Kamis, 24 April 2014

Sejarah, Geografi dan Sastra



Saya selalu terkenang dengan ucapan Ust. Anis Matta, bahwa untuk menjadi pemimpin ada tiga modal yang harus dimiliki yaitu : sejarah, geografi dan sastra. Setelah saya renungkan, meski itu bukan hadist, memang ada benarnya juga. Ini tidak ada kaitannya dengan pilihan politik. Saya memilih untuk membaca apa saja dan mendengar dari siapa saja. Ketika saya membaca Anis Matta, saya juga membaca Emha Ainun Najib. Saat saya membaca Ibnu Taimiyah, saya juga membaca Al-Ghazali. Kala saya membaca Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub saya juga membaca Gus Dur, Quraish Shihab. Dan sewaktu saya membuka situs Salafy, Hidayatullah, saya juga membuka situs NU dan Muhammadiyah.

Soal tiga hal tersebut, saya mencoba membuat penjabaran sendiri. Beliau bicara dalam konteks negara. Ilmu saya belum sampai kesana. Cukuplah saya merefleksikan dalam sebuah organisasi.

Sejarah. Untuk menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi, sejarah organisasi -bagaimana terbentuknya organisasi, perjuangan para pendahulu, proses reorganisasi hingga tiba pada struktur yang mantap-  perlu untuk diketahui oleh para pemimpinnya. “Jas Merah”, kata Bung Karno. Jangan pernah melupakan sejarah. Karena memang dari sejarah itulah kita belajar. Ada hikmah, ada contoh-contoh dan ada dinamika internal yang bermanfaat bagi pribadi dan keberlangsungan organisasi. Di dalamnya juga ada semangat dari para pendahulu yang patut dicontoh yaitu keberanian untuk berubah.

Ketika kita berada pada zona aman, kita terlena dan kurang tanggap dengan perubahan jaman. Pada saat mestinya kita segera berubah, kita masih lamban menerima rangsangan dan meresponnya. Dari sejarah itulah, kita melihat bagaimana para pendahulu yang tidak siap dengan perubahan, terlindas dan tersingkir. Sejarah juga memberi pelajaran bahwa setiap perubahan akan memunculkan kubu-kubu, antara yang setuju, menolak dan oportunis. Semuanya tentu mempunyai pertimbangan dan itu menjadi pelajaran bagi kita di masa kini.

Sejarah tidak hanya mencakup perubahan organisasi, tetapi juga sistem yang dianut, alur kerja yang selama ini dilaksanakan. Perubahan sistem, alur kerja pasti menyisakan hikmah bagi kita. Kita melihat bahwa semuanya berjalan atau mengarah kepada kebaikan, kebermanfaatan, efektivitas dan efisiensi. Dan tentunya tak lepas dari dasar hukum yang ada.

Kongkretnya, di organisasi DJPBN, dulu kita mengenal istilah saldo besi. Saya menyebutnya sebagai jaman saldo besi. Masing-masing KPPN memiliki saldo rekening kas yang ditetapkan. Saldo rekening kas ini yang selalu dijaga. Apabila lebih akan dilakukan pengiriman uang dan jika kurang akan dimintakan tambahan uang kas. Pada jaman itu, penerimaan negara tidak setiap hari dilimpahkan, tetapi setiap hari selasa, jumat dan tanggal 1. Dari situ, kita melihat ada ketidakefektifan dalam pengelolaan kas. Ada kas yang cenderung kurang dimanfaatkan oleh pemerintah karena terbagi-bagi dalam saldo kas di masing-masing KPPN. Tapi, itu masa lalu.

Saya sedang mencoba menyusun tulisan yang agak lengkap tentang jaman saldo besi ini. Tidak untuk tujuan politis seperti ungkapan, “isih penak jamanku, to?”, tapi sekedar untuk bernostalgia dan sebagai catatan sejarah, bahwa kita pernah menjalani masa-masa itu. Jaman saldo besi kemudian terganti dengan jaman TSA. Ada efektivitas dan efisiensi. Kontrol atas kas negara lebih mudah karena hanya ada satu rekening pengeluaran dan penerimaan. Itu secuil sejarah penatausahaan penerimaan negara dan pengelolaan kas.

Bagaimana dengan sejarah sistem pelaksanaan APBN?  Saya ingat bahwa sebelum jaman UP, kita menjalani masa UYHD dan mundur kebelakang lagi kita pernah melalui episode UUDP. Bagaimana pula dengan pembukuan/pelaporan pertanggungjawaban? Sebelum lahir LKPP, kita bergelut dengan P6,P7, pelaporan KAR dan PAN (pertanggungjawaban anggaran negara).

Adakah yang masih mengenal sistem-sistem itu? Mungkin hanya para senior yang masih mengingatnya. Sungguh saya ingin menuliskannya dalam sebuah buku tentang sejarah perbendaharaan Indonesia. Untuk apa? Apakah itu hanya akan membuang tenaga dan pikiran? Sekali lagi jas merah. Dengan membaca sejarah, kita akan tersenyum tentang masa lalu karena kita telah tiba pada momen “indah pada waktunya”.  Kadang untuk melihat kedepan kita perlu menengok ke belakang. Ada cermin besar di belakang kita. Sejarah.

Geografi. Indonesia bukan Jakarta, bukan Jawa, apalagi cuma Sragen. Ada Lhokseumawe, ada Merauke. Ada Tahuna dan Wamena. Ada Baubau dan Raha. Ada Gunung Sitoli dan Pelaihari. Semuanya itu masih Indonesia. Para pemimpin yang tidak mengenal daerah kekuasaannya, rasanya sulit untuk menetapkan kebijakan yang tepat.  Tepat di Jakarta, belum tentu tepat di luar Jawa.

Mengenal geografi juga membuat kita lebih arif memandang permasalahan yang dihadapi elemen organisasi. Ada problem insfrastruktur, transportasi dan sumber daya. Menganggap semua daerah memiliki kemudahan dalam semua akses, akan berakibat fatal bagi penerapan sistem yang menyeluruh. Maka, disinilah perlu adanya tahapan. Dengan mengenal geografi, ada kebijaksanaan dalam setiap program yang dijalankan.  Maka, memperjalankan calon pemimpin untuk mengenal dan hidup di daerah-daerah kekuasaannya menjadi sangat relevan.

Sastra. Saya cenderung memaknainya sebagai keahlian dalam bermetafora. Puisi bagian dari sastra. Tapi bukan puisi politik dengan pilihan kata yang lugas seperti yang berkembang akhir-akhir ini. Kemampuan bermetafora, menandakan kelembutan jiwa dan perasaan sang pemimpin. Ada keindahan dalam bertutur dan tulisan. Ada kedalaman makna dalam ungkapan-ungkapan yang disampaikan.

Sastra juga bicara soal kehidupan. Ada kisah-kisah penuh makna. Darinya kita memperoleh pelajaran. Seperti wayang. Ada banyak cerita dan karakter yang selalu relevan dengan kehidupan kekinian.  Maka, dengan penguasaan sastra, terkadang kita bisa mengetahui arah jaman dan angin politik. Ada antisipasi, kewaspadaan dan kehati-hatian, karena kita telah belajar dari kisah-kisah yang tertulis dalam lembaran-lembaran sastra.

Pemimpin adalah motivator dan inspirator. Ia mempengaruhi bukan dipengaruhi. Soal mempengaruhi ini, disitulah maqom sastra.

Dan dari ketiga modal itu, saya hanya punya satu…  geografi... 
***