(Sepotong
Cerita Di Solo Balapan)
-Pada
rentang waktu di tahun 1997-,
Semburat
merah kedua pipinya tak bisa ia sembunyikan ketika mata lelaki di depannya
dengan tajam menatap matanya. Buru-buru ia tundukkan kepalanya karena tak kuasa
melihat mata penuh kerinduan itu. Jantungnya berpacu dengan cepat. Senang, bahagia,
malu, takut bercampur jadi satu ia rasakan saat itu. Pria itu kemudian
menyapanya dengan lembut. “Sudah lama
nunggunya ?”. Suara itu bergetar. “Ah
ndak, kira-kira ¼ jam”. Suaranya juga bergetar. Tak pernah ia seperti itu,
kenapa ? “Saya ke kamar mandi dulu,
tolong titip tasnya.” Ia hanya mengangguk, tidak berani berucap. Ia
perhatikan pria tinggi itu pergi ke kamar mandi. Sepertinya masih seperti dulu,
tinggi, kurus dan sederhana. Senyumnya juga masih mahal dan pertemuan tadi pun
juga tanpa ada senyuman.
Ia buka
album wisuda yang ada diatas tas pria itu. Ia perhatikan foto-foto didalamnya,
namun pikirannya melintas kembali ke masa SMA. Ia tahu persis siapa lelaki ini.
Dia pintar dan juara di sekolahnya. Ia juga hebat karena setamat SMA, ia
diterima kuliah di beberapa PTN/Sekolah kedinasan. Namun rupanya ia pilih
kuliah ikatan dinas di Jakarta.
Jantungnya
kembali berdebar-debar. “Seriuskah,
laki-laki ini? ia kembali teringat kata-kata pria itu dalam surat yang
dikirimnya seminggu lalu. Tapi ia belum menemukan kata-kata cinta di dalamnya.
Ia hanya merasakan ada perhatian di dalamnya. Nafasnya ia tarik dalam-dalam.
Ia kaget
karena tiba-tiba pria itu sudah ada disampingnya. “Melamun, ya ?”. Pria itu tersenyum kepadanya. Ia hanya gelengkan
kepala sambil pula tersenyum. “Mari ke
tempatku dulu” katanya. Ia pun bergegas menuju tempat parkir diikuti pria
tinggi kurus yang kadang hadir dalam mimpinya.
Sepanjang
perjalanan ia tak banyak bicara. Tidak tahu kenapa, padahal biasanya ia
sangatlah cerewet dan banyak cerita. Ia hanya ngasih komando, belok kiri, kanan
atau nyebrang jalan. Tak pernah ia
membayang dirinya bisa begitu dekat dengan pria itu. Tapi lagi-lagi seberkas
keraguan selalu saja lewat, membuat jantungnya berdesir.
Tibalah
mereka di tempat kost dan ia persilakan laki-laki itu masuk dan duduk di ruang
tamu. Sebentar kemudian ia masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian. Mereka
telah sepakat akan pulang bersama ke kota kampung halaman pagi itu.
Kembali ia menarik
nafas dalam-dalam, ia perhatikan foto laki-laki itu bersama gerombolan
teman-temannya, yang ia pajang diatas meja. Ia mendapatkan foto itu dari
seorang teman SMA-nya dulu. Foto yang senantiasa menghantuinya tapi juga ikut
menjaga dirinya untuk tetap menyimpan rasa kepada pria itu. Padahal banyak
teman prianya yang naksir dirinya. Bahkan kemarin ada yang mengirim bunga untuk
dirinya, belum lagi si fulan yang selalu mengejar-ngejar dirinya. Tapi bagi
dirinya cinta bukanlah hal yang bisa ia paksakan untuk diterima. Bayangan wajah
pria itu selalu saja melekat di dinding-dinding kamarnya setiap ia akan
beranjak tidur.
Sudah tiga
tahun ia berpisah selepas SMA dan jarang bertemu dengan laki-laki yang sekarang
ada di luar kamarnya. Ia dan laki-laki itu hanya bisa berkomunikasi lewat surat
dan itu pun kadang-kadang terputus dan untuk kemudian sambung kembali. Ada
sebuah keyakinan bahwa laki-laki itu juga menyimpan perasaan yang sama dengan
dirinya. Ia sangat yakin sekali karena di setiap suratnya selalu saja yang
terbaca adalah sebuah perhatian melebihi seorang teman, meski ia selalu menyebut
dirinya sobat. Ia pun juga rindu dengan surat-surat yang dikirim kepadanya.
Hanya surat-surat itu yang selama ini bisa mengobati kerinduan hatinya.
Kadangkala
ia tidak bisa mengerti dengan laki-laki itu, apa sebenarnya yang ia mau dari
hubungan yang mereka jalin lewat surat-surat. Sebab, dalam surat-suratnya
laki-laki itu selalu memasang umpan dan menyalakan api untuk menjerat dan membakar
hatinya. Selanjutnya hanya mengambang di awang-awang tanpa ada sebuah
kepastian.
Dan
kepastian itulah yang selalu ia nantikan. Laki-laki itu telah membuat janji
untuk bertemu dan memintanya menunggu di Stasiun Solo Balapan. Begitulah yang
terjadi pada dirinya hari itu. Sebuah hari indah yang mungkin tidak bisa ia
lupakan sampai kapan pun.
Maka
selanjutnya adalah sebuah lakon manis yang ia jalani dengan suka cita dan
begitu melegakan hati. Ia duduk disamping laki-laki itu dan dapat berbicara
banyak tentang dirinya di sepanjang perjalanan diatas bus jurusan Surabaya.
Rasanya waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa mereka telah sampai di kota kampung
halaman mereka. Sebuah kado ia terima dari laki-laki itu dan untuk kemudian
mereka berpisah untuk pergi ke rumah masing-masing.