Tulisan saya dibawah ini pernah dimuat di Koran Kendari Pos, Sabtu, 1 Nopember 2003 pada rubrik Opini hal. 4 :
Satu setengah tahun yang lalu, ketika kami baru tiba di Kota Jati
untuk membuka kantor baru, hutan jati disamping kantor kami itu masih hijau,
rimbun dan masih banyak pepohonan. Saya
tidak habis pikir kenapa para bos kami memilih kantor yang berada di dekat
hutan. Shock rasanya. Bagaimana tidak? Sebelumnya kami berasal dari tempat
ramai dan kemudian harus pindah dan berkantor di
dekat hutan. Soal ini pernah saya tulis dan dimuat pada sebuah majalah
internal yang dikirim ke seluruh kantor kami dari Sabang sampai Merauke. Maka
kemudian, kantor kami terkenal karena terletak di pinggiran hutan jati.
Waktu terus berjalan. Setiap sore tidak jarang kami mendengar
suara pohon tumbang. Sepertinya kami kompak untuk berhitung
ketika mendengar suara pohon tumbang itu, kami berteriak. “.. satu ..”, kemudian terdengar lagi suara pohon
tumbang," ... dua ... dst". Dalam hati kami bertanya, siapakah mereka?
Kami penasaran dan mencoba mengintip di dekat pintu. Muncullah perbincangan
diantara kami tentang siapa yang patut disalahkan? Dan jawabannya tidak pernah
kami simpulkan. Kami hanya menyimpannya dalam hati dengan masih banyak tanda
tanya.
Dari hari senin sampai dengan jum’at saya masuk kantor dan bekerja
dari pagi sampai sore. Siang hari saya beristrahat pulang untuk makan siang.
Jika dihitung, 4 kali dalam sehari saya melewati jalan yang sama di pinggiran
hutan jati dengan motor kreditan yang belum lunas. Pada saat melintas jalanan itu, mata saya selalu tertuju
pada sebuah tugu pengumuman yang terletak di pinggiran hutan. Disitu
tertulis,
''Barang siapa ..... ", sebuah larangan menebang pohon dan sanksi yang
dikenakan bagi yang melanggar. Namun ironisnya di belakang tugu pengumuman tersebut terlihat batang pohon
yang sudah tumbang dan areal hutan yang sudah gundul. Saya berpikir, untuk apa
pengumuman itu dibuat kalau tidak ada tindakan tegas. Padahal untuk membuat
tugu itu membutuhkan dana yang tidak sedikit karena pembuatannya sekaligus
untuk jumlah tertentu dan dipasang di beberapa tempat. Memang di negeri ini, sepertinya
hukum dan aturan dibuat untuk dilanggar. Coba saja Anda hitung UU yang telah
dihasilkan para anggota dewan. Bukan main banyaknya. Kita ini memang hanya pintar
untuk membuat konsep tetapi tidak punya nyali untuk menjalankannya. Persis
dengan pintarnya para politisi dan pejabat membuat janji tetapi sedikit yang ia
tepati.
Kami
mencoba menikmati hidup ini dengan segala apa yang ada. Ya ... begitulah,
dengan segala apa yang ada, ada rumah kontrakan, ada motor kreditan, ada kulkas
bekas pakai, ada TV/VCD dari persekot gaji dan perabotan lainnya dari hasil
cicilan hutang. Memang harus begitu menjadi pegawai
dengan pangkat yang masih rendah. Kami tidak boleh membayangkan hidup seperti para konglomerat atau selebritis dimana
hidupnya serba glamour
dan mewah. Jika di negeri ini ada pegawai
negeri hidupnya mewah, mungkin karena beberapa sebab, yaitu karena warisan orang
tua yang kaya, atau karena ia pintar dan punya pekerjaan sambilan seperti mengajar, menulis
dan berwiraswasta atau karena istri/suaminya
juga ikut bekerja atau karena ia mendapat undian, atau karena ia.........(Anda pasti
sudah bisa menebaknya).
Kami sadar bahwa
di kota Jati tidak seperti di kota besar. Maka tidak ada yang lain lagi hiburan
yang kami lakukan bersama keluarga selain Jalan-Jalan Sore atau kami
menyebutnya JJS. Jangan salah, JJS bukan BBS. Kalau BBS singkatan
dari bobok-bobok siang. Istilah ini muncul karena perilaku para lelaki yang
berselingkuh di siang hari pada jam-jam istirahat.
