti sebelumnya.
Perubahan lainnya yaitu Keppres ini secara khusus mengatur
Pedoman Pelaksanaan Dana Perimbangan dan Pelaksanaan Pembiayaan Defisit.
Keduanya merupakan hal baru dalam Keppres tentang Pedoman APBN. Sebelumnya,
Pelaksanaan Dana Perimbangan diatur dengan Keppres tersendiri karena dalam
Keppres 17 Tahun 2000 belum mengatur hal demikian. Dengan penambahan ini akan
membuat Keppres 42 Tahun 2002 menjadi lebih komprehensif. Artinya karena dana
perimbangan juga termasuk dalam pengelolaan APBN maka sudah tepat juga diatur
dalam Keppres tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dan bukan dalam Keppres
tersendiri. Masih merupakan hal baru, Keppres 42 Tahun 2002 membuka peluang
bagi pemerintah daerah atau BUMN untuk mencari sumber pembiayaan lain yaitu
dengan melakukan pinjaman luar negeri melalui pemerintah pusat. Pada pasal 55 ayat
(2) menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat dapat menerus-pinjamkan pinjaman luar
negeri kepada pemerintah daerah atau BUMN.
Selain perubahan diatas, ada perkembangan menarik dalam
pemberantasan KKN yaitu jika sebelumnya dalam Keppres-keppres tentang pelaksanaan
APBN tidak pernah menyebutkan pelanggaran dan sanksi, maka meskipun masih
terkesan kurang tegas, terdapat pasal baru yaitu pasal 67 yang menyatakan bahwa
setiap pegawai negeri karena kelalaian atau kesengajaan melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan dalam Keppres ini dikenakan sanksi sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Perubahan-perubahan diatas adalah hal-hal yang prinsipil meski sebenarnya masih banyak lagi perubahan dalam Keppres 42 Tahun 2002 tetapi hanya menyangkut redaksional kata-kata yang pada pokoknya mengandung arti yang yang sama. Namun, meski Keppres ini telah membawa perubahan, tetap saja masih menyisakan permasalahan menyangkut pelaksanaan proyek dekonsentrasi. Rupanya Keppres ini tidak banyak menyinggung pelaksanaan proyek dekonsentrasi yang semestinya dapat dimasukkan dalam bab tersendiri. Persoalan di tahun anggaran 2002 yaitu seputar penolakan Bupati terhadap proyek-proyek dekonsentrasi atau kericuhan pelaksanaan proyek tersebut seharusnya segera dituntaskan dengan Keppres yang baru.
Perubahan-perubahan diatas adalah hal-hal yang prinsipil meski sebenarnya masih banyak lagi perubahan dalam Keppres 42 Tahun 2002 tetapi hanya menyangkut redaksional kata-kata yang pada pokoknya mengandung arti yang yang sama. Namun, meski Keppres ini telah membawa perubahan, tetap saja masih menyisakan permasalahan menyangkut pelaksanaan proyek dekonsentrasi. Rupanya Keppres ini tidak banyak menyinggung pelaksanaan proyek dekonsentrasi yang semestinya dapat dimasukkan dalam bab tersendiri. Persoalan di tahun anggaran 2002 yaitu seputar penolakan Bupati terhadap proyek-proyek dekonsentrasi atau kericuhan pelaksanaan proyek tersebut seharusnya segera dituntaskan dengan Keppres yang baru.
Mengulas sedikit persoalan proyek
dekonsentrasi, disebutkan dalam UU No. 25 tahun 1999 pasal 17, sebagai berikut
:
Ayat (1) menyebutkan bahwa
pembiayaan dalam rangka dekonsentrasi disalurkan kepada gubernur melalui
departemen/LPND yang bersangkutan.
Ayat menyatakan (2) bahwa
pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur kepada pemerintah pusat melalui
departemen/LPND yang bersangkutan.
Disitu sangat jelas bahwa
gubernur sebagai pelaksana dekonsentrasi telah diberikan kewenangan dalam
pelaksanaannya. Salah satu kewenangan tersebut adalah dalam hal penetapan
pimpro dan bendaharawan. Hal ini juga telah diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan RI No.523/KMK.03/2000 tanggal 14 Desember 2000 tentang Tatacara
Penganggaran, Penyaluran Dana, Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Pada pasal 5 ayat (2) KMK tersebut
menyebutkan bahwa pada setiap awal tahun anggaran gubernur menetapkan pemimpin
proyek/bagian proyek dan bendaharawan proyek/bagian proyek untuk pelaksanaan
kegiatan dekonsentrasi. Sudah tentu dalam SK pengangkatan, pimpro/bendaharawan
yang ditunjuk adalah para pegawai di lingkungan dinas-dinas Propinsi. Hal ini
sesuai dengan pasal 63 UU No.22 tahun
1999 yang isinya menyatakan bahwa penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan
oleh pemerintah kepada gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh
Dinas Propinsi.