Jumat, 30 Mei 2014

Leader’s DNA



Tulisan ini saya sarikan dari ceramah Ibu Betti Alisjahbana pada Leadership Series. Tentunya dengan beberapa penyesuaian dan editing.

Guru leadership, John C. Maxwell mengatakan “leadership is about influence. nothing more, nothing less”.  Kalau kita meskipun titelnya bukan presiden direktur atau manajer, tapi kita bisa meng-influence orang dan bisa membuat orang bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik maka kita bisa disebut leader. Jadi jangan dicampur-campur antara  leadership dengan suatu posisi. Ada orang yang posisinya keren tetapi tidak bisa influence orang, maka dia bukan leader. Leader harus mampu mempengaruhi orang lain.

Kalau langkah-langkah kita bisa membuat orang terinspirasi, membuat orang menjadi punya cita-cita tinggi, membuat orang ingin belajar lebih banyak, membuat orang-orang ingin melakukan hal-hal dengan lebih baik dan hasilnya baik maka kita adalah pemimpin, terlepas dari titel kita bukan pemimpin, CEO atau manajer.

Kita tidak perlu menunggu diangkat menjadi sesuatu untuk menjadi pemimpin. Kita bisa mulai dari posisi apapun.  Apabila kita bisa mengispirasi orang melalui langkah-langkah yang kita lakukan, membuat orang menjadi bercita-cita tinggi, maka kita itu bisa mengklaim diri kita seorang leader.

Ada 6 karakteristik leader’s DNA yang dibutuhkan, agar seorang pemimpin berhasil.


Pertama, drive and passion. Leader harus punya drive, punya passion. Kalau kita tidak bergairah, tidak minat pada bidang yang kita lakukan, jangan harap kita bisa influence orang lain, jangan harap kita menginspirasi orang lain. Jangan harap membuat orang passionate kalau kita sendiri tidak passionate terhadap bidang yang kita pimpin. Itu sebabnya dianjurkan untuk memilih bidang-bidang yang kita punya passion. Karena hanya dengan cara itu, kita bisa sukses sebagai pemimpin. Pemimpin passionate saja anak buahnya belum tentu, apalagi pemimpinnya tidak passionate. Kalau diatas miringnya sedikit, kebawah akan makin besar. Jadi kita harus mulai bahwa kita harus passionate.

Kedua, desire to lead. Karena memimpin itu seringkali dihadapkan pada posisi-posisi yang sulit. Seringkali sebagai pemimpin, dihadapkan pada pilihan yang sulit. A ada plusnya, ada minusnya. B ada plusnya, ada minusnya. Dan orang yang tidak punya desire to lead, seringkali : “ayo A atau B? dia pilih “atau”. Dia tidak mengambil posisi, itu tidak bisa disebut pemimpin, karena leader harus mengambil pilihan, apapun konsekuensinya. Dan seringkali konsekuensinya hal-hal yang sulit. Dia harus bertanggung jawab dan itu adalah leadership.

Selain itu pemimpin mesti “high effort , high desire to achieve, high energy level”. Biar pun kita sudah bekerja dari pagi sampai malam, energi kita harus tetap tinggi karena kalau energinya loyo, akan menular. Demikian juga energi tinggi , juga menular . Kalau kita melihat pemimpin klemar-klemer, lambat, kita ikut ketularan. Tapi kalau kita lihat pemimpin kita gesit, cepat, itu juga menular.

Desire to lead juga terkait kemauan untuk mengambil tanggung jawab. Yang sering terjadi adalah kalau sukses itu “bapaknya” banyak, tapi kalau gagal itu “yatim piatu”, tidak ada yang mau jadi “bapaknya”.  Begitu gagal, mencari kambing hitam. Padahal ketika gagal dan berani mengambil tanggung jawab, maka kegagalan itu adalah kesempatan untuk kita belajar dan menemukan suatu solusi bagi kegagalan itu. Tapi kalau kita gagal, kita mencari kambing hitam maka kita tidak belajar, tidak berusaha mengatasi, karena yang salah orang lain, bukan kita. Kita sibuk mencari kanbing hitam dan akibatnya kita menghilangkan kesempatan untuk belajar dari kegagalan. Orang sukses menggunakan kegagalan untuk memperbaiki dan akhirnya bisa sukses. Sedangkan,  orang gagal menggunakan kegagalan untuk mencari kambing hitam.