Prinsip hidup kami
cukup sederhana. Hidup kami adalah detik ini, bukan masa lalu dan bukan masa
depan. Hidup tidak bisa kembali pada kejayaan dan kebahagiaan masa lalu. Dan
belum tentu hidup kita akan tiba pada masa depan yang telah kita rencanakan dengan
gemilang. Kurang apa manusia ini untuk berencana, tetapi Tuhan penentu
segalanya. Ada seorang bos saya yang sudah banyak mengeluarkan biaya untuk
mengikuti pendidikan Lemhanas. Setahun kemudian ia lulus. Banyak orang menduga
bahwa ia akan menjadi bos besar. Tapi ternyata ia kena serangan jantung dan
meninggal dunia. Kesimpulannya, nikmati saja hidup saat ini.
Pada waktu itu anak saya baru berumur sekitar setahun tetapi sudah
banyak tingkah. Dia sangat senang jika diajak jalan-jalan
naik motor.
Jika sehari tidak diajak jalan-jalan, maka tingkahnya akan aneh-aneh dan pasti
rewel. Maka sudah menjadi kegiatan rutin setiap sore, yaitu JJS naik motor
keliling kota sampai pelabuhan. Kadangkala, sore hari, istri dan anak saya
sudah berdandan manis dan menunggu setia di depan rumah. Untunglah saya
sholat ashar di kantor, sehingga tak perlu lagi saya masuk rumah dan langsung
JJS. Meski saya sudah capek bekerja, tapi rasanya enjoy saja. Sepanjang jalan
kami bersenda gurau. Istri bercerita
tentang hal baru yang dilakukan anak saya. Saya juga bercerita tentang pekerjaan
kantor dan lain sebagainya. Sedangkan anak saya, ia berjingkrak-jingkrak
gembira, lucu sekali…
Karena saya selalu arahkan perjalanan kami ke pelabuhan, maka tak
terelakkan lagi, mata kami selalu tertuju pada tumpukan log jati yang terletak di
tanah Iapang disamping perempatan bypass
dekat pelabuhan. Kami pun terkadang duduk-duduk diatas log-log sambil menikmati
makanan kecil yang kami beli. Katanya, log-log jati itu berasal dari penebangan
liar yang dilakukan warga dan kini disita aparat. Saya membayangkan seandainya
log-log itu berdiri dan menjadi pohon, tentu akan menempati areal yang sangat
luas. Hari-hari berikutnya, log-log itu menghilang dan kini tanah lapang itu
dipakai anak-anak untuk main bola.
Suatu kali saya ke pelabuhan, saya melihat antrean truk yang mengangkut log-Iog
dan akan dipindahkan ke sebuah kapal yang cukup besar. Katanya log-log itu telah
dilelang dan dijual kepada pihak lain. Ketika saya dirumah, secara tidak sengaja
saya menonton berita di TVRl tentang Kabupaten Jati. Dalam berita itu Sang Bupati
mengatakan bahwa tahun ini PAD meningkat pesat. Oo..!
Beberapa
waktu yang lalu pemerintah daerah mengultimatum warga yang
membuka kebun untuk segera pergi dari areal hutan jati. Warga sepertinya tidak
menggubris. Aparat kemudian bertindak. Mereka membabat tanaman warga. Saya baru
sadar ternyata areal hutan telah di kapling-kapling warga. Esok harinya warga
mulai berunjuk rasa. Mereka menuntut dan tidak terima perlakuan aparat. Mereka
minta agar pemda memberi ijin sampai dengan tanaman bisa dipanen. Pemda
kemudian memagari hutan dengan kawat berduri. Tetapi ini juga tidak membuat
jera masyarakat, mereka berkebun dan membuka areal hutan. Suatu hari kemudian
pemerintah mencoba bertindak tegas. Berbeda dengan sebelumnya Pemda juga
mendatangkan aparat kodim dan sebuah mesin traktor. Warga pun berkumpul dan menghadang
traktor itu. Rupanya mesin traktor tidak punya nyali dan tidak mau dihidupkan. Aparat
sendiri juga tidak mau ambil resiko bila ada korban. Akhirnya mereka pulang dan
warga pun kembali berkebun. Waktu itu warga berteriak mengatakan "mengapa
kami yang disalahkan, apakah kami telah kaya dengan apa yang kami lakukan, kenapa
yang ditindak bukan mereka oknum-oknum ..... ". Saya jadi bingung, manakah
yang benar?
