Senin, 07 April 2014

Doktrin Kelompok

Menjelang pemilu, semua partai, kelompok masyarakat gegap gempita mengkonsolidasikan massa dan kader.  Para kader dan anggota dikumpulkan, diberi pembekalan. Pembekalan tak jarang berubah menjadi doktrinisasi. Doktrinisasi bahwa partai atau kelompoknyalah yang paling berjasa bagi bangsa dan paling benar . Doktrin paling benar inilah yang kemudian menutup dari kebenaran lain. Bahwa kebenaran itu hanya boleh berasal dari partai atau kelompoknya. Informasi dari kelompok lain tak lagi dipercaya bahkan sudah antipati. Apalagi jika berupa kritik, tak lagi mempan.

Bahkan buku, sumber informasi, bacaan, harus berasal dari kelompok ini. Begitu juga dengan pengajian atau pemikiran hanya diijinkan dari kelompok mereka. Tak ada persprektif lain, tak ada pemikiran lain. Hanya satu ide, satu jalan. Tak boleh ada warna lain, hanya satu warna.

Kalau sudah seperti itu, nasib malang bagi bangsa ini. Mereka terkotak-kotak dalam suatu kelompok atau partai. Mudah sekali disulut api permusuhan. Tidak ada instropeksi diri. Kritik dibalas dengan caci maki dan tuduhan sesat.

Sejatinya, persoalannya terlalu sepele, yaitu ada pada pemimpinnya. Jika para pemimpin ini bisa berdialog, dan mau instrospeksi, tak ada yang namanya permusuhan, gontok-gontokan.

Dan sumber utama dari itu semua adalah ambisi politik, ambisi berkuasa. Saat ini, banyak sekali ormas-ormas, kelompok-kelompok pengajian yang berdiri. Tak lain adalah karena ada sebagian orang yang ingin menjadi pemimpin, ingin dihormati dan memiliki pengaruh. Dan kadang pengaruh itu kemudian ditukar dengan harta.

Ada yang dulunya satu organisasi. Tetapi karena kecewa tidak mendapatkan kedudukan, kemudian menyempal dan mendirikan organisasi baru dimana dia menjadi pimpinannya. Kemudian ini berkembang dan begitu seterusnya. Organisasi baru atau kelompok pengajian baru, bukanlah karena paham yang semata-mata berbeda, tapi tak lebih karena perebutan kuasa.

Untuk memperkuat soliditas kelompok dibuatlah doktrin-doktrin yang berbeda dari kelompok lain. Bahkan lebih parahnya dengan tuduhan bahwa kelompok lain adalah berpaham sesat, melakukan bid’ah dan syirik. Dan inilah yang sedang berkembang di masyarakat, khususnya pada pengamatan saya yaitu di daerah Solo dan sekitarnya.

Solo dan sekitarnya adalah surga bagi kelompok-kelompok keagamaan. Ada banyak  kelompok keagamaan, mulai dari yang berpaham moderat sampai dengan berpaham radikal. Dengan latar belakang masyarakat yang dulunya abangan, belum paham agama, mudah sekali bagi kelompok keagamaan itu untuk merekrut massa.

Dengan penguasaan psikologi massa, sang pemimpin dapat membuat anggotanya yang baru beberapa bulan belajar beribadah dan mengaji tiba-tiba menjadi seorang yang fanatik yang kemudian berani menuduh masyarakatnya melakukan perbuatan bid’ah dan sesat.

Dan akhir-akhir ini, itu menjadi persoalan yang sebenarnya sangat serius, tetapi belum begitu direspon oleh pihak-pihak berwenang. Layaknya hamparan rumput kering yang mudah sekali disulut api. Ada kelompok-kelompok yang sering memaksakan kehendak, berusaha menguasai masjid yang sebelumnya damai-damai saja. Mereka ingin mengubah tradisi yang ada disitu. Tradisi yang mereka anggap sebagai bid’ah. Padahal, sebenarnya adalah karena ambisi berkuasa dan ingin memiliki pengaruh di masyarakat.

Tak kurang Cak Nun turun tangan untuk menenangkan masyarakat yang mulai resah dengan tuduhan-tuduhan bid’ah dan sesat. Melalui pengajian-pengajian, Cak Nun memberikan kemantapan hati bahwa apa yang mereka lakukan selama ini masih dalam koridor yang benar dan tidak menyimpang. Tuduhan-tuduhan bid’ah, syirik dan sesat tak perlu didengar. Ada bacaan lain dimana kelompok yang menuduh itu tidak pernah dan tidak mau membacanya.

Maka, sebenarnya menjadi tugas kementerian agama dan Muspida untuk memanggil pemimpin kelompok keagamaan ini dan mengajaknya berdialog dengan semua pemimpin kelompok. Diharapkan kemudian, pemimpin kelompok ini dapat meredam anggotanya dan agar bertindak laku sesuai dengan norma-norma yang baik dan tidak menyebarkan permusuhan.

***