Ketiga, Integrity. Adalah prasarat untuk menjadi pemimpin yang baik, karena suka atau tidak suka semakin tinggi posisi kita, semakin kita menjadi leader maka kita adalah rule model. Pilihannya adalah rule model untuk sesuatu yang bagus atau rule model untuk sesuatu yang tidak bagus. Karena kita akan ditiru. Sehingga, masalah integrity ini menjadi sangat penting. Ada buku yang sangat bagus yang ditulis Stephen R Covey : “The speed of trust”. Intinya : ketika ada trust, maka segala sesuatu akan lebih cepat dan lebih murah. Tapi kalau trust itu tidak ada, maka menjadi lambat dan lebih mahal.

Pada satu forum, salah satu pemimpin BUMN bercerita, bagaimana kasihannya para pemimpin BUMN karena ada 8 UU termasuk UU Tipikor yang mengatur mereka. Begitu banyak aturan  yang mengakibatkan mereka sulit untuk bergerak cepat. Orang menjadi gamang untuk mengambil decision.  Itu adalah akibat trust yang kurang, barangkali karena sebelumnya  terjadi sesuatu misalnya ada direktur BUMN yang nakal. Maka dibikinlah aturan yang makin lama aturannya makin banyak. Sehingga untuk melakukan sesuatu itu, ternyata yang mengikat banyak sekali. Padahal sekarang ini adalah eranya speed, yang makin lama makin cepat. Good governance itu perlu, tapi tidak boleh berlebihan. Karena kalau berlebihan segala sesuatu menjadi mahal. Ada banyak yang melakukan cek dan ricek dan itu dilakukan oleh orang yang tentu ada biayanya.

Jadi untuk menjadi pemimpin kita harus bisa dipercaya agar kita bisa melakukan sesuatu dengan cepat. Ada bos yang kalau dia yang bicara atau yang  minta, kita tidak banyak berpikir panjang, pasti tujuannya baik, karena kita percaya. Tapi ada bos yang punya track record yang kurang bagus, kalau dia minta sesuatu kita kemudian bertanya “ada maunya apa ya?” karena kita tidak trust, maka menjadi lama. Itulah pentingnya bahwa leader itu harus punya integrity.

Pemimpin yang dipercaya digambarkan sebagai obat. Obat mengandung zat untuk mengobati sakit tertentu tetapi juga mengandung racun bagi organ lainnya. Ketika kita makan obat, kita punya trust, meskipun ini pahit, meskipun  ada resikonya , tetapi ini baik untuk kita. Kalau pemimpin itu dipercaya meskipun ada sesuatu tantangan yang harus dihadapi atau ada suatu resiko, maka Timnya akan mau mengikuti dan melakukan . Tetapi kalau pemimpin itu tidak dipercaya maka “kalau enak saya ikuti kalau gak enak saya gak ikutin”. Jadi, trust itu menjadi sangat penting . 

Pemimpin juga harus memiliki konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Paling repot adalah kalau pemimpin bilang A tapi melakukan B.  Karena ujung-ujungnya kalau ada inkonsistensi antara perkataan dan perbuatan, maka yang dilihat orang lain adalah perbuatannya.

Keempat, self confidence. Karena kita harus bisa influence orang. Kalau kita tidak percaya sama diri sendiri, bagaimana kita mengharapkan orang yang kita pimpin bisa percaya dengan kita. Biasanya kalau kita melihat orang  yang yakin sekali, bisa menerangkan dengan sangat bagus dan meyakinkan, kita akan ikut yakin.

Kelima, intelligence. Ini diperlukan untuk bisa menganalisa situasi mana ujung mana pangkal. Begitu banyak informasi, mana yang sebetulnya relevan, mana yang tidak relevan. Dan atas dasar itu, dia bisa membuat keputusan. Kadang-kadang orang tidak berani mengambil decision karena bingung begitu banyak faktanya dan saling bertolak belakang. Dan untuk itu dibutuhkan intelligence.

Keenam, job relevant knowledge. Punya pengetahuan yang relevan dengan pekerjaannya. Tergantung pekerjaannya itu apa. Kalau leadership di bidang perbankan, dia harus tahu perbankan.  Kalau pada awalnya belum tahu, maka dia harus belajar dulu supaya lebih tahu. Ada pemimpin dengan background arsitek dan terjun di dunia IT.  Maka pada saat mulai memimpin, belajarnya harus lebih banyak dari orang lain karena harus menguasai bidang itu. Kalau orang lain belajar sejam, maka dia belajar 3 jam karena ada hal-hal yang belum dikuasai. Tidak berarti bahwa harus tahu segalanya, tetapi pada saat kita memulai memimpin kita harus mempelajari semuanya agar menguasai bidang yang kita pimpin. Memang, semakin tinggi posisi, yang perlu kita ketahui adalah the big picture, atau konsepnya.

Semoga bermanfaat.

***