Bicara tentang oknum yang melakukan penebangan liar, saya jadi teringat
dengan sebuah buku yang saya baca ketika saya masih SMA. Tulisan itu sangat membekas
dalam pikiran saya, sehingga saya masih sanggup menceritakannya saat ini meski
tidak lengkap. Buku itu berjudul "Slilit Sang Kyai" karangan MH Ainun
Najib. Sejak saat
itu itu saya gemar membaca tulisan-tulisan maupun buku-bukunya. Kira-kira
begini isi tulisan itu. Ada seorang kyai di kampung yang diundang tetangganya,
untuk membaca doa pada acara selamatan/kenduri. Kebiasaan di kampung bila selamatan
adalah memotong ayam dan dipanggang untuk kemudian dimakan ramai-ramai pada saat
selamatan. Ketika itulah sang kyai merasakan ada sepotong daging masuk
disela-sela giginya. Orang Jawa
menyebut daging itu sebagai “Slilit”. Karena tidak ada tusuk gigi dan malu jika
harus korek-korek gigi, maka sang kyai membiarkan slilit tersebut. Acara pun
bubar. Sepanjang perjalanan sang kyai masih merasakan sesuatu yang
tidak enak
disela-sela giginya. Ketika lewat didepan rumah penduduk, sang kyai mengambil
sedikit kayu kira-kira sebesar lidi dari pagar halaman untuk dijadikan tusuk
gigi. Maka legalah ia karena sekarang slilit itu sudah dapat dikeIuarkan.
Sesampainya dirumah seperti biasa ia sholat sunnah sebelum ia tidur.
Dalam tidurnya
ia bermimpi berada di hari perhitungan amal manusia, untuk menentukan surga
atau neraka. Tibalah
giliran sang kyai untuk dihitung amal perbuatannya selama hidup di dunia.
Terlihat semua amal perbuatannya bagus dan kini ia mulai bersiap-siap masuk surga.
Tetapi kemudian malaikat pencatat amal buruk menghentikan. "Sebentar dulu,
rupanya ini ada satu perbuatan yang membuat kamu belum bisa masuk surga sekarang.
Kamu ingat ketika kamu mengambil sedikit kayu untuk tusuk gigi, apakah kamu meminta
ijin pada pemiliknya. Ternyata kamu belum meminta ijin dan itu berarti kamu
telah mencuri". Ia pun terbangun. Pucat pasi wajahnya, ia tampak ketakutan
sekaIi. Gara-gara sepotong kayu untuk membersihkan slilit ia tertunda masuk surga.
Cepat-cepat ia bangun dan pergi kerumah pemilik kayu. Kemudian ia menceritakan semua
kejadian dan meminta ridhonya atas sepotong kayu yang telah ia ambil. Sang Kyai
kemudian merenung. Dalam hati ia bertanya, "Kalau hanya gara-gara
sepotong kayu,
saya tidak bisa masuk surga, terus bagaimana dengan mereka yang tanpa ijin menebang
dan mengambil pohon-pohon di hutan untuk kepentingan pribadi”.
Saat ini di beberapa daerah di Jawa Tengah mengalami
kekeringan akibat kemarau panjang. Beberapa sungai dan bendungan telah kering.
Penyebabnya adalah hutan di dekat hulu sungai telah habis dibabat manusia.
Berita ini hampir setiap hari kita lihat dan kita dengar melalui televisi dan radio
bahkan juga kita baca di koran. Meski kita tidak hidup untuk masa lalu tetapi
seharusnya kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang telah terjadi. Sebenarnya
hanya keledai yang mengulangi kesalahannya. Nampaknya, lima sampai sepuluh
tahun lagi saya harus mengubah tulisan saya pada majalah internal kami, karena kantor
kami tak lagi terletak di pingglran hutan jati karena hulan jati itu telah
tiada. Apakah yang akan dibanggakan masyarakat kota jati setelah jati itu habis!.